Hadits Tentang Jual - Beli
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam sebagi agama yang sempurna (kaffah) telah memberikan ketentuan-ketentuan bagi
umat manusia dalam melakukan aktifitasnya didunia, takterkecuali dalam bidang
perekonomian. Dalam Islam Semua ketentuan diarahkan agar setiap individu
aktifitasnya dapat selaras dengan Al Qur’an dan al Hadits. Dengan berpegang
pada aturan-aturan Islam, manusia dapat mencapai tujuan yang semata-mata materi
saja melainkan juga bersifat rohani, yang didasarkan pada kesejahteraan.
Islam
memandang kegiatan ekonomi adalah kegiatan moral yang kegiatanya harus
didasarkan pada moralitas Islam. Tanpa kita kita ketahui Islam sebenarnya telah
meletakkan prinsip-prinsip dasar ekonomi islam dalam salah satu sumber hukumnya
yaitu al Hadits, oleh karena itu didalam makalah ini kami akan membahas
mengenai hadits-hadits yang berkaitan dengan prnsip-prinsip ekonomi islam
mulaia dari Asbabul wurud, makna hadits dan takhrijnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adpun rumusan masalah pada makalah ini adalah
1.
Bagaiman bunyi hadits yang menujukan prinsip-prinsip
ekonomi Islam?
2.
Bagaiman Asbabul Wurud serta takhrij hadits tersebut?
3.
Apa isi kandungan serta muatan hukum yang terkandung
dalam hadits tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Agar pembaca tahu dan mengerti Asbabul Wurud dan Takhrij tentang
hadits-hadits mengenai prinsip-prinsip ekonomi Islam.
2.
Agar pembaca mengerti tentang isi kandungan dan muatan hukum
hadits-hadits mengenai prinsip-prinsip ekonomi, serta mampu mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
Prinsip-prinsip
ekonomi islam meliputi:”prinsip kebolehan (ibahah), prinsip keadilan
(al-‘adl), prinsip kemanfaatan, prinsip bertanggung jawab, prinsip kejujuran,
prinsip haramnya riba ”. Adapun rincianya sebagai berikut.
2.1 Prinsip Kebolehan (ibahah)
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ:
(عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ ) رَوَاهُ
اَلْبَزَّارُ، وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Artinya: Dari Rifa'ah Ibnu
Rafi' bahwa Nabi saw. pernah ditanya: “Pekerjaan apakah yang paling baik?”. Beliau
bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan tiap-tiap jual-bali
yang bersih." (H.R. al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim)[1].
Ø Makna Hadits.
Berdasarkan hadits
diatas secara jelas Islam memberi lampu hijau dan kesempatan seluas-luasnya
bagi perkembangan bentuk kegiatan mu’amalah (ekonomi) sesuai dengan
perkembangan kebutuhan manusia yang dinamis. Segala bentuk kegiatan muamalah
adalah diperbolehkan kecuali ada ketentuan lain yang menentukan sebaliknya. Prinsip ini berkaitan dengan kehalalan
sesuatu yang dijadikan obyek dalam kegiatan ekonomi. Islam memiliki konsep yang
jelas mengenai halal dan haram.
Dengan
prinsip kebolehan
ini bearti konsep halal dan haram tidak saja pada barang yang dihasilkan dari
sebuah hasil usaha, tetapi juga pada proses mendapatkanya.
Ø Tahrij Hadits
Hadits ini shahih dengan banyaknya jalur periwayatannya. Ibnu Hajar
al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan dishahihkan
oleh al-Hakim”, beliau berkata di dalam kitab beliau at-Talkhish:”Diriwayatkan
oleh al-Hakim dan ath-Thabrani, dan di dalam bab ini ada hadits juga dari Ali
bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar g. Hal itu disebutkan oleh Abi Hatim rahimahullah.
Ath-Thabrani meriwayatkan di dalam kitab al-Ausath hadits dari Ibnu ‘Umar radiyallahu
‘anhu, dan para perawinya La Ba’sa (tidak ada masalah)
Selain itu disebutkan juga dalam Disebutkan di dalam kitab Bulughul
Amani, “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan dikeluarkan
oleh as-Suyuthi di dalam Jami’us Shaghir, dan diriwayatkan oleh
al-Baihaqi secara Mursal, dan dia berkata, “Inilah yang mahfuzh Wallahu A’lam”[2].
