Hadits Kepemimpinan (siyasah)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam hidup bernegara salah satu ilmu yang harus
dikuasai adalah ilmu politik seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju,
praktek politikpun semakin berkembang dan rentan terhadap penyimpangan
–penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum tertentu oleh karena itu kami mencoba mengulas
tentang salahsatu dasar ilmu politik dalam islam, yaitu hadist tentang politik dan
kami kususkan tentang kepemimpinan.
B. RUMUSAN MASALAH
·
Apa dasar
perintah mentaati pemimpin meski buruk rupanya dalam hadist?
·
Apa dasar
Larangan untuk berebut kekuasaan dalam hadist?
·
Bagaimana
status kepemimpinan seorang wanita menurut hadist?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
·
Untuk
mengetahui hadist tentang perintah mentaati pemimpin meskiburuk rupanya
·
Untuk
mengetahui tentang Larangan untuk berebut kekuasaan
·
Untuk
mengetahui Bagaimana status kepemimpinan seorang wanita menurut hadist
BABII
PEMBAHASAN
A. Perintah
mentaati pemimpin meskipun buruk rupan-nya
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ
رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Sa'iddari Syu'bah dari Abu tayyah dari Anas bin Malik radliallahu
'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallambersabda:
"Dengarlah dan taatilah sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak
habsyi, seolah-olah kepalanya gimbal."
Sanad: Anas bin Malik bin An Nadir bin DlamDlom bin Zaid bin
Haram>>Yazid bin Humaid>>Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al
Warad>>Yahya bin Sa’id bin Farukh>>Musaddad bin Musrihad bin
Musribal bin Mustawrid
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَأَبُو
بِشْرٍ بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ قَالَا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ حَدَّثَنِي أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ
اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Basysyar dan Abu Bisyr Bakar bin Khalaf, keduanya berkata; telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Sa'id; telah menceritakan kepada kami Syu'bah; telah menceritakan
kepadaku Abu At Tayyah dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihiwasallam bersabda: "Dengar dan taatlah walaupun yang memimpin
kalian adalah seorang budak hitam yang berambut keribo."
Sanad: Anas bin Malik>> Abu Attoyah>>Syu’bah>>Yahya bin
Said>>Muhammad bin Bassyar.
اسمع واطع ولو لعبد حبشي كان رءسه زبيبة
Artinya: Dengarkan dan taati (nasihatkebaikan) walau hanya diucapkan
seorang budak Habsyi yang kepalanya seperti buah anggur kering.
Sababul wurud:
Kata Abu Dzar, kekasihku (Rasululloh) telah menasihati agar aku mau
mendengar dan mematuhi kebaikan walau hanya dikatakan oleh seorang budak pesek.
Diriwayatkandari yahya bin husain dari neneknya,
bahwa dia pernah mendengar Rasululloh bersabda didalam khutbahnya diwaktu haji
wada’: andaikan seorang hamba memimpinmu dengan berpedoman kitabulloh makahendaknya
kamu mau mendengarkan dan mematuhinya.
Keterangan;
Allohberfirman: “ta’atilah alloh dan ta’atilah rasul dan para pemimpin
kamu”.(Qs.AnNisa’:59). Dan mentaati ulil amri (pemimpin pemerintahan ) dalam hal
yang tidak bertentangan dengan syari’at hukumnya wajib. Jika penguasa itu dalam
kekuasaan dan wewenangnya dibantu seorang amir atau mentri sekalipun seorang budak
yang buruk, pesek hidungnya, hitam kulitnya maka hendaklah kalian mentaatinya. Sebab
dikalangan umat islam harus ada kesatuan kalimah untuk secara bersama-sama menakhlukkan
musuh, menegakkan hukum islam. Dan tidak boleh lagi seorang taat dalam maksiat kepada
alloh, kecuali dalam keadaan lemah dan dalam rangka memelihara pertumpahan darah,
maka damai lebih utama. “kecuali bagi yang terpaksa sedang hatinya tetap tenang didalam iman”.
