Hadits Mengenai Talak

Bab I
Pendahuluan
A.       Latar Belakang
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sangat sakral dalam agama kita, karena dengan adanya pernikahan ini hasrat seseorang akan tersalurkan dalam bingkai ibadah. Serta akan mendapat kanketurunan yang dilegitimasi oleh agama. Namun jangan dikira bahwa hidup dalam sebuah ikatan perkawinan penuh dengan hiasan canda dan tawa bagaikan hidup dalam surga, melainkan di dalamnya tidak jarang terjadi problema dikarenakan keinginan yang berbeda. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mengakhiri ikatan sucinya dengan sebuah perceraian.
Dalam makalah ini penulis sengaja membahas masalah penceraian (terputusnya suatu ikatan perkawinan). Berkaitan dengan masalah perceraian ini ada beberapa hadits yang secara tersirat menyinggung berbagai persoalatan terkait dengan talak. Makalah ditujukan agar kita mengetahui pengertian dari kandungan As Sunnah yang berkaitan dengan talak beserta kehujjahanya dengan mengkritisi kwalitas sanad maupun matan hadits serta asbabul wurudnya.
Berikut dengan uraian beberapa masalah penting terkait talak. Semoga dari makalah ini dapat menambah khazanah ilmu bagi para pembaca, khususnya dalam pemahaman Hadits yang berkaitan dengan hukum talak. Dan yang terakhir, saran dan kritik yang bersifa tmembangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini mengingat minimnya ilmu yang kami miliki. Terimakasih.


B.       RumusanMasalah
a.       Bagaimana Bunyi Hadits-Hadits Tentang Talak ?
b.      Bagaimana Asbabul Wurudnya ?
c.       Bagaimana Kualitas Matan Dan Sanadnya ?
d.      Bagaimana Kandungan Hukumnya ?

