Beberapa Hadits tentang Ijarah (Upah)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada hakikatnya, berbagai transaksi muamalah yang berlaku di mana saja berhubungan dengan dua objek utama, yaitu benda material dan non-material, dan ada hak milik pada objeknya. Dengan adanya kepemilikan tersebut, maka pemilik punya izin dan wewenang untuk melakukan sesuatu terhadap objek itu guna memenuhi kebutuhannya. Perbedaan nama dan cara bertransaksi, biasanya didasarkan pada perbedaan objek dan perbedaan konsekuensi yang ditimbulkannya. Perbedaan itu, selain berdasar objeknya, juga didasarkan pada ada atau tidaknya imbalan terhadap objek transaksi itu.
Kepemilikan objek material dengan pengganti atau imbalan, dalam fikih biasanya disebut dengan jual beli. Kepemilikan terhadap terhadap objek material tanpa pengganti, biasanya disebut dengan hibah. Kepemilikan objek non-material dengan pengganti, biasanya disebut dengan ijâraħ. Sedang kepemilikan objek non-material tanpa pengganti, biasanya disebut dengan 'âriyaħ.Dari beberapa jenis transaksi tersebut, dalam bab ini secara sederhana akan dikupas tentang ijâraħ .


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ijarah menurut bahasa dan istilah?
2.      Apa rukun ijarah ?
3.      Apa saja rukun dan syarat ijarah?
4.      Apa saja macam ijarah?
5.      Apa saja hadist lain yang mebicarakn tentang ijarah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian ijarah baik secara bahasa maupun secara istilah.
2.      Untuk mengetahui rukun ijarah.
3.      Untuk mengetahui rukun syarat ijarah.
4.      Untuk mengetahui macam-macam  ijarah.
5.      Untuk mengetahui hadist lain yang berkaitan tentang ijarah beserta asbabul wurudnya.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijarah
Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia.
 Secara terminology ada beberapa definisi Al-ijarah yang dikemukakan oleh para ulama’. Diantaranya:
Ulama’ hanafiyah
عقد على المنافع بعوض
“Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”                                  
Ulama’ syafi’iyah
عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
“Transaksi terhadap suatu manfaat yang ditiju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.”
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ijâraħ adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan atas barang itu sendiri. Transaksi ijâraħ didasarkan pada adanya perpindahan manfaat dan . Pada prinsipnya ia hampir sama dengan jual beli. Perbedaan antara keduanya dapat dilihat pada dua hal utama. Selain berbeda pada objek akad; di mana objek jual beli adalah barang konkrit, sedang yang menjadi objek pada ijâraħ adalah jasa atau manfaat, antara jual beli dan ijâraħ juga berbeda pada penetapan batas waktu, di mana pada jual beli tidak ada pembatasan waktu untuk memiliki objek transaksi, sedang kepemilikan dalam ijâraħ hanya untuk batas waktu tertentu. [1]

B.     Dasar Hukum Ijarah
Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan al-bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak membolehkan ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukannya akad, tidak bisa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikamati sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjualbelikan. Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh ibn Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada dasarnya akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta perhatian serta pertimbangan syara’.
Dasar hukum ijarah dari Al-Qur’an adalah
a.       QS at-Thalaq ayat 6:
4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& (
“...Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya [2].