2.2 Prinsip keadilan (al-‘adl)
عن أبى
سعيد بن سعد بن سنان الخدري – رضي الله عنه – أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال
" لا ضرر و لا ضِرار " حديث حسن رواه ابن ماجه و الدارقطني و غيرهما مسندا
ورواه مالك في الموطأ مرسلا عن عمرو بن يحيى عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم فأسقط
أبا سعيد ، وله طرق أخرى يقوي بعضها بعضا
Artinya: “Dari Abu Sa'id, Sa’ad bin
Malik bin Sinan Al Khudri radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah saw telah
bersabda : “Janganlah engkau membahayakan dan saling merugikan”. (HR. Ibnu Majah, Daraquthni dan lain-lainnya,
Hadits hasan. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa
sebagai Hadits mursal dari Amr bin Yahya dari bapaknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam tanpa menyebut Abu Sa’id. Hadits ini mempunyai beberapa jalan yang
saling menguatkan).[3]
Dari jalur yang berbeda
diriwayatkan.
عن ابن عبا س
قا ل: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا ضرر ولاضرار.
Artinya:
Dari
Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulallah saw, bersabda:”tidak boleh membuat
madharat (bahaya) pada diri sendiri dan orang lain.[4]”
Ø
Asbabul Wurud
Abdurrazzaq berkata dalam kitab Mushannafnya: Ibnu at-Tamimi
telah menceritakan kepadaku, dia dari al-Hajjaj Ibnu Artha’ah, beliau telah
diberi kabar oleh Abu Ja’far bahwa dulu ada sebuah kebun kurma yang dimiliki
oleh dua orang. Keduanya waktu itu bertengkar mengenai kebun tersebut, lalu
mengadukan kepada Nabi saw. Salah satunya kemudian berkata: Ya Rasulallah,
bagilah kebun tersebut menjadi dua, separuh untuk saya dan separuh untuk
engkau. Maka Nabi bersabda
“tidak boleh berbuat dharar (bahaya/merugikan) dalam Islam”[5].
Ø
Makna Hadits
Dari hadits di
atas menerangkan pada kita agar kita tidak boleh berbuat dharar (membuat
kerusakan/bahaya pada diri sendiri) dan dhirar (melakukan hal yang
merugikan pada orang lain) dalam melakukan kegiatan apapun dalam kehidupan. Tak
terkecuali dalam hal muamalah (ekonomi). Dalam berekonomi kita dituntut untuk
tidak melakukan dharar (membuat kerusakan) baik bagi diri sender atau
orang lain. Dengan tujuan agar terciptanya keadillan sehinnga tidak ada yang
merasa dirugikan satu sama lainya.
Keadilan
adalah pondasi dasar dalam prinsip ekonomi Islam. Adapun yang dimaksud keadilan
menurut Islam adalah keadilan yang mutlak dan sempurna, bukan keadilan relative
dan parsial seperti yang ada dalam sistem hukum Yunani, Romawi maupun hukum
barat yang saat ini dianggap paling adil di dunia ini. Dalam konsep prinsip
keadilan ekonomi Islam. Islam berusaha meletakkan hak dan kewajiban pelaku
ekonomi dalam tataran keserasian, yang bertujuan meminimalisir bahkan mencegah
timbulnya dirugikan satu sama lainya dari interaksi ekonomi tersebut.
Dengan adanya
prinsip keadilan dalam ekonomi Islam bukan berarti Islam membatasi ruang gerak
pelaku ekonomi itu sendiri. Para pelaku ekonomi tetep boleh mengambil keuntungan dari interaksi
ekonominya. Akan tetapi, dalam mengambil keuntungan kita harus memperhatikan
hak dan privasi orang lain, jangan sampai kita memperoleh keuntungan diatas
kerugian orang lain yang itu bisa menimbulkan “dhirar” baik bagi diri
sendiri dan orang lain.
