Hadits Kepemimpinan (siyasah)

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Dalam hidup bernegara salah satu ilmu yang harus dikuasai adalah ilmu politik seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, praktek politikpun semakin berkembang dan rentan terhadap penyimpangan –penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum tertentu oleh karena itu kami mencoba mengulas tentang salahsatu dasar ilmu politik dalam islam, yaitu hadist tentang politik dan kami kususkan tentang kepemimpinan.

B.   RUMUSAN MASALAH

·        Apa dasar perintah mentaati pemimpin meski buruk rupanya dalam hadist?
·        Apa dasar Larangan untuk berebut kekuasaan dalam hadist?
·        Bagaimana status kepemimpinan seorang wanita menurut hadist?
         
C.   TUJUAN PEMBAHASAN

·        Untuk mengetahui hadist tentang perintah mentaati pemimpin meskiburuk rupanya
·         Untuk mengetahui tentang Larangan untuk berebut kekuasaan
·         Untuk mengetahui Bagaimana status kepemimpinan seorang wanita menurut  hadist



BABII
PEMBAHASAN

A.   Perintah mentaati pemimpin meskipun buruk rupan-nya
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Telah menceritakan kepada  kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'iddari Syu'bah dari Abu tayyah dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallambersabda: "Dengarlah dan taatilah sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak habsyi, seolah-olah kepalanya gimbal."
Sanad: Anas bin Malik bin An Nadir bin DlamDlom bin Zaid bin Haram>>Yazid bin Humaid>>Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Warad>>Yahya bin Sa’id bin Farukh>>Musaddad bin Musrihad bin Musribal bin Mustawrid

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَأَبُو بِشْرٍ بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ قَالَا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنِي أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bisyr Bakar bin Khalaf, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id; telah menceritakan kepada kami Syu'bah; telah menceritakan kepadaku Abu At Tayyah dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Dengar dan taatlah walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak hitam yang berambut keribo."
Sanad: Anas bin Malik>> Abu Attoyah>>Syu’bah>>Yahya bin Said>>Muhammad bin Bassyar.
اسمع واطع ولو لعبد حبشي كان رءسه زبيبة
Artinya: Dengarkan dan taati (nasihatkebaikan) walau hanya diucapkan seorang budak Habsyi  yang  kepalanya seperti buah anggur kering.

Sababul wurud:
Kata Abu Dzar, kekasihku (Rasululloh) telah menasihati agar aku mau mendengar dan mematuhi kebaikan walau hanya dikatakan oleh seorang budak pesek.  Diriwayatkandari yahya bin husain dari neneknya, bahwa dia pernah mendengar Rasululloh bersabda didalam khutbahnya diwaktu haji wada’: andaikan seorang hamba memimpinmu dengan berpedoman kitabulloh makahendaknya kamu mau mendengarkan dan mematuhinya.
Keterangan;
Allohberfirman: “ta’atilah alloh dan ta’atilah rasul dan para pemimpin kamu”.(Qs.AnNisa’:59). Dan mentaati ulil amri (pemimpin pemerintahan ) dalam hal yang tidak bertentangan dengan syari’at hukumnya wajib. Jika penguasa itu dalam kekuasaan dan wewenangnya dibantu seorang amir atau mentri sekalipun seorang budak yang buruk, pesek hidungnya, hitam kulitnya maka hendaklah kalian mentaatinya. Sebab dikalangan umat islam harus ada kesatuan kalimah untuk secara bersama-sama menakhlukkan musuh, menegakkan hukum islam. Dan tidak boleh lagi seorang taat dalam maksiat kepada alloh, kecuali dalam keadaan lemah dan dalam rangka memelihara pertumpahan darah, maka damai lebih utama. “kecuali bagi  yang  terpaksa sedang hatinya tetap tenang didalam iman”. (Qs.AnNahl:103)