b.      Jabir r.a menerangkan :        
وعن جابر عن النبي صلي اللة علية ؤالة وسلم قال ما من صا حب ا بل و لا بقر, ولا غنم, لا يودي حقها الا اقعد لها يو م القيا مة بقا ع قر قر تطو ه ذ ا ت الظلف بظلفها, وتنطحه دات القر ن ليس فيها يومئذ جما ء ولا مكسو ر ة القر ن قلنا يا رسو ل الله وما حقها ؟ قال, ا طر ا ق فحلها , واعا ر ة و لو ها , و منحتها, و جلبها علي الما  و حمل عليها في سبيل ا لله (رواه احمد و مسلم )
Rasulullah SAW, bersabda: tak ada seorang pemilik unta, lembu, kambing, biri-biri yang tidak menunaikan hak binatang, melainkan didudukkan binatang itu pada hari kiamat di sebuah lapangan yang sangat dingin, dia diinjak-injak oleh binatang berkuku dan ditanduk oleh binatang bertanduk, dan pada hari itu tak ada tanduk yang patah. Kami bertanya : Ya Rasulallah, apa hak binatang-binatang itu? Nabi menjawab : meminjamkan tanduknya, meminjamkan embernya, dan memberikan untuk dimanfaatkan dan dibawa ketempat yang berair serta dipinjaminnya untuk ditunggangi di jalan Allah”. (H.R Ahmad dan Muslim : Al- Muntaqa II:394)
Ø  Hadist ini menyatakan keharusan kita meminjamkan hewan tanduk untuk membuhai hewan betina milik tetangga.
c.       Abu Mas’ud r.a menerangkan :
وعن ا بي مسعو د, قا ل : كنا نعد الما عو ن علي عهد ر سو ل ا لله صلي الله عليه و ا له و سلم عا ر ية الد لو و ااقدر . رواه ابو دا ود
“Dimasa Rasulullah kami para sahabat menganggap alat rumah tangga (kapak, ember, tali, belanga dsb) adalah barang-barang yang dapat dipinjam”. (H.R Abu Daud : Al-Muntaqa II :394)
Ø  Hadis ini tidak dinyatakan cacat oleh Abu Daud, sedangkan Al- Mundziry memandangnya hasan.
d.      Abdul Wahid ibn Aiman dari ayahnya menerangkan:
وعن عا ئشه , انها قالت : و عليها د رع قطري, ثمن خمسة د ر ا هم , كا ن لي منهن درع علي عهد رسولالله صلي الله عليه وا له و سلم , فما كا نت امرا ة تقين با لمر ينة , الا ارسلت الي تستعيره . رواه احمر والبخاري
“Bahwasanya Aisyah r.a menerangkan saat beliau mengenakan baju yang terbuat dari kapas tebal berwarna agak merah yang berharga lima dirham. Dimasa Rasulullah aku mempunyai sebuah baju besi, karena tidak ada perempuan di Madinah yang ingin berhias, melainkan ada orang yang mengirimkan kepadaku dalam bentuk pinjaman”. (H.R. ahmad dan Bukhari Al- Muntaqa II :394)
Ø  Hadits ini menyatakan bahwa meminjamkan akaian pengantin seperti kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat di benarkan dan perlu di galakkan. [3]
C.    Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun-rukun dan syarat-syarat Ijarah adalah sebagai berikut:
1.      Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah yang menyewakan, Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan bagi Mu’jir dan Musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai.
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyarat mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
2.      Shighat ijab kabul antar Mu’jir dan Musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp 5.000,00”, maka musta’jir menjawab “Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”.
Ijab kabul upah mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepada mu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp5.000,00”, kemudian Musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
3.      Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun upah-mengupah.
4.       Barang yang disewakan atau sesuatau yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini.
Ø  Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.
Ø  Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
Ø  Manfaat dari benda yang disewakan adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan).[4]



D.    Macam-macam Ijarah
Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka ijarah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian:
1.      Ijarah ‘ala al-manafi’, yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai kapan akad ijarah ini dinyatakan ada. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, akad ijarah dapat ditetapkan sesuai dengan perkembangan manfaat yang dipakai. Bahwa sewa tidak dapat dimiliki oleh pemilik barang ketika akad itu berlangsung, melainkan harus dilihat dulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ijarah ini sudah tetap dengan sendirinya sejak akad ijarah terjadi. Menurut ulama tersebut bahwa sewa dianggap menjadi milik barang sejak akad ijarah terjadi. karena akad ijarah memiliki sasaran manfaat dari benda yang disewakan, maka pada dasarnya penyewa berhak untuk memanfaatkan barang itu sesuai dengan keperluannya, bahkan dapat meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain sepanjang tidak mengganggu dan merusak barang yang disewakan.
Namun demikian ada akad ijarah ‘ala al’manafi yang perlu mendapatkan perincian lebih lanjut, yaitu:
a.       Ijarah al-‘ardh (akad sewa tanah) untuk ditanami atau didirikan bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya. Apabila akadnya untuk ditanami, harus diterangkan jenis tanamannya, kecuali jika pemilik tanah (mu’jir) memberi izin untuk ditanami tanaman apa saja.
b.      Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukkannya, untuk angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaannya. Karena binatang dapat dimanfaatkan untuk aneka kegiatan, jadi untuk menghindari sengketa kemudian hari,harus disertai rincian pada saat akad.
2.      Ijarah ‘ala al-‘amaalijarah, yaitu ijarah yang obyek akadnya jasa atau pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian, akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah. Karena itu, pembahasannya lebih dititikberatkan kepada pekerjaan atau buruh (ajir).
Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ajir khass dan ajir musyatarak. Ajir khass adalah pekerja atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga dan sopir. Ajir musyatarak adalah seseoarang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat o;eh orang tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan karena penyerahan dirinya terhadap pihak lain, misalnya pengacara dan konsultan.
Menurut kelompok hanafiyah dan Hanabilah bahwa ajir musyatrak sama dengan ajir khass dalam tanggung jawabnya. Adapun menurut Malikiyah, ajir musytarak harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap rusak atau hilangnya benda yang dijadikan obyek pekerjaannya.[5]

