Hadits tentang Pernikahan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam dengan
kandungan hukumnya yang universal dan mampu menjelaskan keseluruhan yang
dibutuhkan dalam hidup manusia, telah memberikan aturan yang sangat jelas bagi
kedua orang yang hendak melangsungkan pernikahan, laki-laki dan wanita.
Sesungguhnya satu-satunya petunjuk bagi manusia adalah petunjuk yang datangnya
dari Allah SWT Untuk itu bagi seseorang yang ingin menikah maka keduanya harus
saling memahami, mencintai, dan mengasihi. Artinya, sebelum melangsungkan
pernikahan atau pada masa lamaran, pihak laki-laki maupun wanita harus saling
mengutarakan visi dan misinya sehingga kedua belah pihak saling memahami dan
mengerti.
Islam sangat
memperhatikan keluarga, Islam juga memberikan penjelasan yang konkret bahwa
betapa pun keluarga itu harus diwarnai dengan rasa cinta kasih dan sayang.
Islam mengingatkan bahwa pernikahan itu tidak hanya sekedar teori dari adanya
seorang laki-laki yang merasa cenderung dan tertarik kepada seseorang wanita
kemudian melampiaskan nafsunya, seperti menurut anggapan falsafah yang ada.
Tetapi, pernikahan itu
sebuah ikhtiar seseorang untuk membentuk keluarga yang harus
memperhatikan hak-hak Allah SWT guna melahirkan keturunan atau generasi dengan
menjaga nilai-nilai ajaran serta prinsip Islam. Dalam makalah ini penulis akan
menjelaskan tentang pengertian pernikahan, kategori-kategori untuk memilih
jodoh, nikah sebagai sunnah Nabi dan anjuran-anjuran untuk menikah yang
sesuai dengan hadis-hadis yang akan dipaparkan di makalah ini secara sistematis
dan gamblang.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja hadist Rasul tentang
pernikahan?
2. Bagaimana asbabul wurud
hadist tersebut?
3. Bagaimana kekuatan
hadist tersebut?
4. Apa kandungan hukum
hadist tersebut?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui
hadist-hadist tentang pernikahan.
2. Untuk mengetahui
sebab-sebab hadist tersebut diturunkan.
3. Untuk mengetahui
kekuatan Hadist.
4. Untuk mengetahui
kandungan hukum yang terdapat dalam hadist.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits ‘Abdulloh bin
Mas’ud tentang anjuran untuk menikah
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو
مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ». (اخرجه المسلم)
Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu kuraib meriwayatkan kepadaku mereka
berkata Abu Mu’awiyah meriwayatkan dari al-A’masy, dari Umarah bin Umair, dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah dia berkata, Rasulullah
SAW telah bersabda kepada kita : ”wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian
telah sanggup menikah (ba’ah) maka menikahlah, sesungguhnya menikah dapat
mencegah dari melihat sesuatu yang terlarang dan dapat membentengi farji
(kemaluan), dan barangsiapa yang belum mampu (ba’ah/menikah) maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu adalah
penawar/penekan nafsu syahwat.(Dikeluarkan
dari HR.Muslim)
1.
Asbabul Wurud dan Penjelasan
Menurut ahli bahasa golongan pemuda dalam hadits tersebut adalah golongan
yang belum mencapai tiga puluh tahun. Maka golongan pemuda tersebut dianjurkan
untuk menikah, dengan beberapa ketentuan. Anjuran ini bukan berarti wajib
melainkan sunah. Seperti pendapat Imam Nawawi dalam kitabnya Shahih Muslim
‘Ala Syarhin bahwa hukum nikah itu dibagi menjadi empat, yaitu:[1]
1. Laki-laki yang mampu berjima’ dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya maka sunah hukumnya untuk menikah
2. Laki-laki yang mampu berjima’ tetapi hanya mampu memenuhi kebutuhan
dirinya sendiri dan tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya maka makruh
hukumnya untuk menikah
3. Laki-laki yang mampu memenuhi kebutuhannya dan keluarganya tetapi tidak
mampu berjima’ maka hukumnya juga makruh untuk menikah
4. Laki-laki yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya
serta tidak mampu berjima’ maka lebih baik menjauhi pernikahan.
