Hadits Mawaris/ warisan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hidup ini dibutuhkan sebuah pedoman untuk hidup di tengah-tengah
masyarakat. Pedoman tersebut merupakan pokok dasar kita dalam menentukan segala
keputusan. Salah satu pedoman tersebut adalah Islam. Islam bukanlah sekedar
agama kepercayaan belaka, namun di dalamnya hampir semua aspek kehidupan tercangkup.
Oleh karena itu Islam merupakan pedoman yang sangat kuat dan sudah diakui
kelebihannya oleh banyak orang bahkan orang non Islam sekalipun.
Salah satu aspek yang dibahas didalamnya secara mendetail adalah bab
mawaris. Mawaris adalah pembagian harta gono-gini yang ditinggalkan oleh
seseorang yang telah meninggal dunia. Dalam Islam sendiri pembagian warisan
memiliki aturan dan tata caranya sendiri. Seperti yang terdapat pada surat An
Nisa’ ayat 7-12 dan 176.
Selain itu juga terdapat hadits-hadits Nabi saw yang dijadikan sebagai
pelengkap dan penjabaran dari beberapa ayat. Namun keberadaan hadits-hadits
tentang mawaris ini tidak cukup banyak. Karena bab mawaris sudah cukup jelas
dipaparkan dalam Kitabullah.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik sebuah rumusan masalah. Rumusan
masalah tersebut terdiri dari beberapa pertanyaan. Antara lain, adakah hadits
Nabi saw yang menjelaskan tentang mawaris? Bagaimana asbabul wurud serta
derajat kesahihannya? Apakah posisi hadits tersebut dalam Al Qur’an?
C. Tujuan
Selain sebagai syarat ntuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ahkam,
makalah ini diharapkan dapat menjawab serta membahas semua pertanyaan dalam
rumusan masalah diatas. Sehingga diharapkan pembaca dapat mengetahui inti dari
pembahasan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Hadits Mawaris dan Asbabul Wurudnya
A. Rahasia Zakat dan Waris
اِنَّ الله لم يفر ض من الزكاةالاّليطيّب مابقى من اموالكم وانّمافرض
المواريث لتكون لمن بعدكم الااخبركم بخيرمايكنزالمرء المرأةالصّالحةاذانظراليهاسرّته
واذاامرهااطاعته واذاغاب عنهاحفظتْهُ.
"Sesungguhnya Allah tiada mewajibkan zakat
kecuali untuk membaikkan sisa hartamu yang lain. Dan sesungguhnya Dia
mewajibkan pembagian harta warisan agar harta itu dapat dimiliki oleh orang
yang hidup sesudah kamu. Tiadakah aku kabarkan kepadamu suatu berita, alangkah
bagusnya simpanan (kekayaan) seseorang yang beristrikan wanita sholeh, apabila
dia memandangnya menyenangkan hatinya, bila disuruhnya ditaatinya suruhan itu,
kalau dia sedang pergi (ghoib) dipeliharanya (hartanya).”
HR. Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqi dari ibnu Abbas
r.a. Al Hakim mengatakan hadits ini sahih berdasarkan syarat kesahihan yang
ditetapkan Bukhari dan Muslim. Juga diikuti kesahihan itu oleh Az Dzahabi dalam
kitab Al Talkhis dalam bab Zakat. Tapi dalam at Tafsir disebutkan bahwa salah
seorang perawinya tidak dikenal.[1]
1. Asbabul wurud
Menurut Abu Daud dari Ibnu Abbas : ketika ayat pada
surat At-Taubah ayat 34,
úïÏ%©!$#ur crãÉ\õ3t |=yd©%!$# spÒÏÿø9$#ur wur $pktXqà)ÏÿZã Îû È@Î6y «!$# Nèd÷Åe³t7sù A>#xyèÎ/ 5OÏ9r&
“...dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
turun, sangatlah berat hal ini bagi perasaan kaum Muslimin, sehingga
Umar ra menyatakan “Aku berdukacita (prihatin) padamu.” Umar ra berangkat
menemui Rosulullah saw : “Ya Nabi Allah, sungguh amatlah berat dirasakan ayat
itu oleh para sahabatmu!” Maka Nabi saw menjelaskan tentang pengertian ayat itu
menurut bunyi hadits di atas.