(Qs.AnNahl:103)
B. Larangan
untuk berebut kekuasaan.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ
عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ
الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حُمْرَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ
جَعْفَرٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَوْلَهُ
Telah menceritakan kepada
kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dari Sa'id
Al Maqburidari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihiwasallam, beliau bersabda:
"kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan
dihari kiamat, ia adalah seenak-enak penyusuan dan segetir-getir penyapihan."
Muhamad bin Basyar berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Humran telah
menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja'fardariSa'id Al Maqburidari Umar
bin Al Hakamdari Abu Hurairoh diatas.
Sanad: Abu Hurairoh>>
Said alMaqburi>>Ibnu Abu Dzi’b>>Ahmad bin yunus.
أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ آدَمَ بْنِ
سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ
الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَإِنَّهَا سَتَكُونُ
نَدَامَةً وَحَسْرَةً فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ
Telah mengabarkan kepada
kami Muhammad bin Adam bin Sulaiman dari Ibnu Al Mubarak dari Ibnu Abi Dzi'b dari
Sa'id Al Maqridari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihiwasallam, beliau bersabda:
"Sesungguhnya kalian akan bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, dan sesungguhnya
ia akan ada penyesalan dan kerugian, maka sungguh nikmat awal kepemimpinan dan sungguh
buruk akhir kepemimpinan tersebut."
Sanad: Abu Hurairoh >>Sa’idAlmuqri
>>IbnuAbiDzi’b >>ibnuAlmubarrok >>Muhammad bin Adam bin
Sulaiman.
حَدَّثَنَا
أَبُوْ مَعْمَرٍ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ: حَدَّثَنَا يَوْنَسُ، عَنِ
الْحَسَنِ قَالَ: حَدَّثَنىِ عَبْدُ الرَّحْمٰنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ لِى
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَاعَبْدَ الرَّحْمٰنِ
سَمُرَةَ، لاَتَسْأَلِ اْلإِمَارَةَ، فَإِنْ أُعْطِيَتَهَا عَنْ مَسْئَلَة
وُكِلَتْ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيَتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْئَلَةِ أُعِنْتَ
عَلَيْهَا، وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِيْنِ، فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا، فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ، وَكَفْرٌ عَنْ يَمِيْنِكَ)
Artinya;
Telah menceritakan
kepada kami Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits telah
menceritakan kepada kami yunus dari Al-Hasan mengatakan telah menceritakan
kepadaku Abdurrahman bin Samurah mengatakan Rasulullah Saw bersabda kepadaku:
“Wahai Abdurrahman,
jangan engkau minta jabatan, karena sesungguhnya jika engkau di beri jabatan
dengan jalan memintanya maka engkau di buat susah dengannya, dan jika engkau
diberi tanpa memintanya maka engkau akan di tolong untuk melaksanakannya. Jika
engkau melakukan suatu sumpah lalu engkau melihat yang lain lebih baik maka
tebuslah sumpahmu dan lakukan yang lebih baik itu.” (HR Bukhari)
Menurut Ibnu Hajar
Al-Asqalani, mengenai Hadits tersebut di jelaskan bahwa
Makna Hadits di atas
adalah, barang siapa meminta jabatan lalu diberikan maka dia tidak akan
ditolong karena ambisinya itu. dari sini dapat disimpulkan bahwa meminta
sesuatu yang berkenaan dengan jabatan adalah makruh (tidak disukai). Maksud
dalam jabatan ini adalah pemerintahan, pengadilan, keuangan, dan lainnya.
Barangsiapa berambisi mendapatkan yang demikian maka dia tidak akan di beri
pertolongan. Namun secara lahir. Hal ini bertentangan dengan riwayat Abu Daud
dari Abu Hurairah yang diriwayatkan secara marfu,”Barang siapa meminta
jabatan untuk mengadili kaum Muslimin hingga mendapatkannya kemudian
keadilannya mengalahkan kecuangannya maka baginya surge. Tetapi barang siapa
yang kecurangannya mengalahkan keadilannyamaka baginya neraka.
