Hadits tentang Rujuk
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap keluarga selalu
berharap terciptanya kehidupan yang harmonis/sakinah mawaddah warahmah. Akan
tetapi masih banyak yang belum bisa mewujudan hal itu, sehingga seringkali
terjadi percerain dalam hubungan suami istri. Akan tetapi diberbagai ayat Allah
telah memberi sinyal kepada sumai istri yang cerai/talak untuk melakukan rujuk (kembali).
Dengan adanya syariat
tentang rujuk ini merupakan indikasi bahwa islam menghendaki bahwa suatu
perkawinan berlangsung selamnya. Oleh karena itu, kendati telah terjadi
pemutusan hubugan perkawinan, Allah SWT. Masih memberi prioritas utama kepada
suaminya untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus sebelum
kesempatan itu diberikan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah.
Rujuk merupakan hak
suami selama masa iddah, karena tidak seorangpun yanga dapat menghapus hak
rujuk. Kalau ada seorang laki-laki berkata tidak akan merujuk istrinya ia tetap
masih tetap berhak merjukinya. Karena kemanapun istri itu berada selama masih
dalam tanggungan iddah, suami masih punya hak untuk merujuknya karena dalam
masa iddah itu suami masih mempunyai tanggunan untuk memberi nafkah.
BAB II
PERMASALAHAN
Rumusan Masalah
Rumusan Masalah
1.
Hadits yang menjadi dasar hukum rujuk.
2.
Bagaiman penjelasan hadist tersebut.
3.
Kandungan hukum dalam hadits tesebut.
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian
Rujuk
Rujuk ialah suami kembali kapada isterinya yag telah dicerai
(bukan talak ba’in), yang masih dalam masa iddah kepada nikah asal yang sebelum
diceraikan dalam waktu tertentu.[1]
A. DASAR HUKUM RUJUK
3413. Ibnu Abbas r.a
berkata:
عن ابن عباس في
قوله (والمطلقات ىىيتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ولايحل لهن ان يكتمن ماخلق الله في
ارحمهن-الا ية) وذلك ان الرجل كان اذا طلق امرأته فهواحق برجعتها.
وان طلقها ثلاثا. فنسخ ذلك (الطلق مرتان-الاية)رواه أبووداود والنسائ
“Mengenai firman ALLAH “wal muthallaqaatu yatarabbashna
bi anfusihinna tsalatsata quruu-in wala jahillu lahunna an yaktum nama
khalaqallaahu fi arhamihinna”=dan wanita-wanita yaNg ditalak menunggu tiga kali
suci dan tiada halal bagi mereka menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah
di dalam rahim-rahim mereka.” Maksudnya ialah: seseorang lelaki apabila ia
mentalak istrinya, maka dia lebih berhak rujuk kepadanya walaupun dia
mentalaknya dengan talak tiga. Yang
demikian ini dinasakhkan oleh firman “Ath thalaaqu
marataani=talak itu dua kali”. (H.R Abu Daud an
NASA-Y; Al Muntaqa II:616)
3414. Aisyah r.a
berkata:
وعن عروة عن
عائشة قالت: كان الناس والرجل يطلق امرأته ماشاء ان يطلقها, وهى امرأته اذا
ارتجعها, وهى فى العذة, وان طلقها مائة مرة واكثرز حتى قال رجل لامراته: والله لا
اطلقك فتبي منى, ولا اويك ابدا. قالت : وكيف ذلك ؟ قال اطلقك, فكلما همت عدتك ان تنقضى راجعتك
فدهبت المرأة,حتى دخلت على غائشة, فأخبرها, فسكتت عائشة, حتى جاء النبي صلى الله
عليه واله وسلم, حتى نزل القران (الطلاق مرتان, فامساك بمعروف او تسريح باحسان)
قالت عائشة: فاستأنف الناس الطلق مستقبلا, من كان طلق ومن لم يكن طلق. رواه
الترمذى
“Adalah
manusia dan seseorang lelaki mentalak isterinya sebanyak yang dikehendaki dan
isterinya itu tetap isterinya apabila dia rujuk kepadanya di dalam iddah
walaupun telah ditalak seratus kali dan lebih dari itu. Pernah seorang lelaki
berkata kepada isterinya: Demi Allah aku tidak mentalak engkau. Lalu engkau
terlepas dari padaku dan tidak pula aku kembali kepada engkau. Wanita itu
berkata: betapa yang demikian itu. Dia menjawab: aku talak engkau, tetapi
tiap-tiap iddah engkau akan habis, aku rujuk kepada engkau. Karena itu pergilah
si isteri hingga masuklah dia ke rumah dan dikabarkan kepadanya. Aisyah berdiam
diri hingga datang Nabi saw., lalu Aisyah mengabarkan hal itu kepada beliau.