2. Kesimpulan
Tidaklah wajib untuk mengeluar zakat
kecuali untuk membersihkan harta. Namun wajib bagi orang Muslim untuk
membagikan harta warisannya kepada ahli warisnya agar dapat dimanfaatkan dengan
baik sesuai tuntunan syari’at.
B. Harta Peninggalan dari Orang yang Tidak Meninggalkan
Anak dan Ayah
Jabir ibn ‘Abdullah r.a. berkata :
مرضتمرضافاتانىالنّبيّ ص.م. يعودنيوأبوبكرو,وهماماشيان,فواجداني اغمي عليّ,
فتوضّأالنّبيّ ص. م.ثمّ صبّ وضوه عليّ,فأفقت فإذاالنّبيّ ص. م. فقلت: يارسول الله,كيفاصنعفي
مالي؟فلم يجبني بشيءحتّى نزلت اية الميراث.
“Aku jatuh
sakit. Maka Nabi saw. datang menjenguk aku bersama-sama Abu Bakar. Kedua-duanya
berjalan kaki. Nabi mendapati aku dalam keadaan pinsan. Maka Nabi berwudhu’
kemudian menuangkan air yang dipakai buat air sembahyangnya ke atas tubuhku,
karena itu aku menjadi sadar dan melihat Nabi yang tidak kusangka-sangka ada di
sampingku. Aku berkata : Ya Rosululloh, bagaimana aku perbuat terhadap hartaku,
bagaimana aku menyelesaikan hartaku ? Nabi tidak menjawab tidak menjawab
apa-apasehingga turunlah ayat pusaka.”
HR. Bukhari 75:5, Muslim 23:2, Al-Lu’lu-u
wal Marjan 2:183
1.
Uraian
a.مرضتمرضافاتانىالنّبيّ ص.م.
يعودنيوأبوبكرو,وهماماشيان,فواجداني اغمي
عليّ
“Aku jatuh
sakit. Maka Nabi saw. datang menjenguk aku bersama-sama Abu Bakar. Kedua-duanya
berjalan kaki. Nabi mendapati aku dalam keadaan pinsan.”
Yakni Nabi mengunjungi Jabir yang sedang sakit, dengan jalan kaki. Ini
menyatakan keutamaan kita mengunjungi orang sakit dengan berjalan kaki tidak
dengan kendaraan.
b. فتوضّأالنّبيّ ص. م.ثمّ صبّ وضوه عليّ,فأفقت
فإذاالنّبيّ ص. م. فقلت
“Maka Nabi
berwudhu’ kemudian menuangkan air yang dipakai buat air sembahyangnya ke atas
tubuhku, karena itu aku menjadi sadar dan melihat Nabi yang tidak
kusangka-sangka ada di sampingku. Aku berkata:”
Hal ini memberi pengertian, bahwa kita
disukai mengambil berkat dengan bekasan orang-orang salih, yaitu sisa makanan
mereka demikian kata Ulama. Dan hal ini menegaskan keberkatannya bekasan Nabi,
seperti sisa air sembahyangnya.
c. يارسول الله,كيفاصنعفي مالي؟فلم يجبني
بشيءحتّى نزلت اية الميراث.
“Ya
Rosululloh, bagaimana aku perbuat terhadap hartaku, bagaimana aku menyelesaikan
hartaku ? Nabi tidak menjawab tidak menjawab apa-apasehingga turunlah ayat
pusaka.”
Ayat pusaka tersebut adalah : QS. An-Nisa’
ayat 11
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 .... ÇÊÊÈ
“Allah mensyari'atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan [272]....”
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban
laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan
memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
Hal ini memberi
pengertian, bahwa orang yang sedang sakit boleh berwasiat walaupun walaupun
dalam sebahagian waktunya akalnya hilang karena tak sadar, asal saja dia
berwasiat itu diwaktu dia dalam keadaan sadar.
Nabi tidak
segera memberi jawaban, adalah karena mengharap datangnya wahyu sendiri
mengenai masalah ini.
