Hadits Tentang Jual - Beli

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Agama Islam sebagi agama yang sempurna (kaffah) telah memberikan ketentuan-ketentuan bagi umat manusia dalam melakukan aktifitasnya didunia, takterkecuali dalam bidang perekonomian. Dalam Islam Semua ketentuan diarahkan agar setiap individu aktifitasnya dapat selaras dengan Al Qur’an dan al Hadits. Dengan berpegang pada aturan-aturan Islam, manusia dapat mencapai tujuan yang semata-mata materi saja melainkan juga bersifat rohani, yang didasarkan pada kesejahteraan.
Islam memandang kegiatan ekonomi adalah kegiatan moral yang kegiatanya harus didasarkan pada moralitas Islam. Tanpa kita kita ketahui Islam sebenarnya telah meletakkan prinsip-prinsip dasar ekonomi islam dalam salah satu sumber hukumnya yaitu al Hadits, oleh karena itu didalam makalah ini kami akan membahas mengenai hadits-hadits yang berkaitan dengan prnsip-prinsip ekonomi islam mulaia dari Asbabul wurud, makna hadits dan takhrijnya.


1.2  Rumusan Masalah
Adpun rumusan masalah pada makalah ini adalah
1.      Bagaiman bunyi hadits yang menujukan prinsip-prinsip ekonomi Islam?
2.      Bagaiman Asbabul Wurud serta takhrij hadits tersebut?
3.      Apa isi kandungan serta muatan hukum yang terkandung dalam hadits tersebut?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Agar pembaca tahu dan mengerti Asbabul Wurud dan Takhrij tentang hadits-hadits mengenai prinsip-prinsip ekonomi Islam.
2.      Agar pembaca mengerti tentang isi kandungan dan muatan hukum hadits-hadits mengenai prinsip-prinsip ekonomi, serta mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.




BAB II
PEMBAHASAN

Prinsip-prinsip ekonomi islam meliputi:”prinsip kebolehan (ibahah), prinsip keadilan (al-‘adl), prinsip kemanfaatan, prinsip bertanggung jawab, prinsip kejujuran, prinsip haramnya riba ”. Adapun rincianya sebagai berikut.
2.1 Prinsip Kebolehan (ibahah)
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: (عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ )  رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ، وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Artinya:   Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan tiap-tiap jual-bali yang bersih." (H.R. al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim)[1].
Ø  Makna Hadits.
Berdasarkan hadits diatas secara jelas Islam memberi lampu hijau dan kesempatan seluas-luasnya bagi perkembangan bentuk kegiatan mu’amalah (ekonomi) sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia yang dinamis. Segala bentuk kegiatan muamalah adalah diperbolehkan kecuali ada ketentuan lain yang menentukan sebaliknya. Prinsip ini berkaitan dengan kehalalan sesuatu yang dijadikan obyek dalam kegiatan ekonomi. Islam memiliki konsep yang jelas mengenai halal dan haram.
Dengan prinsip kebolehan ini bearti konsep halal dan haram tidak saja pada barang yang dihasilkan dari sebuah hasil usaha, tetapi juga pada proses mendapatkanya.
Ø  Tahrij Hadits
Hadits ini shahih dengan banyaknya jalur periwayatannya. Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim”, beliau berkata di dalam kitab beliau at-Talkhish:”Diriwayatkan oleh al-Hakim dan ath-Thabrani, dan di dalam bab ini ada hadits juga dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar g. Hal itu disebutkan oleh Abi Hatim rahimahullah. Ath-Thabrani meriwayatkan di dalam kitab al-Ausath hadits dari Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu, dan para perawinya La Ba’sa (tidak ada masalah)
Selain itu disebutkan juga dalam Disebutkan di dalam kitab Bulughul Amani, “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan dikeluarkan oleh as-Suyuthi di dalam Jami’us Shaghir, dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi secara Mursal, dan dia berkata, “Inilah yang mahfuzh Wallahu A’lam”[2].