Ø
Takhrij Hadits
Syaikh Abu ‘Amr bin Shalah
berkata : “ Daraquthni menyebutkan sanad Hadits ini dari beberapa jalan yang
secara keseluruhan menjadikan hadits ini kuat dan hasan. Sejumlah besar ulama
menukil Hadits ini dan menjadikannya sebagai hujah. Dari Abu Dawud, ia berkata
: “Fiqih itu berkisar pada lima Hadits dan ia menyebut Hadits ini adalah salah
satu di antaranya”. Syaikh Abu ‘Amr berkata : “Hadits diriwayatkan Abu Dawud
ini termasuk dalam lima Hadits itu”. Ucapannya ini mengisyaratkan bahwa menurut
pendapatnya Hadits ini tidak dha’if[6].
2.3 Prinsip Kemanfaatan
َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم عَنِ اَلْمُحَاقَلَةِ, وَالْمُخَاضَرَةِ, وَالْمُلَامَسَةِ,
وَالْمُنَابَذَةِ, وَالْمُزَابَنَةِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Artinya: Anas
berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan
cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah- buahan yang belum masak yang
belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh),
munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah. Riwayat
Bukhari[7].
Ø Makna Hadits
Rasulullah melarang menjual buah-buahan yang belum
masak karena hal itu tidak ada manfaatnya dan akan memberikan peluang rugi
terhadap pembeli. Oleh karena itu, dalam melakukan kegiatan muamalah (ekonomi
Islam) harus didasarkan pada pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindarkan madlarat. Baik bagi pelakunya maupun masyarakat secara
keseluruhan.
Penerapan prinsip ini dalam kegiatan bisnis sangat
berkaitan dengan obyek trnsaksi bisnis. Obyek tersebut tidak hanya berlabel halal tapi juga memberikan manfaat bagi
konsumen. Hal ini berkaitan dengan hal obyek setelah adanya transaksi. Obyek
yang memenuhi kreteria halal apabila digunakan untuk hal-hal yang dapat
menimbulkan kerusakan, maka hal ini pun dilarang.
Ø Takhrij Hadits
Hadits ini termaktub didalam kitab bulughul maram dan diriwayatkan
oleh Imam Bukhari[8]
(seorng ulam’ tersohor karena kesohihan hadits yang diriwayatkan darinya).
2.4 Prinsip Bertanggungjawab
وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا-
قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَضَعَّفَهُ اَلْبُخَارِيُّ, وَأَبُو دَاوُدَ
وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ, وَابْنُ
حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ, وَابْنُ اَلْقَطَّانِ
Artinya: Dari
'Aisyah, Nabi SAW memutuskan “bahwa kharaj itu
merupakan hak (pembeli) sebab merupakan jaminan”. (H.R. Imam Lima. Hadits dlo'if menurut Bukhari dan Abu Dawud. Hadits
shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan
Ibnu al-Qotthon)[9].
Ø Asbabul Wurud.
Diriwayatkan oleh imam Abu Dawud, dari Aisyah pernah terjadi menjual budak,
yang budak tersebut lalu bertempat tinggal dirumah pebelinya. Namun kemudian
seorang pembeli melihat bahwa budak yang dibelinya itu ternyata ada aibnya
(cacat). Dia lalu mengadukan hal tersebut kepada Rasulallah . akhirnya beliau
menyuruh pembeli itu agar mengembalikan budak tersebut pada penjualnya. Penjual
itu lalu berkata kepada Nabi saw. Ya Rasulallah, tapi dia (pembeli) sudah
mempergunakan (mempekerjakan) budak tersebut. Lalu Nabi saw. Bersabda :”Kharaj itu
sebagai jaminan”[10].
Ø Makna Hadits
Kalo kita lihat haditsnya
secara tekstual kita hanya akan mendapatkan hukum normative yakni kharaj
adalah barang jaminan, artinya kharaj (sesuatu yang dihasilkan budak
selama bekerja pada pembelinya) itu merupakan barang jaminan yang tidak boleh
diambil oleh si_penjual budak, apabila suatu saat si_pembeli ingin
mengembalikan budaknya karena diketahui adanya cacat pada budak.
Akan tetapi kalo kita artikan secara
konstektual dengan menganalisis as-Babul wurudnya. Hadits tersebut menuntut
kita untuk bertanggung jawab atas kegiatan ekonomi kita agar tidak ada
pihak-pihak yang merasa dirugikan. Sebenarnya dalam Islam sendiri sudah diajarkan bahwa semua
perbuatan manusia akan dimintai pertanggung jawabannya diakhirat. Untuk
memenuhi keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawabkan
tindakanya. termasuk dalam hal bermuamalah (ekonomi). Seseorang harus mempunyai
komitmen bertanggung jawab baik di dunia maupun diakhirat kelak atas
perbuatannya.