Sebagian Ulama
berpendapat, bahwa Nabi berdiam tidak segera memberikan jawaban, menunjukkan kepada
tidak boleh Nabi berijtihad dalam menetapkan hukum.
2.
Kesimpulan
Hadits ini
sahih menyatakan sebab turunnya ayat pusaka, yaitu pertanyaan Jabir yang tidak
mengetahui bagaimana pembagian hartanya, sedang beliau tidak meninggalkan anak
dan tidak pula anak. [2]
C.
Pusaka Diberikan kepada yang Paling Berhak dan Sisa Harta Diberikan
kepada Lelaki yang Paling Dekat
Ibnu abbas r.a. berkata:
قال النّبىّ ص م : الحقواالفرائض بأهلهافمابقي فهولأولى رجل ذكر.
“Nabi SAW bersabda: “serahkan harta pusaka kepada
orang-orang yang berhak menerimanya. Maka harta yang tinggal dari pembagian,
diberikan kepada lelaki yang paling dekat kepada yang memberi pusaka itu”.
HR. Bukhori 85:5, Muslim 22:1, Al-Lu’lu-u wal Marjan 2:183
1.
Uraian
a.
قال
النّبىّ ص م : الحقواالفرائض بأهلها
“Nabi SAW bersabda: “serahkan harta pusaka kepada
orang-orang yang berhak menerimanya.”
Yakni: Berilah bagian-bagian yang telah ditentukan kepada orang
orang yang yang berhak menerimanya menurut nash Al-Qur`an. Bagian-bagian pusaka
yang telah ditetapkan oleh Allah dalam
Al-Qur`an ialah: separuh,seperempat,sepertiga, dua pertiga, seperdelapan dan
seper enam.
b.
بأهلهافمابقي فهولأولى رجل ذكر.
“Maka harta yang tinggal dari pembagian,
diberikan kepada lelaki yang paling dekat kepada yang memberi pusaka itu”.
Yakni : Harta
yang tinggal sesudah diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima secara
tertentu, maka yang tinggal itu diberikan kepada waris lelaki yang paling dekat
kepada yang meninggal pusaka itu.
Kata Ulama,
yang dikehendaki dengan aula rajulin = lelaki yang paling dekat
dengan yang si pemberi pusaka, ialah: orang yang paling dekat kepada yang
meninggal itu, bukan yang paling berhak.
Para ulama
sependapat menetapkan, bahwa harta yang tinggal sesudah furudl adalah untuk ‘Ashabah.
Didahulukan kepada yang terdekat, kemudian berturut-turut selanjutnya dengan
dilihat yang dekat dekat dahulu. Oleh karena itu tidak diberikan pusaka kepada
ashib yang jauh, selama masih ada ashib yang dekat.
Apabila
seseorang meninggalkan seorang anak perempuan, seorang saudara lelaki dan
seorang paman, maka anak perempuan mengambil separuh harta secara fardlu,
sisanya diberikan kepada si saudara, sedang si paman tidak mendapat apa apa,
dia ditutup oleh si saudara yang meninggal, karena sisaudara iti lebih dekat
kepada yang meninggal itu.
‘Ashabah ada
tiga macam:
1)
‘Ashabah bi nafsihi = ‘Ashabah dengan dirinya sendiri, seperti anak
lelaki cucu lelaki dari anak lelaki, saudara lelaki, anak paman, kakek dan
anak-anaknya.
Ayah sendiri
terkadang-kadang mengambil fardlu dan terkadang kadang mengambil ‘Ashabah.
Apabila simati
meninggalkan: anak lelaki atau cucu lelaki dari anak dari anak lelaki beserta ayah, maka ayah hanya
menerima seperenam secara fardlu. Apabila simati tidak meninggalkan anak dan
tidak pula meninggalkan cucu lelaki dari anak lelaki atau dua anak
perempuan,atau dua cucu perempuan dan anak lelaki, maka anak-anak perempuan
mengambil fardlu, sesudah itu ayah
menerima seperenam dari yang ditinggal. Sesudah itu menerima pula sisa harta
secara ‘Ashabah.