Hadits ini juga menerangkan bahwa Nabi SAW menandaskan, siapa saja di
antara para pemuda yang mempunyai kesanggupan untuk menikah dan mempunyai
penghasilan untuk membelanjai rumah tangga serta berkeinginan hidup berumah
tangga hendaklah menikah, tidak boleh membujang. Mereka yang tidak sanggup
memelihara rumah tangga, atau tidak mempunyai kemampuan untuk menikah hendaklah
dia berpuasa, karena puasa baginya sama dengan mengebirikan (mensterilkan)
diri. Maka tidak halal beristri bagi orang yang merasa tidak sanggup memberi
nafkah atau mas kawin, atau sesuatu hak istri sebelum dia menerangkan kepada
istri tentang keadaannya, dan hendaklah dia menerangkan pula tentang keadaan
kesehatan badannya, seandainya dia mempunyai penyakit yang menghalangi
persetubuhan.
2. Kualitas Hadist
Dari
paparan data dan analisa tentang tsiqah al-rawi dan ittisal al-sanad
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)
Kualitas:
v
Dilihat dari kualitas periwayat dapat dinyatakan bahwa
seluruh periwayat dalam sanad termasuk periwayat yang tsiqah.
v Semua
periwayat dalam sanad bersambung sanadnya.
Maka
dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hadits tentang anjuran menikah ini
adalah shahihul –isnad.Hadits tentang anjuran menikah ini sejauh yang dikaji, ditemukan beberapa muttabi` dan syahid yang telah di
tulis peneliti diatas.
2)
Kuantitas:
Sebagaimana yang terlampir di atas, meski terdapat beberapa periwayatan hadits,
namun hadits ini hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat yakni sahabat
Abdullah bin Mas’ud RA, sehingga dapat disimpulkan bahwa hadits ini termasuk
hadits gharib atau ahad.
3. Kandungan Hukum
Nikah itu di sunahkan
bagi orang yang sudah mempunyai hasrat menikah dan mampu dalam segi materi.
Apabila sudah punya hasrat menikah tetapi belum mampu dalam segi materi maka
dianjurkan untuk menahan syahwatnya dengan cara berpuasa. Sedangkan apabila
seseorang tidak mempunyai keinginan untuk menikah dan tidak mampu dalam segi
materi maka menikah hukumnya makruh, bahkan jika menikah itu hanya akan membuat
seorang istri menderita, maka nikahnya itu haram hukumnya.
B. Hadits Abu Hurairah tentang
kategori pemilihan jodoh
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ لِمَالِهَا
وَلِحَسَبِهَا وَجَماَ لِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ. (أخرجه البخاري في كتاب النكاح)
“Dari Abu Hurairah ra. (ia berkata), dari Nabi SAW. beliau bersabda:
“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau
memilih (perempuan) yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung”. (dikeluarkan
dari HR. Bukhori dalam Kitab Nikah)
1. Asbabul
Wurud dan Penjelasan
Asbabul wurud hadist diatas memerintahkan kita untuk
lebih berhati-hati dalam memelih pasangan hidup yang sesuai dengan syar’i. Tunkahul mar’ah li arba’ (تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ) bukan berarti bahwa empat kriteria yang
disebutkan di dalam hadits di atas merupakan empat kriteria yang dianjurkan
kepada seorang muslim yang akan memilih jodohnya. Namun maksud dari lafadz di
atas adalah Rasulallah SAW memberitahukan bahwa empat hal yang menjadi
kebiasaan laki-laki ketika memilih perempuan.
1.