Nabi saw. Berdiam diri, sehingga turunlah firman “Ath thalaqu marrataani fa in
sakun lima’rufin aw tasihun bi ihsan= talak itu dua kali kemudian menahan
isteri dengan ma’ruf atau melepaskannya dengan ihsan. Berkatalah Aisyah: maka
manusia memulai talak, baik yang telah bertalak maupun yang belum pernah yakni:
mulai dari saat itu barulah menghitung talak dua kali, tanpa melihat talak
sebelumnya.” (H.R.
At-Turmudzi; Al-Muntaqa II:616)
3415. Mutarrif ibn ‘Abdullah menerangkan:
وعن عمران بن حصين انه سئل عن الرجل يطلق امرأته, ثم يقع بها, ولم يشهد
علاطلاقها, ولا على رجعتها: فتال طلقت لغير سنة: وراجعت لغير سنة, اشهد على
طلاقها, وعلى رجعتها, ولا تعد. رواه أبوداودوابنن ماجه
“Sesungguahnya
kepada Imran ibn Husein ditanyakan tentang seorang lelaki yang menceraikan
isterinya kemudian disetubuhinya. Dia tidak mengadakan saksi terhadap talaknya
dan terhadap rujuknya. Maka Imran menjawab: engkau telah mentalak isteri engkau
tidak menurut sunah. Dan engkau telah rujuk kepadanya tidak menurut sunah.
Adakanlah saksi terhadap talaknya dan terhadap rujuknya. Janganlah engkau
kembali lagi.” (H.R. Abu
Daud dan Ibnu Madjah; Al-Muntaqa II:617)
I.
a. Hadits 3413 diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’y. Di dalam sanadnya ada seorang perawi yang dipersellisihkan,
yaitu Ali Ibnul Husain ibn Waqid.
b. Hadits 3413 dan 3414 menyatakan, bahwasannya talak
yang masih dapat dirujuk
sesudahnya, hanyalah dua kali dan menyatakan ada talak
yang berlaku dikalangan orang arab di masa jahiliyah.
c. Hadits
3414 diriwayatkan oleh At-Turmudzy, secara marfu’ dan secara mauquff.
Menurut
At-Turmudzy hadits yang diriwayatkan secara mauquf adalah lebih shahih daripada
yang dirwayatkan secara marfu’.
d. Hadits 3415 menyatakan bahwa mengadakan saksi
untuk talak dan untuk rujuk wajib.
II.
Al-Hafidh di dalam Fathull Bari berkata: para
ulama telah ber ijma’ menetapkan
bahwasannya lelaki
apabila telah mentalak isterinya yang merdeka sesudah
didukhulinya, satu talak atau dua talak, maka si suami
masih lebih berhak rujuk kepadanya walaupun tidak disukai oleh isterinya. Tetapi
jika dia tidak rujuk kepada isterinya sehingga berakhir iddah, maka isteri itu
tidak lagi halal baginya terkecuali dengan nikah baru.
Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dilakukan oleh si suami sehingga
dia dipandang telah rujuk kepada isterinya.
Menurut Al-Auza’y, bahwa apabila dia kembali menyetubuhi isterinya
beratilah ia telah rujuk kepada isterinya. Demikianlah pendapat sebagian ulama
tabi’in.
Malik dan Ishaq berpendapat demikian juga dengan syarat
meniatkan rujuk. Ulama-ulama kufah, seperti Al-Auza’y, mengatakan bukan saja
dengan menyetubuhi dipandang telah rujuk, bahkan dengan menyentuh tubuhnya
dengan birahi atau memandang farajnya dengan nafsu syahwat, dipandang telah
rujuk.