Prinsip bertanggung jawab ini pada dasarnya
menuntut seseorang untuk berbuat bijak dalam melakukan sistem perekonomian,
karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan tanpa ada satu pihak yang
mersa dirugikan.
Ø
Takhrij Hadits.
Diriwayatkan oleh “Imam Lima”. Hadits dlo'if
menurut “Bukhari dan Abu Dawud”. Hadits Shahih menurut “Tirmidzi,
Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu al-Qotthon”)[11].
2.5 Prinsip Kejujuran
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه (
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ,
فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا, فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا , فَقَالَ: مَا هَذَا
يَا صَاحِبَ اَلطَّعَامِ? قَالَ: أَصَابَتْهُ اَلسَّمَاءُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ.
فَقَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ اَلطَّعَامِ; كَيْ يَرَاهُ اَلنَّاسُ? مَنْ
غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artunya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah saw. pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau
memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka
beliau bertanya: "Apa ini wahai penjual makanan?". Ia
menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Mengapa tidak
engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya?
Barang siapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku." (H.R.Muslim)[12].
Ø Asbabul Wurud
Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata : ”Bahwa pada
suatu hari, Rasulallah saw. Kebetulan lewat dihadapan seorang penjual makanan,
beliau lalu bertanya kepada penjual tersebut . “Bagaimana kamu menjual makanan
itu?” Orang tersebut lalu menjelaskan kepada Nabi cara menjualnya. Atas
perintah wahyu dari Allah , tiba-tiba Nabi memasukan tanganya kedalam barang
dagangan tersebut. Ternyata didapatinya makanan yang dijual itu basah, (basi)
dan sudah tidak baik lagi dimakan. Maka Nabi saw. Bersabda:”Bukan golonganku, orang yang mengecoh/menipu
dalam berdagang”[13].
Ø Makna Hadits
Memang
benar ketika Rasulallah mengatakan “Bukan golonganku, orang yang
mengecoh/menipu dalam berdagang” karena kejujuran merupakan nilai dasar
yang harus dipegang dalam menjalankan kegiatan bisnis. Kegagalan suatu bisnis selalu berkaitan dengan ada tidaknya sifat jujur. Dalam Islam,
bahwa hubungan antara kejujuran dan keberhasilan kegiatan ekonomi menunjukan
hal yang positif. Karena setiap bisnis yang didasarkan pada kejujuran akan
mendapat kepercayaan dari pihak lain dan itu akan membwa keuntungan kepada
kita.
Prinsip
kejujuran ini penting bagi muamalah (ekonomi), selain untuk sebagai alat uji ketakwaan
kita sebagai muslim, prinsip kejujuran ini apabila dapat direalisasikan dengan
baik secara tidak langsung prinsip-prinsip ekonomi yang lain juga akan
terealisasikan dengan sendirinya.
Ø Takhrij Hadits
Shahih.
Diriwayatkan oleh Ahmad (2/242 dan 417), Muslim (no. 101), Abu Dawud (no.
3455), At-Tirmidzi (no. 1315), Ibnu Majah (no. 2224), Abu ‘Awaanah (1/57),
Ath-Thahawi dalam Musykilul-Aatsaar (2/139), Ibnul-Jarud dalam Al-Muntaqaa
(no. 564), Al-Haakim (2/8-9), dan Al-Baihaqi (5/325); yang semuanya merupakan
hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Dalam bab ini, terdapat
banyak hadits yang dibawakan oleh sejumlah shahabat. Silakan lihat takhrij hadits
ini selengkapnya dalam Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahih Ibni Hibbaan (no.
567) dengan tahqiq : Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth[14].
2.6 Prinsip
Haramnya Riba
َوَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه أَنَّ
رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا تَبِيعُوا اَلذَّهَبَ بِالذَّهَبِ
إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ, وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ, وَلَا
تَبِيعُوا اَلْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ, وَلَا تُشِفُّوا
بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ, وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِباً بِنَاجِزٍ )
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Janganlah menjual emas dengan
emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain;
janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan
menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak
dengan yang tampak."( Muttafaq Alaihi)[15].