Hartanya
Di dalam hadis ini seorang laki-laki (mencari jodoh) dianjurkan untuk
memilih calon istri berdasarkan hartanya. Karena dengan harta mereka bisa
mencukupi kebutuhan hidup keluaganya. Dengan harta pula mereka tidak akan
kekurangan dan bisa bersenang-senang, serta bisa menyisihkan sedikit hartanya
untuk berbagi dengan yang lain. Di dalam hadis juga diterangkan jika harta itu
milik istri maka suami boleh menggunakan harta tersebut dengan izin istri.
Berbeda halnya dengan harta milik suami, istri berhak memakainya karena pada
dasarnya suami wajib memeberi nafkah kepada istri. Namun makruh hukumnya jika
seorang laki-laki memilih calon istri berdasarkan hartanya, karena
dikhawatirkan dengan harta istri bisa menurunkan kehormatan suami.
2.
Derajat atau kemuliaan keluarganya
Anjuran berikutnya memilih calon pasangan berdasarkan hasabnya. Hasab
disini bisa diartikan menjadi dua makna yaitu, keturunan dan derajat atau
pangkat. Jika dilihat dari keturunan, maka seseorang yang akan memilih jodohnya
harus mengetahui asal-usul kelahiran Si calon dari ayah dan kerabat dekatnya
yang satu nasab. Dengan mengetahui nasab atau keturunannya maka tidak akan
menimbulkan fitnah.
Hasab dilihat dari derajat atau pangkat kemuliaan. Dengan memilih wanita
yang memiliki derajat atau pangkat maka bisa mengangkat kehormatan dirinya.
Namun, laki-laki yang menikahi seorang perempuan berdasarkan kehormatannya
saja, juga dihinakan oleh Nabi, sebagaimana sabdanya: “barang siapa
menikahi wanita karena kemuliaannya, maka tidak akan bertambah baginya kecuali
kehinaan.”
3.
Kecantikannya
Memilih wanita dari kecantikannya dan kebaikannya. Karena wanita yang
cantik itu enak dipandang. Akan tetapi makruh juga hukumnya, jika menikah
dengan wanita yang sangat cantik malah justru akan menimbulkan keresahan pada suaminya,
bahkan takut menimbulkan fitnah.
4.
Agamanya
(akhlaknya)
Dari keempat kriteria di atas, memilih perempuan untuk dinikahi
berdasarkan agamanya adalah yang paling pokok yang dianjurkan oleh Nabi saw.
Memilih wanita dari agamanya, karena wanita yang baik agamanya dapat memberikan
manfaaat dunia dan akhirat. Wanita yang kuat agamanya juga memiliki akhlak yang
baik (wanita sholihah), akan mudah patuh dan taat di atur dalam keluarga, serta
wanita inilah yang kelak akan kita butuhkan. Wanita sholihah senantiasa
bersedia menemani dan menjaga kehormaatan sang suami bagaimanapun keadaannya.
Hal ini senada dengan tujuan pernikahan yakni untuk menghasilkan keturunan yang
baik, yang kelak akan menjadi penerus perjuangan agama Islam.
Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw sebagai
keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau. Oleh karena itu, buah yang baik
akan sulit dihasilkan kecuali oleh pohon yang baik pula. Tetapi pilihlah wanita
dari agamanya, sekalipun wanitu itu hitam sekali tetapi agamanya lebih utama.
Banyak pendapat mengenai hadits ini, diantaranya pendapat Al-Ghazali
bahwa memilih istri hanya berdasarkan agamanya karena sesungguhnya kecantikan,
harta, dan okedudukan itu hanyalah sementara. Tetapi berbeda
dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyebutkan bahwa memilih pasangan itu
berdasarkan kebutuhannya. Contonya ketika Rasulullah menikahi ‘Aisyah
berdasarkan kepandaiannya. Dengan kepandaiannya ‘Aisyah maka hadits Nabi bisa
terpelhara sampai sekarang.