Untuk mengkompromikan
kedua riwayat tersebut dikatakan, bahwa keberadannya tidak di beri pertolongan
sama sekali tidak berkonsekuensi bahwa dirinya tidak dapat berbuat adil bila
sempat memangku jabatan. Atau Kata “meminta” di sini di fahami dengan arti
bermaksud, sedangkan pada Hadits sebelumnya berarti ambisi. Sementara itu telah
disebutkan dalam hadits Abu Musa “Sesungguhnya kami tidak akan member
jabatan kepada orang yang berambisi”. Oleh karena itu yang menjadi
pasangannya adalah pertolongan, karena barang siapa yang tidak mendapatkan
pertolongan dari Allah terhadap pekerjaannya, maka dia tidak akan mampu
menunaikan pekerjaan itu. sehingga tidak patut memenuhi permintaanya karena di
ketahui bahwa suatu jabatan tidak akan lluput dari kesulitan, barang siapa
tidak mendapatkan pertolongan dari Allah terhadap pekerjaanya, maka dia
mendapat kesulitan dalam pekerjaanya dan merugi dunia akhirat. Orang yang
berakal tentu tidak akan mau memintanya sama sekali. Bahkan bila dia memiliki
kemampuan lalu di beri jabatan tanpa meminta maka dia dijanjikan akan mendapat
pertolongan.
Analisis/Istinbath
Mempunyai jabatan memang
menjadi ambisi sebagian besar orang, apapun itu jabatannya, dari mulai RT
hingga presiden bahkan untuk mendapatkan hal terebut apapun bisa dilakukan,
sikut kiri sikut kanan, tending bawah tending atas, dorong ke belakang dorong
ke depan apapun akan di perbuat demi mendapatkan yang namanya jabatan.
Contoh yang paling
kongkret adalah ketika kampanye pemilu, masing-masing calon presiden bersaing
demi memperoleh simpati dari rakyat guna memilihnya, janji-janji yang terucap
menjadi senjata yang ampuh bahkan tidak jarang uang pun menjadi pelumas guna
melicinkan tujuan ambisi tersebut.
Di sinilah aturan Islam
bermain, guna menekan ambisi jabatan yang terlalu overload tersebut, islam
tidak ingin seorang pemimpin yang mengurusi rakyatnya didasari pada ambisi yang
kotor, sehingga Islam menggambarkan hal tersebut dengan tidak akan di tololng
oleh Allaha seorang pemimpin yang ambisius.
Ambisi seseorang menjadi
pemimpin memiliki dua konotasi, yakni konotasi yang positif dan negative.konotasi
yang negatip adalah seseorang yang berambisi dengan menghalalkan segala cara
sebagaimana di sebutkan di atas, sementara konotasi negative adalah yang
sebaliknya. Oleh sebab itu, penulis lebih ingin mengatakan bahwa jika seorang
yang berambisi menjadi pemimpin dengan konotasi negative maka hal itu adalah
tidak diperbolehkan, namun jika sebaliknya hal itu malah di tekankan.
C. Pemerintahan
Perempuan
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ: حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِى
بَكْرَةَ قَالَ: لَقَدْ نَفْعَنِيْ اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا من رَسُوْلِ
اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ، بَعْدَ مَا كِدْتُ
اَنَّ الْحَقَّ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ
رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ اَهْلَ فَارِسَ قَدْ
مَلَّكُوْا عليهم بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: (لَنْ يُفْلِحُ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً).