2)
‘Ashabah bi ghairihi = ‘Ashabah dengan selainnya, yaitu anak
perempuan bersama sama anak lelaki, cucu cucu perempuan dari anak anak lelaki
beserta cucu lelaki dari anak lelaki dan saudara saudara perempuan serta
saudara saudara lelaki.
3)
‘Ashabah ma`a ghairihi = ‘Ashabah beserta yang lainnya, yaitu
saudara saudara seibu sebapa atau sebapa serta anak anak perempuan dan cucu
perempuan dari anak anak lelaki. Maka apabila seseorang meninggalkan anak
perempuan dan saudara perempuan, maka anak perempuan menerima separuh. Yang
tinggal untuk saudara perempuan secara ‘Ashabah.
Perbedaan ‘Ashabah
dengan orang lain, dengan ‘Ashabah beserta orang lain ialah dalam ‘Ashabah
dengan orang lain terdapat ashib dengan dirinya sendiri, dalam ‘Ashabah beserta
orang lain tidak terdapat ashib dengan dirinya sendiri.
Apabila
dikatakan ‘Ashabah tanpa ada ashib, ‘Ashabah binafsi lah yang dimaksudkan,
yaitu lelaki yang langsung mempunyai kekerabatan dengan si mati, diantaranya
tidak ada pereumpuan.
Apabila si
ashib hanya seorang diri, maka dia mengambil seluruh harta. Tetapa apabila dia
berada bersama dengan ashabul furudl, yang menghabiskan harta. Maka dia tidak
menerima apa apa.
‘Ashabah yang
paling dekat ialah anak lelaki, ayah, kakek, jika tidak ada itu saudara, dan
saudara tidak ada kakek.
Para ulama
berselisih pendapat tentang mana yang paling dekat, kakekkah atau saudara.
Sesudah itu,
anak-anak lelaki dari saudara lelaki, saudara itu anak anak lelaki dari mereka.
Kemudian paman ayah, sesudah itu anak anak mereka yang lelaki,kemudian paman
paman kakek dari ayah, kemudian anak anak mereka.
Orang yang
mempunyai hubungan seayah dan seibu didahulukanyang seayah. Karena itu, saudara
seibu sebapa didahulukan atas saudara sebapa. Dan didahulukan saudara seayah
atas anak saudara seibu sebapa, sebagaimana didahulukan anak saudara seayah
atas paman seibu sebapa. Dan didahulukan pamanseayah atas anak paman seibu
sebapa.
Apabila
seseorang meninggalkan seorang anak perempuan, seorang saudara perempuan seibu
sebapa dan seorang saudara lelaki sebapa, maka menurut madzhab jumhur, anak
perempuan mendapat separuh, sisanya untuk saudara perempuan. Saudara lelaki
tidak mendapat apa-apa. Menurut madzhab ibnu abbas, saudara perempuan disini
tidak mendapat apa-apa. Hadits kita ini terang menunjuk kepada madzhabnya.
2.
Kesimpulan
Hadits ini
sahih, menjelaskan bahwa sisa harta sesudah diambil oleh ashbabul furudl
diberikan kepada waris laki-laki yang paling dekat kepada si mati yang
dinamakan ‘Ashabah.
D.
Harta Peninggalan untuk Para Waris
Abu
Hurairah r.a. menerangkan:
انّ رسول الله ص م : كان يؤتى بالرّجل المتوفّى, عليه الدّين فيسأل:
"هل ترك لدينه فضلاً ؟" فإن حدّث انّه ترك لدينه وفاءصلّى. وإلّا, قال
للمسلمين, "صلّواعلى صاحبكم" فلمّافتح الله عليه الفتوح قا ل: أناأولى
بالمؤمنين من أنفسهم, فمن توفّى من المؤمنين فتركدينًافعلىّ فضا ؤه ومن ترك
مالافلورثته.