2. Kualitas Hadist
Hadis di atas adalah
hadist yang masyhur di kalangan masyarakat awam. Dalam Kutubus Tsittah
sendri terdapat sekitar 8 kali disebutkan. Dengan rincian dalam kitab Shohih
Bukhori terdapat 1 kali, dalam Shohih Muslim terdapat 2 kali, dalam Sunan Abu
Dawud 1 kali, Sunan Turmudzi 1 kali, dalam Sunan Nasai 2 kali dan dalam Sunan
Ibnu Majah terdapat 1 kali. Dari beberapa kitab yang menyebutkan Hadist ini
ataupun dari masing-masing kitab terdapat perbedaan pada Sanad Hadist. Namun
secara maknanya sama. Menimbang dari runtutan Sanad dari hadis-hadis tersebut
dan perawinya maka bisa disimpulkan bahwa hadist tersebut adalah hadist shohih.
Ini di dukung pula dengan tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa hadist
tersebut hadist Dhoif. Hadis ini pun memenuhi syarat untuk katagori hadist
shohih.[2]
3. Kandungan Hukum
Memilih
jodoh yang “baik” adalah langkah awal untuk memulai membina rumah tangga yang
diridoi Alloh. Dalam memilih calon pendamping kita perlu cermat dan memakai
kriteria yang benar, agar mendapatkan pasangan yang baik dan sesuai. Namun hal
ini memang gampang-gampang susah.
Pasangan
hidup yang menjadi jodoh memang meupakn urusan Tuhan dan sudah menjadi
taqdir-Nya. Tetapi sebagai hamba yang baik kita tidak bisa diam saja menunggu
jodoh itu datang. Kita diwajibkan mencari dan memilih pasangan sesuai dengan
aturan syar’i. Para pencari jodoh sebaiknya selain rasa cinta biasanya tidak
terlepas dari 4 unsur yang telah disebutkan diatas.
1)
Karena hartanya
2)
Karena nasabnya
3)
Karena kecantikannya
4)
Karena agamanya.
Keempat
kriteria di atas bukan lah unsur yang wajib ada, karena semua manusia di dunia
ini tidak ada yang semourna, tetapi 4 kriteria di atas adalah hal-hal pokok
yang sangat menentukan hasil akhir. Dan ke empat unsur diatas adalah hal yang
sangat ideal.[3]
C. Hadist Abu Dawud
Tentang Anjuran Melihat Wanita Pinangan
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله
عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ
الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى
نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ ,
وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ , وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari Jabir bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah seorang
di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang
menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud
dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim.
1. Asbabul
Wurud dan Penjelasan
Hadist tersebut
diperkuat dengan praktik seorang sahabat terkemuka, Jabir bin Abdillah ra dan
juga oleh Muhammad bin Maslamah. Keduanya sudah merupakan hujjah yang kuat, dan
tidak berbahaya jika kita mengamalkannya, meskipun ada yang berpendapat bahwa
yang diperbolehkan hanya melihat muka dan telapak tangan. Sebab pendapat itu
merupakan pembatasan terhadap hadist tanpa ada dalil yang membatasinya dan
mengabaikan praktik yang dilakukan oleh sahabat.
Abdurrazaq dan
Sa’id bin Manshur meriwayatkan di dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu Umar,
serta Sufyan, dari Amir bin Dinar dari
Muhammad bin Ali bin Al-Hanafiyah.
Bahwa
Umar bin Khathtab ra meminang putri Ali ra yaitu Ummi Kulsum. Kemudian Ali
memberitahukan bahwa putrinya masih terlalu hijau. Lalu dikatakan kepadanya
“jika ia menolak, paksa dia!” Kemudian Ali mengatakan “Akan aku kirim anak itu
kepadamu, jika ia mau maka ia akan menjadi istrimu.” Setelah putrinya kepada
Umar, Umar segera membuka betisnya. Lalu si putri itu berkata “seandainya
engkau bukan seorang khalifah, pasti kedua matamu sudah aku tonjok.”