Artinya;
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Hisyam
telah menceritakan kepada kami auf dari alhasan dari Abu Bakrah, dia berkata,
“Allah telah member manfaat kepadaku dengan sebab satu kalimat yang aku dengar
dari Rasulullah Saw. Pada hari-hari (perang) Jamal setelah aku hamper-hampir
bergabung dengan mereka yang turut dalam perang Jamal, dan berperang bersama
mereka.” Dia berkata, “ketika sampai berita kepada Rasulullah Saw bahwa
penduduk Persia telah mengangkat putrid Kisra sebagai pemimpin (raja) mereka,
maka beliau bersabda, “tidak akan beruntung suatu kaum yang
mempercayakan/menguasakan urusan mereka kepada seorang wanita (mengankatnya
menjadi pemimpin mereka).”(HR Bukhari)
Penjelasan
Menurut Al-Khaththabi,
sebagaimana di kutip Al Asqalani, berkata,”dalam Hadits ini terdapat keterangan
bahwa wanita tidak dapat di angkat menjadi pemimpin maupun hakim, ini juga
menjelaskan bahwa dia tidak dapat menikahkan dirinya, dan tidak berhak
menikahka selainnya.
Tidak Syahnya
kepemimpinan seorang wanita itu adalah menurut pendapat mayoritas ulama, di
antara mereka adalah Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad. Ulama Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa kepemimpinan wanita itu di bolehkan dalam beberapa putusan
kecuali beberapa hokum. Pendapat mereka berlawanan dengan nash dan fitrah Ketuhanan.
Menurut Said Hawa alas
an tidak sahnya perempuan dalam mempin suatu Negara adalah karena tabiat wanita
tidak memungkinkannya memegang kepemimpinan Negara, yang menuntutnya untuk
bekerja secara kontinu, memimpin tentara dan memanaj segala urusan, tugas-tugas
ini tentunya sangat berat dan melelahkan bagi wanita.
Sababul Wurud:
Rasulullah Muhammad
SAWtelah mengutus ‘Abdullah ibn Hudaifah untuk mengirimkan surat tersebut
kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas di Islam dilakukan sesuai dengan pesan dan
diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan
surat kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak
dan bahkan merobek-
robek surat Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat bin al-Musayyab —setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah SAW— kemudian Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu” (al-Asqalani. Fath al-Bari, hal. 127-128). Tidak lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga setelah terjadi bunuh-membunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. (lihat juga: Abu Falah ‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Zahab, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Jilid. I, hal. 13).
Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat diungkap bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan kepala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H. tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan
Persia dan keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya? Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.
robek surat Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat bin al-Musayyab —setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah SAW— kemudian Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu” (al-Asqalani. Fath al-Bari, hal. 127-128). Tidak lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga setelah terjadi bunuh-membunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. (lihat juga: Abu Falah ‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Zahab, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Jilid. I, hal. 13).
Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat diungkap bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan kepala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H. tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan
Persia dan keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya? Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.
Analisis/Istinbath
Dari beberapa pemaparan
ulama di atas, dapat di simpulkan bahwa mayoritas ulama tidak menyetujui jika
seorang perempuan menjadi seorang pemimpin, sebagaimana Hadit di atas. Alasannya
sangat sederhana sekali, dikarenakan menurut tugas kepemimpinan hanya bisa di
emban oleh seorang kaum Adam.
Jika boleh sedikit
meraba-raba, menurut hemat penulis, Hadits Rasul yang di jadikan sub topic
pembahasan ini, terlebih dahulu harus di kontekskan dari dua segi. Pertama, dari
serangkaian Historis yang berhubungan dengan Hadits tersebut, dan yang kedua, Kondisi
social masyarakat pada waktu itu.
Sejarah telah mencatat
bahwa, jauh sebelum Hadits ini terucap dari mulut suci Rasulullah, pada suatu
ketika di kala kaum Muslim dan Kafir Qurais sedang gencatan senjata, Rasul
memanfaatkan situasi “libur” perang tersebut dengan mengenalkan Islam ke setiap
penjuru Jazirah Arab. Rasul memberikan Surat ke setiap raja-raja yang berisikan
ajakan kepada mereka untuk memeluk Islam, dan yang menjadi tukang Posnya Rasul
yakni Abdullah Ibnu Mudhafah al-Sahmi. Di antara raja-raja yang di kirimi surat
salah satunya adalah Kisra dari Persia.