B.     Larangan untuk berebut kekuasaan.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حُمْرَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَوْلَهُ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dari Sa'id Al Maqburidari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihiwasallam, beliau bersabda: "kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan dihari kiamat, ia adalah seenak-enak penyusuan dan segetir-getir penyapihan." Muhamad bin Basyar berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Humran telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja'fardariSa'id Al Maqburidari Umar bin Al Hakamdari Abu Hurairoh diatas.
Sanad: Abu Hurairoh>> Said alMaqburi>>Ibnu Abu Dzi’b>>Ahmad bin yunus.
أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ آدَمَ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Adam bin Sulaiman dari Ibnu Al Mubarak dari Ibnu Abi Dzi'b dari Sa'id Al Maqridari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihiwasallam, beliau bersabda: "Sesungguhnya kalian akan bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, dan sesungguhnya ia akan ada penyesalan dan kerugian, maka sungguh nikmat awal kepemimpinan dan sungguh buruk akhir kepemimpinan tersebut."
Sanad: Abu Hurairoh >>Sa’idAlmuqri >>IbnuAbiDzi’b >>ibnuAlmubarrok >>Muhammad bin Adam bin Sulaiman.
حَدَّثَنَا أَبُوْ مَعْمَرٍ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ: حَدَّثَنَا يَوْنَسُ، عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: حَدَّثَنىِ عَبْدُ الرَّحْمٰنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ لِى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَاعَبْدَ الرَّحْمٰنِ سَمُرَةَ، لاَتَسْأَلِ اْلإِمَارَةَ، فَإِنْ أُعْطِيَتَهَا عَنْ مَسْئَلَة وُكِلَتْ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيَتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْئَلَةِ أُعِنْتَ عَلَيْهَا، وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِيْنِ، فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ، وَكَفْرٌ عَنْ يَمِيْنِكَ)
Artinya;
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits telah menceritakan kepada kami yunus dari Al-Hasan mengatakan telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Samurah mengatakan Rasulullah Saw bersabda kepadaku:
Wahai Abdurrahman, jangan engkau minta jabatan, karena sesungguhnya jika engkau di beri jabatan dengan jalan memintanya maka engkau di buat susah dengannya, dan jika engkau diberi tanpa memintanya maka engkau akan di tolong untuk melaksanakannya. Jika engkau melakukan suatu sumpah lalu engkau melihat yang lain lebih baik maka tebuslah sumpahmu dan lakukan yang lebih baik itu.” (HR Bukhari)
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, mengenai Hadits tersebut di jelaskan bahwa
Makna Hadits di atas adalah, barang siapa meminta jabatan lalu diberikan maka dia tidak akan ditolong karena ambisinya itu. dari sini dapat disimpulkan bahwa meminta sesuatu yang berkenaan dengan jabatan adalah makruh (tidak disukai). Maksud dalam jabatan ini adalah pemerintahan, pengadilan, keuangan, dan lainnya. Barangsiapa berambisi mendapatkan yang demikian maka dia tidak akan di beri pertolongan. Namun secara lahir. Hal ini bertentangan dengan riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah yang diriwayatkan secara marfu,”Barang siapa meminta jabatan untuk mengadili kaum Muslimin hingga mendapatkannya kemudian keadilannya mengalahkan kecuangannya maka baginya surge. Tetapi barang siapa yang kecurangannya mengalahkan keadilannyamaka baginya neraka.
Untuk mengkompromikan kedua riwayat tersebut dikatakan, bahwa keberadannya tidak di beri pertolongan sama sekali tidak berkonsekuensi bahwa dirinya tidak dapat berbuat adil bila sempat memangku jabatan. Atau Kata “meminta” di sini di fahami dengan arti bermaksud, sedangkan pada Hadits sebelumnya berarti ambisi. Sementara itu telah disebutkan dalam hadits Abu Musa “Sesungguhnya kami tidak akan member jabatan kepada orang yang berambisi”. Oleh karena itu yang menjadi pasangannya adalah pertolongan, karena barang siapa yang tidak mendapatkan pertolongan dari Allah terhadap pekerjaannya, maka dia tidak akan mampu menunaikan pekerjaan itu. sehingga tidak patut memenuhi permintaanya karena di ketahui bahwa suatu jabatan tidak akan lluput dari kesulitan, barang siapa tidak mendapatkan pertolongan dari Allah terhadap pekerjaanya, maka dia mendapat kesulitan dalam pekerjaanya dan merugi dunia akhirat. Orang yang berakal tentu tidak akan mau memintanya sama sekali. Bahkan bila dia memiliki kemampuan lalu di beri jabatan tanpa meminta maka dia dijanjikan akan mendapat pertolongan.
Analisis/Istinbath
Mempunyai jabatan memang menjadi ambisi sebagian besar orang, apapun itu jabatannya, dari mulai RT hingga presiden bahkan untuk mendapatkan hal terebut apapun bisa dilakukan, sikut kiri sikut kanan, tending bawah tending atas, dorong ke belakang dorong ke depan apapun akan di perbuat demi mendapatkan yang namanya jabatan.
Contoh yang paling kongkret adalah ketika kampanye pemilu, masing-masing calon presiden bersaing demi memperoleh simpati dari rakyat guna memilihnya, janji-janji yang terucap menjadi senjata yang ampuh bahkan tidak jarang uang pun menjadi pelumas guna melicinkan tujuan ambisi tersebut.
Di sinilah aturan Islam bermain, guna menekan ambisi jabatan yang terlalu overload tersebut, islam tidak ingin seorang pemimpin yang mengurusi rakyatnya didasari pada ambisi yang kotor, sehingga Islam menggambarkan hal tersebut dengan tidak akan di tololng oleh Allaha seorang pemimpin yang ambisius.
Ambisi seseorang menjadi pemimpin memiliki dua konotasi, yakni konotasi yang positif dan negative.konotasi yang negatip adalah seseorang yang berambisi dengan menghalalkan segala cara sebagaimana di sebutkan di atas, sementara konotasi negative adalah yang sebaliknya. Oleh sebab itu, penulis lebih ingin mengatakan bahwa jika seorang yang berambisi menjadi pemimpin dengan konotasi negative maka hal itu adalah tidak diperbolehkan, namun jika sebaliknya hal itu malah di tekankan.