HR. Al Bukhari 39:5, Muslim 23:4, Al
Lu’lu-u wal Marjan 2:184
“Bahwasannya Rasulullah selalu dibawakan kepadanya
seorang yang telah meninggal, yang mempunyai tanggungan hutang. Maka Nabi
bertanya : ‘Apakah dia ada meninggalkan sisa harta untuk hutangnya ?’. jika
orang mneraangkan kepada Nabi, bahwa orang mati itu ada meninggalkan pembayaran
untuk hutangnya, beliaupun bersembahyang atas jenazah si mati itu. Jika orang
mengatakan tidak, Nabi pun berkata kepda para muslim : ‘ Bersembahyanglah kamu
atas jenazah sahabatmu ini’. Kemudian setelah Allah memenangkan NabiNya atas
peperangan, menundukan beberapa kota, Nabi bersabda : ‘ Aku lebih utama
terhadap orang Mukmin dari diri diri mereka sendiri. Barang siapa meninggal
diantara orang mukmin dan meninggalkan hutang, maka akulah yang akan
membayarnya. Dan barang siapa meninggalkan harta, maka hartanya untuk ahli
warisnya’ ”.
1.
Uraian
a.
انّ رسول الله ص م : كان يؤتى بالرّجل
المتوفّى, عليه الدّين
“Bahwasannya Rasulullah selalu dibawakan kepadanya orang yang telah
meninggal yang mempunyai tanggungan hutang.
Yakni:
sering dibawa kepada Nabi orang yang meninggal yang belum melunasi hutangnya
untuk disembahyangkan jenazahya. Dan para sahabat sering benar membawa jenazah
ke Masjid Nabi untuk beliau sembahyangkan, karena sembahyang Nabi itu merupakan
do’a yang diterima Allah.
b.
فيسأل: "هل ترك لدينه فضلاً ؟"
“Maka Nabi
bertanya : ‘Apakah dia ada meninggalkan harta untuk hutangnya ?”
Yakni:
Nabi bertanya kepada para sahabat : ‘Apakah orang yang telah meninggal itu yang
belum melunasi hutangnya ada meninggalkan harta yang lebih dari kadar keperluan
tajhiz jenazahnya untuk pembayaran hutangnya ?
c.
فإن حدّث انّه ترك لدينه وفاءصلّى
“Jika orang menerangkan kepada Nabi, bahwa orang mati itu ada
meninggalkan pembayaran unutuk hutangnya, maka beliaupun menyembahyangkan
jenazah si mati itu.”
Yakni:
jika para sahabat menerangkan kepada Nabi, bahwa orang yang telah meninggal itu
ada meninggalkan harta untuk pembayaran hutangnya, maka beliaupun
menyembahyangkan jenazah si mati itu.
Menurut suatu riwayat, lafadh ini
berbunyi :
“Apakah dia ada meninggalkan harta
pembayaran untuk hutangnya ? ”
Lafadh
ini bersesuaian dengan lafadh Muslim dan ash-habus sunan, karena itu lafadh ini
lebih utama kita pergunakan.
d.
وإلّا, قال للمسلمين, "صلّواعلى
صاحبكم"
“Jika orang menggatakan, tidak, maka Nabi pun berkata kepada para
Muslimin : ‘Bersembahyanglah kamu atas jenazah sahabatmu ini’.”
Yakni:
jika si mati tidak meninggalkan harta untuk pelunas hutangnya, maka nabi
menyuruh para sahabat saja bersembahyang atas jenazah si mati itu, beliau
sendiri tidak turut bersembahyang.
Pada
permulaan islam, di Madinah, Nabi tidak bersembahyang atas jenazah yang belum
melunaskan hutangnya, sedang nabi pada ketika itu tidak sanggup membayar
hutang-hutang orang tersebut. Nabi berbuat demikian, adalah untuk menggerakkan masyarakat
supaya berusaha membayar hutang sebelum mereka mati, karena mereka mengetahui,
bahwa oarang yang masih berhutang sampai mati, nabi tidak bersembahyang atas
jenazahnya.
Sabda nabi :
صلّواعلى صاحبكم
“Bersembahyanglah atas jenazah temanmu”.
Adalah
‘amr atau perintah yang mewajibkan kita bersembahyang atas jenazah, dan ‘amr
ini menurut kata ulama’ marupakan fardhu kifayah atau fardhu kemasyarakatan.
e.