Menurut Asy-Syafi’i , tidaklah dipandang rujuk terkecuali dengan melafadkan
bahwa dia telah rujuk kepada isterinya.
III.
Menurut dhahir, pendapat golongan pertamalah yang kuat, karena masa iddah
adalah masa menimbang mana yang baik dilakukan, rujuk kembali kepada isteri
atau melepaskanya. Dan pilihan itu boleh dilakukan secara lisan dan
perbuatan. Dhahir firman Allah: ”dan
suaminyalah yang berhak kembali kepadanya”, demikian pula sabda Nabi saw. “suruhlah
Ibnu Umar kembali kepada isterinya”, memberi pengertian, bahwa rujuk itu
dapat dilakukan dengan perbuatan, tidak harus diucapkan secara lisan. Kepada
golongan yang mengharuskan ada ucapan lisan, diharuskan mengemukakan dalil.
Dapat dipahami dari hadits Aisyah, bahwasannya rujuk untuk menimbulkan
kemudaratan bagi isteri, haram. Karenanya rujuk dengan maksud tidak baik itu,
tidak sah. Tiap-tiap rujuk yang dimaksudkan bukan untuk perbaikan, tidaklah
dapat dipandang rujuk yang dibenarkan agama.
Dhahir kedua-dua hadits ini menyatakan, bahwa pada permulaan Islam si suami
berhak rujuk kepada isterinya sesudah talak yang ketiga dan talak-talak
berikutnya, kemudian hal itu dimansukhkan oleh ayat “Ath talaqu marratani”. Dan
mulai ayat itu turun, barulah mulai berlaku perhitungan talak.
B. RUJUK DENGAN ISTERI
SETELAH TALAK YANG KETIGA
3416. Aisyah r.a berkata:
وعن عائشة قالت
جاءت امراةرفاعة القرظى الى النبى صلى الله عليه واله وسلم, فقالت : كنت عند رفاعة
القرظى فطلقنى, فبث طلاقى فتزوجت بعده عبد الرحمن بن الزبير, وانما معه مثل هدبة
الثوب. فقال <اتريدين ان ترجعى الى رفاعة؟ لا, حتى تذوقى عسيلته ويدوق,
عسيلتك> رواه الجماعة
“Isteri
Rifa’ah Al-Quradzy datang kepada Nabi saw. Dan berkata : Aku isteri Rifa’ah
Al-Quradzy, dia mentalak aku dan dia menghabiskan talakku. Karena itu aku
bernikah dengan Abdur Rahman ibn Zubair,
tetapi apa yang adapadanya(kelakuannya) adalah serupa ujung kain. Maka Nabi saw.
Berkata: Apakah engkau mau kembali kepada Rifa’ah? Tidak boleh, sehingga engkau
merasakan madunya dan dia merasakan madumu.” (H.R. Al-Jama’ah;
Al-Muntaqaha II:617)
3418. Ibnu Umar r.a
berkata:
وعن ابن عمر قال: سئل نبى الله صلى الله عليه واله وسلم عن
الرجل يطلق قبل امرأته ثلاثا, و يتزوجها اخر, فيغلق الباب, ويرخى الستر, ثم يطلقها
قبل ان يدخل بها, هل تحل للأول؟ قال<لا, حتى تدوق العسيلة> رواه احمد و
النسائ
“Ditanya
kepada Nabi saw. Tentang seorang lelaki yang mentalak isterinya dengan talak
tiga, lalu dia dikawini oleh seorang lelaki, maka dia pun mengunci pintu,
menurunkan tirai, kemudian dia mentalaknya sebelum dia setubuhi, halalkah
wanita itu bagi yang pertama? Nabi saw menjawab: “Tidak. Sehingga si wanit
merasakan madu.” (H.R. Ahmad dan An-Nasa-y; Al-Muntaqaha II:617)
I.
a. Hadits 3416
menyatakan, baha tidak boleh rujuk
sesudah talak tiga, terkecuali sesudah
si perempuan
kawin dengan lelaki lain dan disetubuhi oleh si suami barunya itu.
b. Hadits 3417 diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam
kitab Al-Hilyah.