Riwayat
ini jelas menunjukkan penyangkalan terhadap apa yang dikemukakan oleh sebagian
ulama yang menyatakan bahwa yang diperbolehkan hanya melihat muka dan telapak
tangan.
Pendapat
yang sulit menerima riwayat ini adalah Madzhab Hanafi dan Syafi’i, Ibnu
al-Qayyim di dalam Tahdzibus Sunan mengatakan “Dawud berkata, ia boleh melihat
seluruh tubuhnya”. Dari Imam Ahmad ada 3 riwayat, yaitu:[4]
1.
Boleh melihat muka dan telapak tangannya.
2.
Boleh melihat anggota yang umumnya terlihat, misalnya leher, kedua
betis dan lainnya.
3.
Boleh melihat semua anggota tubuhnya, baik aurat atau tidak. Bahkan
Dawud menandaskan bahwa boleh melihat dalam keadaan bugil.
Ibnu
Al-Jauzi di dalam Shaidu Al-Khathir menyebutkan riwayat yang hampir sama dengan
riwayat Imam Ahmad yang kedua. Ia berkata, “Imam Ahmad telah menetapkan bahwa
seorang laki-laki boleh melihat calon istrinya pada anggota yang termasuk
auratnya. Ia menunjuk anggota yang melebihi wajah.”
Imam
Ahmad berkata, “ia boleh melihat calon istrinya pada bagian tubuh yang
membuatnya tertarik, misalnya tangan, muka dan lain-lain.” Sementara Abu Bakar
al-Maruzi berkata, “ketika, seseorang boleh melihat wanita pinangan dalam
keadaan seperti itu adalah karena Nabi SAW ketika memberi izin hal itu tanpa
sepengetahuan wanita yang bersangkutan, menunjukkan bahwa beliau memperbolehkan
melihat anggota badan yang umumnya terlihat. Sebab tidak mungkin seseorang
hanya melihat muka saja tanpa melihat anggota lain yang juga terlihat.
Selanjutnya karena wanita itu sedang berada di tangah para mahramnya, maka
laki-laki yang meminang juga diperbolehkan melihat anggota yang boleh dilihat
oleh laki-laki mahram. Hal itu juga merupakan perintah syara’.”
2. Kualitas Hadist
Hadist ini di takhrijkan oleh Ath-Thahawi dan Imam Ahmad dari Zuhair bin
Mu’awiyah dari Abdullah bin Isa dari Musa bin Abdullah bin Yazid dariAbu Humaid
kemudian dari Rosulullah SAW.
Semua perawi tsiqah dan termasuk perawi yang dipakai oleh
Imam Muslim, semuanya mengatakan bahwa Sanad itu Shahih.
Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkannya di dalam al-Ausath danAl-Kabir, seperti yang disebutkan dalam Al-majma, ia
berkata : “Perawi-perawi yang dipakai oleh Imam Ahmad adalah perawi Shahih.[5]
3. Kandungan Hukum
Hadits ini memuat anjuran kepada laki-laki yang hendak melamar seorang
perempuan untuk dikawini, agar melihatnya terlebih dahulu sebelum menyatakan
maksud lamarannya, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, agar ketika
melamar itu hatinya mantap karena telah mengetahui sesuatu yang membuat hatinya
tertarik untuk menikahi perempuan tersebut.
D. Hadist Imam Ahmad Tentang
Pernikahan yang Sah
وَرَوَى اْلإِمَامُ أَحْمَدُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ
عِمْرَانَ ابْنِ الْحُصَيْنِ مَرْفُوْعًا ( لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَيْنِ
Imam Ahmad meriwayatkan
hadits marfu' dari Hasan, dari Imran Ibnu al-Hushoin: "Tidak sah nikah
kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi."