" فلمّافتح الله عليه
الفتوح قا ل: أناأولى بالمؤمنين من أنفسهم
“Setelah
Allah memenangkan Nabi-Nya dalam peperangan menundukan beberapa kota, Nabi
bersabda;‘aku lebih utama terhadap orang mu’min dari diri-diri mereka sendiri’”.
Yakni: sesudah Nabi dapat
mengumpulkan kekayaan Negara karena telah banyak daerah yang ditaklukkan dan
telah banyak rampasan barang yang diperoleh. Nabipun bersabda : Saya lebih
utama terhadap orang mu’min dari diri mereka sendiri. Maka sayalah yang harus
menyelesaikan kemaslahatan mereka, baik semasa hidup atau mereka sudah mati.
Sayalah walinya dalam kedua-dua keadaan itu. Lantaran itu kalau dia berhutang,
saya haruss membayar hutagnya. Jika , sayalah yang harus membelanjainya.
Sabda
Nabi ini memberi pengertian, bahwa karena Nabi sebegitu sifatnya terhadap kita,
maka wajiblah kita mendahukan taat kepadanya atas kepentingan syahwat kita
sendiri walaupun hal yang demikian itu agak sukar dilaksanakan.
f.
فمن توفّى من المؤمنين فتركدينًافعلىّ فضا ؤه
ومن ترك مالافلورثته.
“Barang siapa meninggal diantara orang mu’min dan meninggalkan hutang,
maka akulah yang akan membayarnya. Dan barang siapa meninggalkan harta, maka
hartanya untuk ahli warisnya.
Yakni:
barang siapa meninggalkan harta atau sesuatu yang hak yang dapat dipusakakan,
maka harta peninggalannya atau haknya itu kembali kepada warisnya.
Disebut
harta disini, tidaklah member pengertian, bahwa hanya harta saja yang kembali
kepada waris. Segala hak yang dapat dipusakakan, kembali kepada waris juga.
Hadist
ini adalah dasar yang sangat besar yang menetapkan bahwa baitul mal harus membayar hutang rakyat yang tak sangup membayarnya
dan harus menafkahi para fakir, karena sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah
bertindak demikian sesudah beliau memperoleh kekayaan Negara.
2.
Kesimpulan
Hadist
ini menyatakan, bahwa harta dari seseorang yang meninggal dunia kembali pada
ahli warisnya, dan kalau dia meninggalkan hutang, maka hendaklah kas Negara
yang membayarnya, sebagaimana kas Negara pula yang menafkahi anak-anak si mati.
E.
Hadits – Hadits Pendukung yang Lain
Terdapat beberapa hadits lain yang menerangkan tentang pembagian
warisan. Namun penulis masih belum mengetahui ashbabul wurudnya.[3]
Hadits – hadits tersebut antara lain sebagai berikut.
عن عمران بن حصين أن رجلاأتى النّبى ص م فقال ان ابن ابنى مات فمالى من
ميراثه فقال لك السدس
“Dari
‘Umran bin
Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata: “bahwa anak dari
anak laki-laki saya (cucu) meninggal dunia, apa yang saya dapat dari harta
warisannya.” Nabi berkata: “Kamu mendapat seperenam”.”
2.
Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Abu Dawud dan Ibnu
Majah[6].
عن أبى هريرة عن النبى ص م قال: القاتل: القا
تل لايرث
“Dari Abu
Hurairah dari Nabi saw, bersabda: “Pembunuh tidak boleh mewarisi.”
3. Hadits dari Qabisah bin Zueb yang diriwayatkan dalam al-Muwaththa’ yang
bunyinya:
جائت الجدةإلى ابى بكرتطلب عن ميراثهافقال:
ما لك فى كتلب الله عزوجل شئ وما اعلم لك فى سنة رسول الله ص م شيئاولكن ارجعى حتى
اسأل الناس فقال المغيرة شعبة: حضرت رسول الله وسلم أعطاه السدس فقال: هل معك غيرك
فشهدله محمد بن سلمة فأمضاه لها أبو بكر.