Menurut
Al-Haitsami di dalam sanadnya ada perawi yang tidak dikenal. Tetapi perawi-
perawi
yang lain semuanya perawi-perawi hadits shahih.
II.
Ibnul Mundzir berkata: para ulama sepakat menetapkan,
bahwa adanya persetubuhan dengan suami yang kedua, asalah syarat sah kembali si
perempuan itu kepada bekas suaminya yang pertama. Hanya Sa’id Ibnul Musayyab
llah yang membolehkan dinikahi kembali oleh bekas suami paertama asal sudah
dikawini oleh seseorang, walaupun dia tidak menyetubuhinya.
Ibnul Mundzir berkata pula: pendapat Sa’id ini, tidak ada yang mengikutinya
selain dari golongan khawarij. Mungkin sekali hadits-hadits ini tidak sampai
kepada Sa’id, beliau hanya berpegang kepada dhahir aya al-Qur’an. Pendapat Sa’id
ini diterangkan juga oleh An-Nahhas dalam kitab Ma’anil Qur’an. Dan oleh
Abdul Wahab Al-Maliky dalam Ar-Risalah dari Sa’id ibn Jubair. Dan oleh Ibnu
Jauzi dari Daud.
Ulama-ulama malikiyah mensyaratkan
sahnya suami pertama kembali kepada bekas isterinya, adalah
jikamperkawinan yang dilakukan oleh suami yang kedua, bukan dengan maksud
menghalalkan si isteri bagi bekas suaminya yang pertama.
Diterangkan oleh Ash-San’any, para ulama ber ijma’ bahwa si suami berhak
merujuki isteri-isterinya yang ditalak dengan talak raj’i selama dalam iddah
tanpa diperlukan keridlaan isteri dan keridlaan walinya, asal saja talak itu
dilakukan sesudah pernah disetubuhi, sedang rujuk yang dilakukan itu rujuk yang
disepakati olehnya oleh semua ulama, bukan rujuk yang diperselisihkan.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengadakan saksi untuk rujuk.
Dhahir ayat dan dhahir hadits mengesankan, bahwa mengadakan saksi untuk rujuk
adalah wajib.
Jumhur ulama mensahkan rujuk dengan perbuatan walaupun tidak diberitahu
kepada si isteri. Menurut Malik, apabila si isteri kawin sebelum diberitahukan
bahwa si suami yang telah mentalaknya, telah rujuk kepadanya, maka nikahnya
sah, tidak boleh dipisahkan dari suaminya yang kedua, walaupun belum didukhuli.
Para ulama sependapat menetapkan bahwa syarat sah rujuk, ialah rujuk itu
dilakukan dengan itikad baik dengan maksud hidup rukun dan damai. Kalau
berlawanan dengan maksud-maksud syara’ maka rujuk itu tidak sah.
III.
Nyatalah dari hadits-hadits yang tersebut bahwa apabila
seseorang telah mentalak isterinya dengan talak tiga (tiga kali talak) maka dia
belum boleh bernikah kembali dengan bekas isterinya itu sebelum bekas isterinya
bernikah dengan orang lain dan telah disetubuhi oleh suami barunya itu. Dan
menurut dhahir hadits-hadits ini bahwa rujuk (nikah kembali) kepada bekas
isteri, telah dibolehkan apabila telah ditalak oleh suaminya yang kedua setelah
disetubuhinya, baik nikah yang kedua dilakukan dengan maksud menghalalkan si
isteri untuk bekas suaminya. Akan tetapi apabila hadits ini dipautkan dengan
beberapa hadits lain, yang menandaskan bahwa lelaki yang bernikah hanya
semata-mata untuk menghalalkan si isteri kepada bekass suaminya adalah orang
yang terkutuk. Nikah yang dilakukan oleh suami yang kedua hendaklah nikah yang
dilakukan dengan niat untuk hidup rukun dan damai, bukan sekedar untuk
membolehkan si isteri dinikahi kembali oleh bekas suaminya yang dahulu.