1. Asbabul
Wurud dan Penjelasan
Hadist
ini menerangkan perlunya wali, dan dua orang saksi dalam pernikahan. Hadist
tersebut dengan matan yang lebih lengkapditulis kembali oleh Ibnu Hajar dalam
kitabnya Talkhish. Pentahkik maktabah Nizar al-Baz Mekah, berkomentar atas
hadist Imran bin al-Hushain yang berbunyi لانكاح إلا بولي وشا هدى عدل , dengan kalimat pendek لم أ قف عليه (aku tidak mendapatkannya dalam kitabnya).
Hadist diperlukannya dua orang saksi yang adil dalam pernikahan, menurut
az-Zaila’i adalah mendasarkan pada hadist riwayat Ibnu Hibban.
Penulis
telah berusaha untuk menemukan hadist riwayat Ahmad sebagaimana ditunjuk Ibnu
Hajar dalam Musnad Ahmad. Dari sekian banyak hadist yang bisa kita baca dalam
dari jalan Imran bin al-Hushain, tidak satu pun ditemukan riwayat yang ada
kalimat wasyahidaini. Berangkat dari kenyataan ini, peneliti berkeyakinan bahwa
Ibnu Hajar telah keliru sebut atau penerbit kitab Bulugh al Maram keliru cetak.
[6]
Syarat syah nikah adanya
wali bagi mempelai wanita, baik dia masih perawan maupun sudah janda, keduanya
disyaratkan mempunyai wali yang menikahkannya. Jika si wanita tak mempunyai
wali karena dia anak zina atau keluarganya seluruhnya kafir misalnya, maka yang
menjadi wali dari wanita itu adalah dari pihak yang ditunjuk oleh penguasa.
Syarat berikutnya
adalah adanya dua saksi adil yang menyaksikan pernikahannya. Ada sebuah lafazh
tambahan dari hadits Abu Musa di atas, “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya
wali & dua saksi yang adil.” Tambahan ini diperselisihkan keabsahannya oleh
para ulama, sebagian menyatakan lemahnya seperti Asy-Syaikh Musthafa Al-Adawi
dlm Jami’ Ahkam An-Nisa` (3/322) & sebagian lainnya menyatakan shahihnya
seperti Asy-Syaikh Al-Albani dlm Irwa` Al-Ghalil (6/258). Ala kulli hal, Imam
Asy-Syafi’i berkata dlm Al-Umm (2/168), “Hadits ini walaupun sanadnya terputus
di bawah Nabi shallallahu alaihi wasallam, akan tetapi mayoritas ulama
berpendapat dengannya.” At-Tirmizi juga berkata setelah meriwayatkan hadits di
atas, “Inilah yang diamalkan oleh para ulama dari kalangan sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam, para tabi’in setelah mereka, & selain mereka.
Mereka menyatakan: Tidak ada nikah tanpa adanya saksi-saksi. Tidak ada
seorangpun di antara mereka yang berbeda pendapat dlm masalah ini kecuali
sekelompok ulama belakangan.
2. Kualitas Hadist
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath
(9/117 no. 9291) juga meriwayatkan dari ‘Isaa bin Yuunus, dari ‘Utsmaan bin
‘Abdirrahman, ia berkata : Aku mendengar Az-Zuhriy menceritakan hadits dari
‘Urwah, dari ‘Aisyah, ia berkata :
لا نكاح إلا بولي وشاهدي
عدل
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan hadirnya wali dan dua orang saksi yang
‘adil”.
‘Utsmaan bin ‘Abdirrahmaan (Al-Waqqaashiy) dalam sanad ini matruuk
[lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 6/157, Majma’uz-Zawaaid 4/286, dan Takhriij
Majma’il-Bahrain 4/166].
Riwayat dengan lafadh
ini adalah lemah dan syaadz karena periwayatan ketiga orang di atas
telah menyelisihi jama’ah perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij tanpa ada
tambahan ‘dua saksi ‘adil’.