Ø Makna Hadits
Dari
hadits di atas kiranya sudah jelas bahwa riba
dalam bentuk apapun merupakan hal yang dilarang oleh Islam. Islam melarangnya riba karena prinsip ini
merupakan implementasi dari prinsip keadilan. Adanya pelarangan riba dalam
aktifitas ekonomi, karena terdapatnya unsur dhulum (aniaya) diantara
para pihak yang melakukan kegiatan tersebut, yang salah satunya pihak yang
didzalimi. Hal ini dapat merusak tatanan perekonomian yang didasarkan pada
ajaran islam. Oleh karena itu
, prinsip larangan riba dalam al-Qur’an dan Hadits telah membahasnya secara
rinci.
Ø Takhrij Hadits
Hadits
di atas termuat dalam kitab “Bulughul Maram” yang jelas kesahihanya yang
ditandai dengan adanya kata “Muttafaq Alaih” pada akhir hadits. Yang
mana Muttafq Alaih itu berarti “diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim[16]” yang
jelas akan kesahihanya.
2.7 Kandungan
Hukum
Dari
Hadits-Hadits tentang prinsip-prinsip ekonomi yang telah kita bahas diatas
secara tidak langsung menimbulkan hukum bagi para pelaku ekonomi islam. Yang mana itu harus terealisaikan dalam prakteknya
untuk mewujudkan ruh ekonomi Islam yang sebenarnya. Adapun implikasi hukum yang dapat kita
ambil, sebagai berikut:
1.
Hukum melakukan muamalah (ekonomi) adalah boleh (Mubah),
bahkan menurut Rasulallah muamalah merupakan salah satu pekerjaan yang baik asalkan
dengan cara yang bersih.
2.
Dalam melakuakan interaksi ekonomi. Islam mengharuskan
adanya prinsip keadilan satu sama lainya. Agar tidak ada pihak-pihak yang
dirugikan.
3.
Salain keadilan, dalam ekonomi Islam juga diharuskan
adanya komitmen bertanggung jawab atas pekerjaan yang mereka lakukan.
4.
Pokok inti dari prinsip ekonomi Islam adalah
kejujuran. Kejujuran merupakan pintu gerbang dari terealisasikanya
prinsip-prinsip ekonomi Islam yang lainya, sehingga dalam ekonomi Islam
kejujuran merupakan syrat wajib yang harus terpenuhi.
5.
Yang terakhir adalah haramnya riba dalam
bentuk apapun didalam muamalah (ekonomi Islam).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Didalam salah satu sumber hukum
kita al Hadits, ternyata tersimpan prinsip-prinsip ekonomi islam yang mempunyai
nilai moral yang luhur, dan itu juga membuktikan betapa sempuran dan lengkap
ajaran agama kita. Adapun prinsip-prinsip ekonomi islam yang terkandung dari
beberapa al Hadits sebagai berikut: “prinsip boleh” Hukum melakukan muamalah
(ekonomi) adalah boleh (Mubah), bahkan menurut Rasulallah muamalah merupakan
salah satu pekerjaan yang baik asalkan dengan cara yang bersih. “prinsip
keadilan”. Dengan adanya prinsip ini brtujuan u ntuk Agar tidak ada pihak-pihak
yang dirugikan. “prinsip tanggungjawab”. ”prinsip kejujuran”. Kejujuran
merupakan pintu gerbang dari terealisasikanya prinsip-prinsip ekonomi islam
yang lainya, sehingga dalam ekonomi islam kejujuran merupakan syrat wajib yang
harus terpenuhi. Yang terakhir adalah “prinsip haramnya riba” dalam muamalah (ekonomi Islam).
DAFTAR PUSTAKA
Munawar, Mustakim,
2001, Asbabul Wurud, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Imanto, Kuat, 2009, Manajemen
Syari’ah, Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Hassan, A, 1985, Terjemahan
Bulughul Maram, Bangil: pustaka Tamaam.
Abdillah, Abduh, 2005, Aplikasi “Hadits Arba'in An-Nawawi Dengan
Syarah Ibnu Daqiqil” 'Ied Versi 0.1, Bandung.
Komentar
Posting Komentar