- KEHARUSAN
MENGADAKAN SAKSI SAAT RUJUK
3419. Mutharrif ibn
Abdullah menerangkan:
وعن عمران بن حصين
انه سئل عن الجل يطلق امراته, ثم يقع بها, ولم يشهد على طلاقها, ولا على
رجعتها. فتال طلقت لغير سنة: وراجعت لغير سنة, اشهد على طلاقها, وعلى رجعتها,
ولاتعد. رواه ابوداودو ابن ماجة
“Bahwasannya kepada Imran ibn Husein
ditanyakan tentang seorang lelaki yang mentalak isterinya, kemudian dia setubuhinya,
sedang dia tidak mengadakan saksi terhadap talaknya dan tidak pula terhadap
rujuknya. Maka Imran ibn Husein menjawab: Engkau telah mentalak tidak menurut
sunnah san engkau rujuk juga tidak menurut sunnah, adakanlah saksi terhadap
talaknya dan terhadap rujuknya, jangan engkau ulangi lagi.” (H.R. Abu Daud dan
Ibnu Madjah; Al-Muntaqaha II:617)
I.
Hadits 3419
menyatakan, bahwa untuk talak dan rujuk diharuskan adanya saksi.
II.
Abu Hanifah dan Ashhabnya, demikian pula
Asy-Syafi’y dalam salah
satu pendapatnya
menetapkan
bahwasannya terhadap rujuk tidak diharuskan adanya saksi.
Malik
As-Syafi’y dalam suatu pendapatnya yang lain menetapkan bahwasannya terhadap
rujuk diharuskan ada saksi.
Diterangkan
oleh Ibnu Qudamah, bahwa Ahmad dalam salah satu pendapatnya menetapkan bahwa rujuk harus dengan disaksikan oleh dua
orang saksi. Rujuk dipandang sama dengan nikah, yakni harus ada saksi. Rujuk
dipandang sama dengan nikah, yakni harus ada saksi. Dalam pada itu menurut
riwayat yang sebuah lagi dari Ahmad dan itulah riwayat yang dipilih oleh Abu
Bakar, bahwa rujuk tidak memerlukan adanya saksi.
As-Syaukany
berkata: di antara dalil-dalil yang
menunjukkan kepada tidak wajjib adanya saksi, ialah : ijma’ yang menetapkan
bahwa talak tidak wajib disaksikan oleh dua orang saksi seperti yang
dihikayatkan oleh Al-Muwadzdzi’y dalam Taisirul Bayan sedang rujuk ini
adalah kelanjutan dari talak. Maka kalau pada talak tidak wajib ada saksi,
tentu begitulah pula pada rujuk.
III.
Tidak ada
perselisihan antara ahli ilmu bahwa menurut sunnah hendaklah rujuk itu
disaksikan oleh dua orang saksi. Dan juga kita mengatakan bahwa kesaksian itu
diharuskan adanya di waktu rujuk, maka jika terjadi rujuk tanpa ada saksi,
tentulah rujuk itu tidak sah. Untuk menghindari hal-hal yang merugikan bagi pihak
istteri, kami cenderung kepada pendapat yang mengharuskan adanya kesaksian
untuk rujuk itu.
BAB IV
KESIMPULAN
Rujuk artinya kembali ’secara
umum adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah
sesudah ditalak raj’iy.
Berdasarkan
hadist-hadist dari aisyah r.a dan para periwayat hadist, sehingga mayoritas ulama sependapat menetapkan bahwa rujuk, itu
boleh dilakukan dengan itikad baik
dengan maksud hidup rukun dan damai. Kalau berlawanan dengan maksud-maksud syara’
maka rujuk itu tidak sah.
sahnya suami pertama kembali kepada bekas isterinya, adalah jika
perkawinan yang dilakukan oleh suami yang kedua, bukan
dengan maksud menghalalkan si isteri bagi bekas suaminya yang pertama.
Dalam hadist yang
dijelaskan diatas, bahwa tidak ada perselisihan antara yang berpendapat rujuk
dengan adanya saksi maupun tidak ada saksi.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, Moh. Fiqih Islam
Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra.
Ash Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-hadis hukum 8, Jakarta: PT Puataka
Rizki Putra.
Komentar
Posting Komentar