2.2 Prinsip keadilan (al-‘adl)
عن أبى سعيد بن سعد بن سنان الخدري – رضي الله عنه – أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال " لا ضرر و لا ضِرار " حديث حسن رواه ابن ماجه و الدارقطني و غيرهما مسندا ورواه مالك في الموطأ مرسلا عن عمرو بن يحيى عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم فأسقط أبا سعيد ، وله طرق أخرى يقوي بعضها بعضا
Artinya: “Dari Abu Sa'id, Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda : “Janganlah engkau membahayakan dan saling merugikan”.  (HR. Ibnu Majah, Daraquthni dan lain-lainnya, Hadits hasan. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa sebagai Hadits mursal dari Amr bin Yahya dari bapaknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tanpa menyebut Abu Sa’id. Hadits ini mempunyai beberapa jalan yang saling menguatkan).[3]


Dari jalur yang berbeda diriwayatkan.
عن ابن عبا س قا ل: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا ضرر ولاضرار.
Artinya:   Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulallah saw, bersabda:”tidak boleh membuat madharat (bahaya) pada diri sendiri dan orang lain.[4]
Ø  Asbabul Wurud
Abdurrazzaq berkata dalam kitab Mushannafnya: Ibnu at-Tamimi telah menceritakan kepadaku, dia dari al-Hajjaj Ibnu Artha’ah, beliau telah diberi kabar oleh Abu Ja’far bahwa dulu ada sebuah kebun kurma yang dimiliki oleh dua orang. Keduanya waktu itu bertengkar mengenai kebun tersebut, lalu mengadukan kepada Nabi saw. Salah satunya kemudian berkata: Ya Rasulallah, bagilah kebun tersebut menjadi dua, separuh untuk saya dan separuh untuk engkau. Maka Nabi bersabda “tidak boleh berbuat dharar (bahaya/merugikan) dalam Islam[5].
Ø  Makna Hadits
Dari hadits di atas menerangkan pada kita agar kita tidak boleh berbuat dharar (membuat kerusakan/bahaya pada diri sendiri) dan dhirar (melakukan hal yang merugikan pada orang lain) dalam melakukan kegiatan apapun dalam kehidupan. Tak terkecuali dalam hal muamalah (ekonomi). Dalam berekonomi kita dituntut untuk tidak melakukan dharar (membuat kerusakan) baik bagi diri sender atau orang lain. Dengan tujuan agar terciptanya keadillan sehinnga tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lainya.
Keadilan adalah pondasi dasar dalam prinsip ekonomi Islam. Adapun yang dimaksud keadilan menurut Islam adalah keadilan yang mutlak dan sempurna, bukan keadilan relative dan parsial seperti yang ada dalam sistem hukum Yunani, Romawi maupun hukum barat yang saat ini dianggap paling adil di dunia ini. Dalam konsep prinsip keadilan ekonomi Islam. Islam berusaha meletakkan hak dan kewajiban pelaku ekonomi dalam tataran keserasian, yang bertujuan meminimalisir bahkan mencegah timbulnya dirugikan satu sama lainya dari interaksi ekonomi tersebut.
Dengan adanya prinsip keadilan dalam ekonomi Islam bukan berarti Islam membatasi ruang gerak pelaku ekonomi itu sendiri. Para pelaku ekonomi tetep  boleh mengambil keuntungan dari interaksi ekonominya. Akan tetapi, dalam mengambil keuntungan kita harus memperhatikan hak dan privasi orang lain, jangan sampai kita memperoleh keuntungan diatas kerugian orang lain yang itu bisa menimbulkan “dhirar” baik bagi diri sendiri dan orang lain.
Ø  Takhrij Hadits
Syaikh Abu ‘Amr bin Shalah berkata : “ Daraquthni menyebutkan sanad Hadits ini dari beberapa jalan yang secara keseluruhan menjadikan hadits ini kuat dan hasan. Sejumlah besar ulama menukil Hadits ini dan menjadikannya sebagai hujah. Dari Abu Dawud, ia berkata : “Fiqih itu berkisar pada lima Hadits dan ia menyebut Hadits ini adalah salah satu di antaranya”. Syaikh Abu ‘Amr berkata : “Hadits diriwayatkan Abu Dawud ini termasuk dalam lima Hadits itu”. Ucapannya ini mengisyaratkan bahwa menurut pendapatnya Hadits ini tidak dha’if[6].