3. Kandungan Hukum
Berdasarkan
hadith utama di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa wali merupakan syarat
sah dalam suatu pernikahan. Adapun esensi wali menurut ulama yang berpendapat
wali sebagai syarat sah adalah kehadirannya dalam prosesi akad nikah. Hal ini
berarti apabila ada seorang wanita menikahkan dirinya sendiri dan wali sudah
memberi izin, namun ia tidak ada dan tidak mewakilkannya, maka pernikahan tetap
diangap tidak sah. Tidak sahnya pernikahan tersebut tak lain adalah tidak
terpenuhinya salah satu syarat sah nikah, yakni wali.
Kemudian
apabila ada seorang wanita yang hendak menikah namun tidak ada wali, maka yang
berhak menjadi wali adalah Sultan (pihak yang berwenang). Dalam konteks
pernikahan di indonesia, wewenang menikahkan wanita yang tidak ada walinya
ialah hakim atau petugas KUA.
Pendapat
berbeda disampaikan oleh imam Abu Hanifah dan Abu yusuf yang menyatakan bahwa
wali bukan merupakan syarat sah pernikahan. Wali menurut pendapat kedua ini
hanya merupakan sesuatu yang disunahkan.
Pada
masalah saksi pernikahan, Imam Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi bukan
merupakan keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau asal pernikahan
tersebut sudah diketahui oleh khalayak. Senada dengan imam Malik, Abu Thaur dan
madhhab Shiah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi,
sebab pada hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi.
Pendapat ini diambil setidaknya berdasarkan dua hal. Pertama, analogi
terhadap jual beli. Allah dalam al-Qur’an memerintahkan adanya saksi dalam jual
beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan. Oleh karena itu,
apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih
tidak disyaratkan dalam pernikahan. Kedua, adanya hadith yang memerintahkan
untuk memberitakan pernikahan.
Berlawanan
dengan imam Malik, mayoritas ulama menyatakan bahwa saksi merupakan syarat sah
dalam pernikahan. Dengan demikian, akad pernikahan yang dilaksanakan tanpa
saksi hukumnya adalah tidak sah. Pendapat ini berdasarkan pada beberapa hadith
yang telah secara jelas menyebutkan disyaratkannya saksi dalam nikah.
DAFTAR PUSTAKA
TM.Hasby Ash-Shiqdieqy.1977.2002 Mutiara Hadits Jilid V.Jakarta:Bulan
Bintang
Munawwar,Said Agil Husin & Mustaqim,Abdul.2001.Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbabul Wurud.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Muhammad
Dailamy, hadist hadist kitab Bulugh al-Maram, STAIN Purwokerto Press :
Purwokerto 2006, hlm 132
Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadist Shohih, Solo: Pustaka Mantiq,
1997, hlm. 226
Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadist Shohih, Solo: Pustaka Mantiq,
1997, hlm. 226
http://perkumpulan-hadits.blogspot.com/2011/12/mencari-jodoh-sebagai-suatu-ikhtiar.html
http://perkumpulan-hadits.blogspot.com/2013/24/mencari-jodoh-sebagai-suatu-ikhtiar.html
[2]http://perkumpulan-hadits.blogspot.com/2011/12/mencari-jodoh-sebagai-suatu-ikhtiar.html
[3]http://perkumpulan-hadits.blogspot.com/2013/24/mencari-jodoh-sebagai-suatu-ikhtiar.html
[4]Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadist Shohih, Solo:
Pustaka Mantiq, 1997, hlm. 226
[5]Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadist Shohih, Solo:
Pustaka Mantiq, 1997, hlm. 226
[6]Muhammad Dailamy, hadist hadist kitab Bulugh al-Maram, STAIN Purwokerto
Press : Purwokerto 2006, hlm 132
Komentar
Posting Komentar