C.    Pemerintahan Perempuan

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ: حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ: لَقَدْ نَفْعَنِيْ اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا من رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ، بَعْدَ مَا كِدْتُ اَنَّ الْحَقَّ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ اَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوْا عليهم بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: (لَنْ يُفْلِحُ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً). 
         
Artinya;
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Hisyam telah menceritakan kepada kami auf dari alhasan dari Abu Bakrah, dia berkata, “Allah telah member manfaat kepadaku dengan sebab satu kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw. Pada hari-hari (perang) Jamal setelah aku hamper-hampir bergabung dengan mereka yang turut dalam perang Jamal, dan berperang bersama mereka.” Dia berkata, “ketika sampai berita kepada Rasulullah Saw bahwa penduduk Persia telah mengangkat putrid Kisra sebagai pemimpin (raja) mereka, maka beliau bersabda, “tidak akan beruntung suatu kaum yang mempercayakan/menguasakan urusan mereka kepada seorang wanita (mengankatnya menjadi pemimpin mereka).”(HR Bukhari)
Penjelasan
Menurut Al-Khaththabi, sebagaimana di kutip Al Asqalani, berkata,”dalam Hadits ini terdapat keterangan bahwa wanita tidak dapat di angkat menjadi pemimpin maupun hakim, ini juga menjelaskan bahwa dia tidak dapat menikahkan dirinya, dan tidak berhak menikahka selainnya.
Tidak Syahnya kepemimpinan seorang wanita itu adalah menurut pendapat mayoritas ulama, di antara mereka adalah Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kepemimpinan wanita itu di bolehkan dalam beberapa putusan kecuali beberapa hokum. Pendapat mereka berlawanan dengan nash dan fitrah Ketuhanan.
Menurut Said Hawa alas an tidak sahnya perempuan dalam mempin suatu Negara adalah karena tabiat wanita tidak memungkinkannya memegang kepemimpinan Negara, yang menuntutnya untuk bekerja secara kontinu, memimpin tentara dan memanaj segala urusan, tugas-tugas ini tentunya sangat berat dan melelahkan bagi wanita.
Sababul Wurud:
Rasulullah Muhammad SAWtelah mengutus ‘Abdullah ibn Hudaifah untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas di Islam dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak dan bahkan merobek-
robek surat Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat bin al-Musayyab —setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah SAW— kemudian Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu” (al-Asqalani. Fath al-Bari, hal. 127-128). Tidak lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga setelah terjadi bunuh-membunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. (lihat juga: Abu Falah ‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Zahab, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Jilid. I, hal. 13).
Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat diungkap bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan kepala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H. tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan
Persia dan  keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya? Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.
Analisis/Istinbath
Dari beberapa pemaparan ulama di atas, dapat di simpulkan bahwa mayoritas ulama tidak menyetujui jika seorang perempuan menjadi seorang pemimpin, sebagaimana Hadit di atas. Alasannya sangat sederhana sekali, dikarenakan menurut tugas kepemimpinan hanya bisa di emban oleh seorang kaum Adam.
Jika boleh sedikit meraba-raba, menurut hemat penulis, Hadits Rasul yang di jadikan sub topic pembahasan ini, terlebih dahulu harus di kontekskan dari dua segi. Pertama, dari serangkaian Historis yang berhubungan dengan Hadits tersebut, dan yang kedua, Kondisi social masyarakat pada waktu itu.