2.3 Prinsip Kemanfaatan
َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ اَلْمُحَاقَلَةِ, وَالْمُخَاضَرَةِ, وَالْمُلَامَسَةِ, وَالْمُنَابَذَةِ, وَالْمُزَابَنَةِ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Artinya: Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah- buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah. Riwayat Bukhari[7].
Ø  Makna Hadits
Rasulullah melarang menjual buah-buahan yang belum masak karena hal itu tidak ada manfaatnya dan akan memberikan peluang rugi terhadap pembeli. Oleh karena itu, dalam melakukan kegiatan muamalah (ekonomi Islam) harus didasarkan pada pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan madlarat. Baik bagi pelakunya maupun masyarakat secara keseluruhan.
Penerapan prinsip ini dalam kegiatan bisnis sangat berkaitan dengan obyek trnsaksi bisnis. Obyek tersebut tidak hanya berlabel halal tapi juga memberikan manfaat bagi konsumen. Hal ini berkaitan dengan hal obyek setelah adanya transaksi. Obyek yang memenuhi kreteria halal apabila digunakan untuk hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan, maka hal ini pun dilarang.
Ø  Takhrij Hadits
Hadits ini termaktub didalam kitab bulughul maram dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari[8] (seorng ulam’ tersohor karena kesohihan hadits yang diriwayatkan darinya).

2.4 Prinsip Bertanggungjawab
وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَضَعَّفَهُ اَلْبُخَارِيُّ, وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ, وَابْنُ اَلْقَطَّانِ
Artinya: Dari 'Aisyah, Nabi SAW memutuskan “bahwa kharaj itu merupakan hak (pembeli) sebab merupakan jaminan”. (H.R. Imam Lima. Hadits dlo'if menurut Bukhari dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu al-Qotthon)[9].
Ø  Asbabul Wurud.
Diriwayatkan oleh imam Abu Dawud, dari Aisyah pernah terjadi menjual budak, yang budak tersebut lalu bertempat tinggal dirumah pebelinya. Namun kemudian seorang pembeli melihat bahwa budak yang dibelinya itu ternyata ada aibnya (cacat). Dia lalu mengadukan hal tersebut kepada Rasulallah . akhirnya beliau menyuruh pembeli itu agar mengembalikan budak tersebut pada penjualnya. Penjual itu lalu berkata kepada Nabi saw. Ya Rasulallah, tapi dia (pembeli) sudah mempergunakan (mempekerjakan) budak tersebut. Lalu Nabi saw. Bersabda :”Kharaj itu sebagai jaminan”[10].
Ø  Makna Hadits
Kalo kita lihat haditsnya secara tekstual kita hanya akan mendapatkan hukum normative yakni kharaj adalah barang jaminan, artinya kharaj (sesuatu yang dihasilkan budak selama bekerja pada pembelinya) itu merupakan barang jaminan yang tidak boleh diambil oleh si_penjual budak, apabila suatu saat si_pembeli ingin mengembalikan budaknya karena diketahui adanya cacat pada budak.
Akan tetapi kalo kita artikan secara konstektual dengan menganalisis as-Babul wurudnya. Hadits tersebut menuntut kita untuk bertanggung jawab atas kegiatan ekonomi kita agar tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Sebenarnya dalam Islam sendiri sudah diajarkan bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggung jawabannya diakhirat. Untuk memenuhi keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawabkan tindakanya. termasuk dalam hal bermuamalah (ekonomi). Seseorang harus mempunyai komitmen bertanggung jawab baik di dunia maupun diakhirat kelak atas perbuatannya.
Prinsip bertanggung jawab ini pada dasarnya menuntut seseorang untuk berbuat bijak dalam melakukan sistem perekonomian, karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan tanpa ada satu pihak yang mersa dirugikan.
Ø  Takhrij Hadits.
Diriwayatkan oleh “Imam Lima. Hadits dlo'if menurut “Bukhari dan Abu Dawud”. Hadits Shahih menurut “Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu al-Qotthon”)[11].