“Seorang
nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak warisan dari cucunya. Abu Bakar
berkata: “Saya tidak menemukan hak nenek sedikitpun dalam Al Qur’an dan saya
juga tidak tahu adanya sunnah Nabi yang menetapkannya. Tapi pergilah dulu nanti
saya tanyakan kepada orang lain kalau ada yang tahu. “Berkata al-Mughirah bin
Syu’bah:”Saya pernah hadir bersama Rosulullah yang memberikan hak warisan untuk
nenek sebesar seperenam.” Abu Bakar berkata:”Apakah ada orang lain bersamamu?”
Maka tampil Muhammad bin Muslamah. Selanjutnya Abu Bakar memberikan kepada
nenek itu dan seperenam.”[7]
Hadits
diatas bagi yang mengakui kesahihannya, merupakan tambahan furudh yang telah
ditetapkan dalam Al Qur’an. Masih terdapat hadits lain, namun tidak menyangkut
furudh. Hadits diatas merupakan penjelasan sunnah atas Al Qur’an dalam bentuk
perluasan yaitu furudh nenek sebagai perluasan dari pengertian ibu yang
disebutkan dalam Al Qur’an sedangkan hak kakek beserta furudnya merupakan
perluasan dari hak dan furudh ayah.
4. Hadits Nabi dari Jabir bin Abdullah menurut riwayat Ibnu Majah.
عن جابربن عبدالله والمسور بن مخرمة قال: قال
رسول الله ص م لايرث الصبي حتى يستهل صارحا قال واستهلا له أن يبكى ويصيو أو يعطس
“Dari
Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Makhramah berkata keduanya berkata Rasulullah
saw: “Seseorang bayi tidak berhak menerima warisan kecuali ia lahir dalam
keadaan bergerak dengan jeritan. Gerakannya diketahui dari tangis, teriakan dan
bersin.””
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa hadits
tentang mawaris beserta asbabul wurudnya. Namun jumlah haditsnya tidak banyak. Karena
sebagian besar pembahasan tentang pembagian harta waris sudah dibahas dalam Al
Qur’an, mengenai jumlah serta siapa saja yang berhak. Sedangkan beberapa hadits
menjelaskan penjabaran dari beberapa kata dalam Al Quran. Seperti penjabaran
makna “Ibu” atau “Ayah” juga dapat diartikan sebagai nenek dan kakek. Seperti
penjelasan pada hadits dari Qabisah bin Zueb yang diriwayatkan dalam
al-Muwaththa’. Mayoritas hadits-hadits tersebut sahih. Karena diriwayatkan oleh
perowi yang sangat selektif, seperti Bukhari.
B. Saran dan Kritik
Saran dan kritik tentu sangat penulis harapkan guna melengkapi makalah
ini agar lebih sempurna lagi serta memberikan pengetahuan baru tentang
hadits-hadits mawaris beserta asbabul wurudnya. Tentunya berdasarn sumber yang
dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Tirmiziy, Abu Isa. Al-Jami’u al-Shahih IV. Cairo :
Mustafa al Babiy. 1938.
2.
Dawud, Abu. Sunanu Abi Dawud II, Cairo : Mustafa al Babiy.
1952.
3.
Hamzah, Ibnu, Al Husaini Al Hanafi Ad Damsiqi. Asbabul Wurud. Jakarta
: Kalam Media. 2000. Jilid 1.
4.
Majah, Ibnu. Sunan Ibni Majah II, Cairo : Mustafa al Babiy.
tt..
5.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Prenada
Media. 2004.
[1] Ibnu Hamzah Al Husaini Al
Hanafi Ad Damsiqi, Asbabul Wurud, Jakarta : Kalam Media, 2000, jilid 1,
hal. 402
[2] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002
Mutiara Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1953, hal 556.
[3] Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam, Jakarta:Prenada Media, 2004, hal : 11
[4] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud
II, Cairo : Mustafa al Babiy, 1952, hal : 109
[5] Abu Isa al-Tirmiziy, al-Jami’u
al-Shahih IV, Cairo : Mustafa al Babiy, 1938, hal : 414
[6] Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah
II, Cairo : Mustafa al Babiy, tt., hal : 909
[7] Amir Syarifuddin, Ibid, hal
: 42
Komentar
Posting Komentar