Sejarah telah mencatat bahwa, jauh sebelum Hadits ini terucap dari mulut suci Rasulullah, pada suatu ketika di kala kaum Muslim dan Kafir Qurais sedang gencatan senjata, Rasul memanfaatkan situasi “libur” perang tersebut dengan mengenalkan Islam ke setiap penjuru Jazirah Arab. Rasul memberikan Surat ke setiap raja-raja yang berisikan ajakan kepada mereka untuk memeluk Islam, dan yang menjadi tukang Posnya Rasul yakni Abdullah Ibnu Mudhafah al-Sahmi. Di antara raja-raja yang di kirimi surat salah satunya adalah Kisra dari Persia.
Setelah surat dari Rasul sudah berada di tangan si Kisra, dia pun lantas menyobek-nyobek surat tersebut, dengan alas an bahwa isi dari suratnya merupakan hinaan terhadap dirinya. Peristiwa penyobekan surat tersebut terdengar ke telinga Rasul, lantas Rasul pun berdo’a supaya kerajaan Persia di hancur leburkan sebagaimana Kisranya yang telah merobek surat yang berisikan ajakan suci Rasul. Beberapa tahun kemudian, doa Rasul menjadi kenyataan tatkala Kisra meninggal dan tahtanya di gantikan oleh putrinya, karena dia tidak memiliki ahli waris laki-laki.
Penjelasan Historitas di atas jika di kontekskan kepada perkataan Nabi, bahwa tidak akan beruntung suatu Negara yang di pimpin perempuan, seolah Nabi seperti sedang memojokan penguasa wanita yang memimpin Kisra sehingga mengalami kehancuran, karena kehancuran tersebut merupakan doa Nabi yang di kabulkan setelah peristiwa penyobekan surat oleh kisranya.
Selain sisi pertama tadi, juga perlu di pahami mengenai kondisi social Masyarakat kala itu. karena, perepuan pada masa-masa dahulu kala yang mereka tahu adalah urusan dapur, sehingga pengetahuan mengenai seluk beluk kepemimpinan khususnya dalam hal pemerintahan sangat sedikit sekali. Oleh sebab itu, jika wanita-wanita pada saat itu di jadikan seorang Khalifah maka yang ada malah akan menimbulkan kehancuran.
Dari sisi analisis tersebut, penulis berkesimpulan bahwa agaknya kurang tepat jikalau Hadits di atas di jadikan landasan bahwa seorang wanita tidak syah jadi pemimpin. Karena, agaknya sedikit janggal jika lau suatu landasan syara yang Nabi juga tidak secara tegas bahwa perempuan tidak sah menjadi pemimpin, selain itu kayanya kurang tepat jika landasan itu di berlakukan dengan mengacu pada sistem pemerintahan non muslim.
Kembali menyinggung statement ulama di atas bahwa seorang perempuan tidak pantas menjadi pemimpin karena kapasitasnya yang tidak tepat, mungkin hal tersebut bisa di bantah dengan suksesnya beberapa pemimpin perempuan yang patut juga di jadikan contoh bahwa perempuan juga sebenarnya bisa menjadi pemimpin “selayaknya” seorang laki-laki. Contohnya, Inggris, India, dan Pakistan pernah di pimpin  seorang perempuan dan tergolong sukses, bahkan di dalam al-Qur’an di terangkan bahwa ada seorang pemimpin perempuan pada jaman Nabi Sulaiman yang berhasil menyelenggarakan suatu pemerintahan.


  
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Dalam masalah politik islam juga mempunyai tata cara dan aturan sendiri yang hal itu disebut dengan siyasah dan salah satu cakupan dari siyasah tersebut yaitu tentang kepemimpinan dan dasar dari siyasah tersebut salah satunya bersumber dari hadist.

B.     SARAN
Mungkin dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan banyak kesalahan oleh karena itu bagi pembaca padakususnya dimohon untuk memberikan masukan dan saran terhadap makalah ini.














DAFTAR PUSTAKA
http://naghaz-xavien.blogspot.com/2012/12/siapa-bilang-perempuan-tidk-boleh-jadi.html
Abu Dawud, Sulaiman bin Asy’at sunan abi dawud  Darul fikr beirut1414./1993M.
Al Bukhori, Muhamad bin ismail shohih bukhori, Darul fikr, Beirut 1995 M.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Akhlak Tasawuf (Pengertian tasawuf akhlaki,irfani dan Falsafi)

Beberapa Hadits tentang Ijarah (Upah)

Hadits Tentang Jual - Beli