E.     Hadist – Hadist Lain Tentang Ijarah dan Penjelasannya
Hadist lain yang membahas tentang sewa menyewa tanah telah dijelaskan dalam sebuah hadist Rasulullah SAW sbb:

عن سعيد بن المسيب  عن سعد قا ل كنا نكري الا رض بما علي السوا  قي من الزرع وما سعدبالما ء منها فنها نا رسول الله صلي الله عليه وسلم عن ذلك وامر نا ان نكريها بذ هب او فضة

Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib dan Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa dia berkata : “Kami menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar darinya (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah tertentu dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian yang dialiri air (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri air). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melakukan hal itu danbeliau memertahkan kepada kami untuk menyewakananya dengan emas atau perak
Ada hadis yang lebih tegas lagi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عن حنضلة بن قيس الا نصا ري قا ل سالت  رافع  بن خديج عن كراء الارض بالذهب والورق فقال لا بئاس به انما كان النس يواجرون علي عهد علذبي -صلي الله عليه وسلم- علي الماذينات واقبال الجداول واشياء من الز زع فيهلك هذا ويسلم هذا و يهلك هذا فلم يكن للنا س كراء الا هذا فلذ لك زجر عنه . فاما شيء معلوم مضمون فلا باء س به
Diriwaatkan dari Handolah bin Qois Al Anshori bahwa dia berkata : “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang sewa menyewa tanah dengan emas dan perak. Maka dia berkata : “Tidak apa-apa. Dahulu para manusia saling menyewakan tanah pada masa sebelum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan hasil tanah pada bagian yang dekat dengan air dan bendungan dan dengan bagian tertentu dari hasil tanam, sehingga bagian di sini binasa dan di bagian lain selamat, dan bagian ini selamat dan bagian lainnya binasa. Dan manusia tidak melakukan sewa menyewa kecuali dengan model ini. Karena itulah hal ini dilarang. adapun sewa menyewa dengan sesuatu yang jelas diketahui, maka tidak apa-apa.
  • Asbabul Wurud
Kedua hadis tersebut menjelaskan tentang mu’amalah manusia pada zaman jahiliyah dan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkannya dengan menggantinya yang lebih baik.
Pada masa jahiliyah jika seseorang menyewa tanah, maka dia tidak perlu membayar uang pada waktu akan sewa, tetapi dia hanya mensyaratkan bagian sekian persen dari hasil tanah tertentu (misalnya yang sebelah utara, selatan, yang atas atau yang bawah, yang diseberang sungai atau yang lainnya). Kemudian penyewa langsung menggarap tanah yang disewa sampai panen dengan menyerahkan hasil yang sudah disepakati pada waktu akad. Inilah yang dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan diganti dengan harga yang jelas pada waktu akad sewa, yaitu dengan uang yang pada masa itu adalah emas dan perak. [6]
 Bunyi hadis
عن نا فع ان ابن عمر كا ن يكري مزا رعه علي عهد النبي صلي الله عليه وسلم وابي بكر و عمر و عثما ن وصدرا من ا ما رة معا و ية , ثم حد ث (عن) رافع ابن خذ يج ان النبي صلي الله عليه وسلم نهي عن كري (المزارع) فذ هب ابن عمر الي رافع (بن خد يج) ذ هبت معه فساله فقا ل : نهي (النبي) صلي الله عليه وسلم عن كري ( المزارع)
Dari Nafi’ bahwa Ibnu umar dulu biasa menyewakan ladang-ladangnya di zaman Nabi SAW, Abu Bakar , Umar , Usman, dan bahkan pada awal pemerintahan Bani Umayyah. Kemudian diceritakan dari Nafi’ Ibnu Khadij bahwa Nabi SAW melarang menyewakan ladang-ladang tersebut, Ibnu Umar kemudian pergi ke tempat Rafi’ bin Khadij, Maka saya (Nafi’) bersama Ibnu Umar pergi ketempat Rafi’ untuk bertanya kepadanya :Nabi SAW pernah melarang menyewakan ladang-ladang tersebut.” (H.R Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
عن ابن عمر قال : كنا نخا ولا نري بذ لك باسا حتي زعم رافع ان رسول الله صلي الله عليه وسلم نهي عنه فتر كنا ه
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Kami dulu biasa menyewakan ladang (dengan akad mukharabah). Kami memandang hal itu tidak apa-apa sampai kemudian Rafi’ berkata bahwa Rasulullah SAW melarang hal itu, lalu kami meninggalkannya.
  • Asbabul Wurud
Diriwatkan oleh Imam Ahmad, al- Bukhari, Muslim dari rafi’ bin khadij, beliau berkata: “ Kebanyakan kami, para penduduk Madinah  adalah para petani. Kami dulu biasanya menyewakan ladang-ladang di daerah tertentu. Setelah panen, sebagian hasilnya diberikan kepada pemilik tanahnya. Kadang-kadang tanah yang kami sewakan mendatangkan hasil dan kami pun mendapatkan bagian. Ladang kamipun diserahkan kembali. Namun kemudian model penyewaan seperti iini dilarang, padahal waktu itu uang emas dan perak belum ada.
Diriwayatkan oleh Ahmad bin Urwah bin Zubair beliau berkata : “ Zaid bin Tsabit berkata : semoga Allah SWT mengampuni Rafi’ bin Khadij. Saya ( Zaid bin Tsabit) sungguh tahu mengenai hadis itu dibanding dia. Dulu ada dua orang yang bertengkar datang kepada Nabi SAW, karena bertengkar persewaan ladang tersebut. Maka Nabi SAW bersabda :
“kalau memang begitu, maka janganlah kemu sekalian menyewakan ladang-ladangmu tersebut”. Rafi’ mendengar ucapan Nabi SAW :
“janganlah kalian menyewakan ladang-ladangmu”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan an- Nasa’i dari Sa’id bin Abi Waqqash bahwa para pemilik tanah pada zaman Nabi SAW biasnya menyewakan ladang-ladangnnya untuk ditanami tanaman (seperti kurma atau gandum) dengan diberi air dari sungai. Namun kemudian ternyata hal itu seringkali menyebabkan terjadinyya persengkettaan diantara mereka. Mereka lalu mengdukan kepada Nabi SAW. Maka beliau Nabi SAW melarang menyewakan ladang-ladang tersebut dan Nabi SAW bersabda:
“sewakanlah ladang-ladang tersebut dengan emas dan perak”[7]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, Ijarah ialah pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah, serta tanpa adanya kepemindahan kepemilikan. Yang menjadi dasar hukum Ijarah adalah Al-Qur’an, as – Sunnah dan Ijam’. Didalam Al-Qur’an khususnya didalam surat Az-Zukhruf: 32. Menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu antara satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
Dalam salah satu hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. Hadits diatas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang dipekerjakan, yaitu nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau selesai dilakukan. Dalam hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi ijarah.