Setelah surat dari Rasul
sudah berada di tangan si Kisra, dia pun lantas menyobek-nyobek surat tersebut,
dengan alas an bahwa isi dari suratnya merupakan hinaan terhadap dirinya.
Peristiwa penyobekan surat tersebut terdengar ke telinga Rasul, lantas Rasul
pun berdo’a supaya kerajaan Persia di hancur leburkan sebagaimana Kisranya yang
telah merobek surat yang berisikan ajakan suci Rasul. Beberapa tahun kemudian,
doa Rasul menjadi kenyataan tatkala Kisra meninggal dan tahtanya di gantikan
oleh putrinya, karena dia tidak memiliki ahli waris laki-laki.
Penjelasan Historitas di
atas jika di kontekskan kepada perkataan Nabi, bahwa tidak akan beruntung suatu
Negara yang di pimpin perempuan, seolah Nabi seperti sedang memojokan penguasa
wanita yang memimpin Kisra sehingga mengalami kehancuran, karena kehancuran
tersebut merupakan doa Nabi yang di kabulkan setelah peristiwa penyobekan surat
oleh kisranya.
Selain sisi pertama
tadi, juga perlu di pahami mengenai kondisi social Masyarakat kala itu. karena,
perepuan pada masa-masa dahulu kala yang mereka tahu adalah urusan dapur,
sehingga pengetahuan mengenai seluk beluk kepemimpinan khususnya dalam hal
pemerintahan sangat sedikit sekali. Oleh sebab itu, jika wanita-wanita pada
saat itu di jadikan seorang Khalifah maka yang ada malah akan menimbulkan
kehancuran.
Dari sisi analisis tersebut, penulis
berkesimpulan bahwa agaknya kurang tepat jikalau Hadits di atas di jadikan
landasan bahwa seorang wanita tidak syah jadi pemimpin. Karena, agaknya sedikit
janggal jika lau suatu landasan syara yang Nabi juga tidak secara tegas bahwa
perempuan tidak sah menjadi pemimpin, selain itu kayanya kurang tepat jika
landasan itu di berlakukan dengan mengacu pada sistem pemerintahan non muslim.
Kembali menyinggung
statement ulama di atas bahwa seorang perempuan tidak pantas menjadi pemimpin
karena kapasitasnya yang tidak tepat, mungkin hal tersebut bisa di bantah
dengan suksesnya beberapa pemimpin perempuan yang patut juga di jadikan contoh
bahwa perempuan juga sebenarnya bisa menjadi pemimpin “selayaknya” seorang
laki-laki. Contohnya, Inggris, India, dan Pakistan pernah di pimpin
seorang perempuan dan tergolong sukses, bahkan di dalam al-Qur’an di terangkan
bahwa ada seorang pemimpin perempuan pada jaman Nabi Sulaiman yang berhasil
menyelenggarakan suatu pemerintahan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam masalah politik islam juga mempunyai tata cara
dan aturan sendiri yang hal itu disebut dengan siyasah dan salah satu cakupan dari
siyasah tersebut yaitu tentang kepemimpinan dan dasar dari siyasah tersebut salah
satunya bersumber dari hadist.
B. SARAN
Mungkin dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan banyak kesalahan
oleh karena itu bagi pembaca padakususnya dimohon untuk memberikan masukan dan
saran terhadap makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://naghaz-xavien.blogspot.com/2012/12/siapa-bilang-perempuan-tidk-boleh-jadi.html
Abu Dawud, Sulaiman bin Asy’at sunan abi dawud Darul fikr beirut1414./1993M.
Al Bukhori, Muhamad
bin ismail shohih bukhori, Darul fikr, Beirut 1995 M.
Komentar
Posting Komentar