2.5 Prinsip Kejujuran
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ, فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا, فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا , فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ اَلطَّعَامِ? قَالَ: أَصَابَتْهُ اَلسَّمَاءُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ اَلطَّعَامِ; كَيْ يَرَاهُ اَلنَّاسُ? مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artunya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saw. pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya: "Apa ini wahai penjual makanan?". Ia menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barang siapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku." (H.R.Muslim)[12].
Ø  Asbabul Wurud
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata : ”Bahwa pada suatu hari, Rasulallah saw. Kebetulan lewat dihadapan seorang penjual makanan, beliau lalu bertanya kepada penjual tersebut . “Bagaimana kamu menjual makanan itu?” Orang tersebut lalu menjelaskan kepada Nabi cara menjualnya. Atas perintah wahyu dari Allah , tiba-tiba Nabi memasukan tanganya kedalam barang dagangan tersebut. Ternyata didapatinya makanan yang dijual itu basah, (basi) dan sudah tidak baik lagi dimakan. Maka Nabi saw. Bersabda:”Bukan golonganku, orang yang mengecoh/menipu dalam berdagang[13].
Ø  Makna Hadits
Memang benar ketika Rasulallah mengatakan “Bukan golonganku, orang yang mengecoh/menipu dalam berdagang” karena kejujuran merupakan nilai dasar yang harus dipegang dalam menjalankan kegiatan bisnis. Kegagalan suatu bisnis selalu berkaitan dengan ada tidaknya sifat jujur. Dalam Islam, bahwa hubungan antara kejujuran dan keberhasilan kegiatan ekonomi menunjukan hal yang positif. Karena setiap bisnis yang didasarkan pada kejujuran akan mendapat kepercayaan dari pihak lain dan itu akan membwa keuntungan kepada kita.
Prinsip kejujuran ini penting bagi muamalah (ekonomi), selain untuk sebagai alat uji ketakwaan kita sebagai muslim, prinsip kejujuran ini apabila dapat direalisasikan dengan baik secara tidak langsung prinsip-prinsip ekonomi yang lain juga akan terealisasikan dengan sendirinya.
Ø  Takhrij Hadits
Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad (2/242 dan 417), Muslim (no. 101), Abu Dawud (no. 3455), At-Tirmidzi (no. 1315), Ibnu Majah (no. 2224), Abu ‘Awaanah (1/57), Ath-Thahawi dalam Musykilul-Aatsaar (2/139), Ibnul-Jarud dalam Al-Muntaqaa (no. 564), Al-Haakim (2/8-9), dan Al-Baihaqi (5/325); yang semuanya merupakan hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Dalam bab ini, terdapat banyak hadits yang dibawakan oleh sejumlah shahabat. Silakan lihat takhrij hadits ini selengkapnya dalam Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahih Ibni Hibbaan (no. 567) dengan tahqiq : Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth[14].

2.6 Prinsip Haramnya Riba
َوَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا تَبِيعُوا اَلذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ, وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ, وَلَا تَبِيعُوا اَلْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ, وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ, وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِباً بِنَاجِزٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak."( Muttafaq Alaihi)[15].
Ø  Makna Hadits
Dari hadits di atas kiranya sudah jelas bahwa riba dalam bentuk apapun merupakan hal yang dilarang oleh Islam. Islam melarangnya riba karena prinsip ini merupakan implementasi dari prinsip keadilan. Adanya pelarangan riba dalam aktifitas ekonomi, karena terdapatnya unsur dhulum (aniaya) diantara para pihak yang melakukan kegiatan tersebut, yang salah satunya pihak yang didzalimi. Hal ini dapat merusak tatanan perekonomian yang didasarkan pada ajaran islam. Oleh karena itu , prinsip larangan riba dalam al-Qur’an dan Hadits telah membahasnya secara rinci.
Ø  Takhrij Hadits
Hadits di atas termuat dalam kitab “Bulughul Maram” yang jelas kesahihanya yang ditandai dengan adanya kata “Muttafaq Alaih” pada akhir hadits. Yang mana Muttafq Alaih itu berarti “diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim[16]yang jelas akan kesahihanya.