B.     Saran
Dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan Ijarah, terutama dalam pelaksanaanya harus berdasarkan pada aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh Allah swt di dalam Al-Qur’an, serta berdasarkan pada Sunnah-sunnah nabi dan ijma. Agar kita semua terhindar dari hal-hal yang di larang dalam syari’ah islam.






DAFTAR PUSTAKA
Huda, Qomarul, 2011. Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Teras
Mas’adi, Ghufron, 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Rajawali Pers
Sabiq, Sayyid, 2004. Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara
 Ash Ahiddieqy , Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-hadis Hukum 7, Pustaka Riski Putra : Semarang
http://ekonomiislamindonesia.blogspot.com/2012/11/hadis-tentang-ijarah-tanahqs-sewa-menyewa.html, 18/09/2013


[1] Ghufron A. Mas’adi,  Fiqh Muamalah Kontekstual,  ,(Jakarta:Rajawali Pers,2002),   hal:181
[2] Qomarul Huda, Fiqh Muamalah ,(Yogyakarta:Teras,2009),hal:79
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Ahiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum 7, Pustaka Riski Putra : Semarang, Hal 224
[5] Qomarul Huda, Fiqh Muamalah ,(Yogyakarta:Teras, 2009), hal:86
[7] Said Aqil Husin Munawwar, Asbabul Wurud, Pustaka Pelajar: yogyakarta, hal 132

Komentar

  1. Do you realize there is a 12 word phrase you can communicate to your man... that will induce intense feelings of love and impulsive attractiveness for you buried within his heart?

    Because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, treasure and look after you with his entire heart...

    12 Words Who Trigger A Man's Love Response

    This impulse is so built-in to a man's mind that it will make him try harder than before to build your relationship stronger.

    In fact, triggering this influential impulse is absolutely essential to achieving the best ever relationship with your man that as soon as you send your man a "Secret Signal"...

    ...You'll soon find him open his mind and soul to you in a way he never expressed before and he will recognize you as the only woman in the universe who has ever truly attracted him.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Akhlak Tasawuf (Pengertian tasawuf akhlaki,irfani dan Falsafi)

Hadits Tentang Jual - Beli