2.7 Kandungan Hukum
Dari Hadits-Hadits tentang prinsip-prinsip ekonomi yang telah kita bahas diatas secara tidak langsung menimbulkan hukum bagi para pelaku ekonomi islam. Yang mana itu harus terealisaikan dalam prakteknya untuk mewujudkan ruh ekonomi Islam yang sebenarnya. Adapun implikasi hukum yang dapat kita ambil, sebagai berikut:
1.      Hukum melakukan muamalah (ekonomi) adalah boleh (Mubah), bahkan menurut Rasulallah muamalah merupakan salah satu pekerjaan yang baik asalkan dengan cara yang bersih.
2.      Dalam melakuakan interaksi ekonomi. Islam mengharuskan adanya prinsip keadilan satu sama lainya. Agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.
3.      Salain keadilan, dalam ekonomi Islam juga diharuskan adanya komitmen bertanggung jawab atas pekerjaan yang mereka lakukan.
4.      Pokok inti dari prinsip ekonomi Islam adalah kejujuran. Kejujuran merupakan pintu gerbang dari terealisasikanya prinsip-prinsip ekonomi Islam yang lainya, sehingga dalam ekonomi Islam kejujuran merupakan syrat wajib yang harus terpenuhi.
5.      Yang terakhir adalah haramnya riba dalam bentuk apapun didalam muamalah (ekonomi Islam).





BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Didalam salah satu sumber hukum kita al Hadits, ternyata tersimpan prinsip-prinsip ekonomi islam yang mempunyai nilai moral yang luhur, dan itu juga membuktikan betapa sempuran dan lengkap ajaran agama kita. Adapun prinsip-prinsip ekonomi islam yang terkandung dari beberapa al Hadits sebagai berikut: “prinsip boleh” Hukum melakukan muamalah (ekonomi) adalah boleh (Mubah), bahkan menurut Rasulallah muamalah merupakan salah satu pekerjaan yang baik asalkan dengan cara yang bersih. “prinsip keadilan”. Dengan adanya prinsip ini brtujuan u ntuk Agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. “prinsip tanggungjawab”. ”prinsip kejujuran”. Kejujuran merupakan pintu gerbang dari terealisasikanya prinsip-prinsip ekonomi islam yang lainya, sehingga dalam ekonomi islam kejujuran merupakan syrat wajib yang harus terpenuhi. Yang terakhir adalah “prinsip haramnya riba” dalam  muamalah (ekonomi Islam).






DAFTAR PUSTAKA


Munawar, Mustakim, 2001,  Asbabul Wurud, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Imanto, Kuat, 2009, Manajemen Syari’ah, Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Hassan, A, 1985, Terjemahan Bulughul Maram, Bangil: pustaka Tamaam.
Abdillah, Abduh, 2005, Aplikasi  “Hadits Arba'in An-Nawawi Dengan Syarah Ibnu Daqiqil” 'Ied Versi 0.1, Bandung.


[1] A. Hassan, Terjemahan Bulughul Maram, (Bangil: Pustaka Tamam, 1985). Hal. 398, (hadits ke-800, bab buyu’).
[3] Abu’ Abdillah, Aplikasi  Hadits Arba'in An-Nawawi Dengan Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied Versi 0.1, (Bandung, 2005). Hadits ke-32.
[4] As-Syuthi, al-Asybah wa an-Nasha’ir, hlm. 59.
[5] Mustakim Munawar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). Hal. 125.
[6] Abu’ Abdillah, Op Cit.
[7] A. Hassan, Op Cit, hal. 413 (hadits ke-826, bab buyu’).
[8] Ibid.
[9] A. Hassan, Op Cit, hal. 419 (hadits ke-838, bab buyu’).
[10] Mustakim Munawar, Op Cit, hal. 132.
[11] A. Hassan, Op Cit.
[12] A. Hassan, Op Cit, hal. 418 - 419 (Hadits ke-836, bab buyu’).
[13] Mustakim Munawar, Op Cit, hal. 127
[15] A. Hassan, Op Cit, hal. 9-10 (Hadits ke-836, bab riba).
[16] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Akhlak Tasawuf (Pengertian tasawuf akhlaki,irfani dan Falsafi)

Beberapa Hadits tentang Ijarah (Upah)