C.       Tujuan Pembahasan
Mengetahui hadits-hadit tentang talak, mengkritisi dan mengkaji kualitas matan beserta sanadnya, mengetahui asbabul wurud dari masing-masing hadits serta memahami kandungan hukumnya.
Bab II
Pembahasan
A. Istri meminta cerai kepada suami (Khuluk)
Semua orang mendambakan sebuah rumah tangga yang damai dan aman, penuh cinta kasih dan sejahtera. Mereka tidak ingin hubungan suami istri yang selama ini dibina dan dirawat menjadi hancur karena perceraian. Oleh sebab itu, Islam sebagai agama hanif mengajurkan kepeda laki-laki dan perempuan untuk memilih pasangan yang sesuai selera sebelum menikah (fankihu ma taba lakum min an nisa’).
Maka dari itu upaya yang serius untuk menjaga keutuhan rumah tangga harus menjadi kepedulian sami istri, Keduanya harus berupaya semaksimal mungkin melakukan mu’asyarah bil ma’ruf, supaya tujuan pernikahan untuk memperoleh mawaddah wa rohmahi dapat tercapai dan terhidar dari perceraian.
Jika tugas dan kewajban masing-masing pihak dilakukan dengan baik dan adil, hubungan itu akan tetap terjaga baik. Namun kadang-kadang ada kondisi-kondisi tertentu yang memaksa keduanya saling bertengkar, dan akhirnya sampai pada suatu titik di mana keduanya tidak menemukan satu kata sepakat  untuk mempertahankan keluarganya.
Ketika konflik terus berlanjut, masing-masing tetap bersih keras pada pendiriannya untuk berpisah, an upaya rekonsiliasi pun gagal ditempuh, maka perceraian pun tidak dapat dihindari sebagai jalan terakhir, ketika rekonsiliasi tidak dapat dilakukan. Perceraian memang tidak selamanya jelek, sebab boleh jadi dengan perceraian seseorang kemudian akan mendapat pengganti yang lebih baik, sehingga tujuan pernikahan lebih apat diharapkan. Meskipun demikian, tetap saja umumnya orang akan menganggap perceraian sebagai “aib” dan dianggap sebagai sebuah kegagalan membina rumah tangga.
Berkaitan dengan masalah perceraian ini, ada suatu hadist yang secara tersirat melarang istri meminta cerai kepada suaminya. Dalam hadist itu dikatakan: “siapa pun perempuan (istri) yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang diperbolehkan, maka dia tidak akan mencium au surga”(HR. Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).
Hadist tersebut dianggap oleh sementara pihak sebagai hadist yang diskrminatif terhadap kaum perempuan. sebab, mengapa kalau suami mempunyai hak menceraikan, istri seolah tidak mempunyai hak meminta cerai ? Mengapa bunyi hadist yang sebaliknya tidak populer ? Bukankah pernikahan itu merupakan sebuah kontrak (al-‘aqd) ? Sebagai konsekuensinya, kedua belah pihak atau salah satunya dapat membatalkan kontrak tersebut ? Inilah salah satu persoalan yang hendak dijawab dalam tulisan ini.
Dalam dikursus hadist kontemporer, nampaknya menjadi sebuah keniscayaan bagi para peneliti untuk menjelaskan dan meneliti secara kritis terhadap hasist-hadist yang dianggap misoginis. Sebab, umumnya hadist bukan merupakan proposisi yang umum. Artinya ada situasi tertentu di mana Nabi menyapaikan sabdanya.
Lebih-lebih ketika gerakan kaum feminis semakin menggeliat dan dengan tegas mengibarkan benderanya. Menurut mereka diakui atau tidak, sadar atau tidak sadar, munculnya ketimpamgan gender di masyarakat baik berupa hukum konvensional, fiqh, maupun hukum positf. Salah satunya disebabkan oleh adanya teks-teks keagamaan yang dipahami oleh mind set patriarkhi yang bias gender. Oleh sebab itu, adalah menarik untuk membincangkan dan mendialogkan hadist tentang larangan seorang istri meminta cerai kepada suaminya.
Sepintas hadist tersebut memang mengundang pertanyaan: mengapa perempuan (istri) tidak boleh meminta cerai kepada suaminya, sementara kadang kita melihat kenyataan di lapangan, betapa mudahnya seorang laki-laki menceraikan istrinya. Seolah-olah tidak ada larangan dan ancaman bagi suami yang menceraikan istrinya tanpa alasan.
Anehnya, fiqh sendiri secara tekstual cenderung mempermudah proses perceraian bagi suami. Hal ini tampak misalnya jika suami mengatakan: anta taliqotun ‘alayya, maka sudah jatuhlah talaknya, karena termasuk dalam kategori redaksi yang tolak scnih (tegas). Bahkan hsl ini didukung dengan hadist yang mengatakan bahwa talaq (cerai) itu dilakukan dengan main-main atau sungguh-sungguh tetap jatuh talaqnya.
Penelitian ini difokuskan pada bagaimana kualitas atau status hadist larangan seorang istri menuntut cerai kepada suaminya, dan bagaimana cara memahaminya. Dalam hal ini kami (pemakalah) akan menggunakan perpektifilmu ushulfiqh yang dibalut dengan anahsis gender, sebuah paradigma baru yang sedang ngetrend, yang ingin mendudukkan perempuan dan laki-laki secara equal, nir-deskriminstif.
Disamping itu, kami (pemakalah) juga mencoba mengemukakan hadist-hadist lain sebagai penyeimbang terhadap hadist yang hendak kami (pemakalah) teliti. Hasil kajian ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk sosialisasi pentingnya menegakkan keadilan gender yang merupakan bagian dari keadilan sosial yang berbasis pada nilai-nilai Qur’ani dan hadist-hadist yang sahih
B.  Variasi Sanad dan Matan Hadist
1.      Sanad Petama
حد ثنّا أحمد بن الأ زهر حد ثنّا محمّد بن ا لفضل عن حمّا د بن زىد عن أ يو ب عن أ بي أسمأ عن ثو با ن قا ل ر سو ل ا لله صلّي ا للّه عليه و سلّم أ يّما ا مر أ ة سأ لت زو جها ا لطلا ق في غير ما بأ س فحر ا م عليها ر ا ئحة ا لجنّة.
 Ahmad bin al-Azhar’i telah menceritaka(Ibn Majah), beliau diceritai oleh Muhammad bin Fadl, dari Hammad bin Zaid, dari Ayyub dari Abi Qilabah dari Abi Asma’ daari Sauban, dia berkata: Rasulullah SAWpenah bersabda: Siapa pun perempuan (istri) yang menuntut cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar, maka haran baginya bau surga. (H.R Ibn Majah)
2.      Sanad Kedua
حدثّنا بكر بن خلف ا بو بشر حدثّنا أ بو عا صم عن جعفر  بن  يحيى  بن ثو با ن عن عمّه عما رة بن ثو با ن عن عطا ء عن ا بن عبّا س  أ نّ ا لنّبي صلّي ا للّه عليه و سلّم قا ل لا تسأ ل ا لمر أ ة  زو جها  ا لطّلا ق في غير كنهه قتجد ريح ا لجنّة وإ نّ ر يحها ليو جد من مسيرة  أربعين عا مّا.
Bakr Ibn Khalaf talah menceritakan kepada kami (Ibn Majah), beliau diceritai oleh Abu’Asim, dari Ja’far ibii Yahya ibn Sauban dari pamanya; ‘Umarah ibn Sauban, dari Atha’ dari ibn ‘Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda; Tidaklah seorang perempuan meminta cerai dari suaminya dalam kasus yang tidak semestinya minta cerai, kemudian dia dapat mencium bau surga. Padahal sesungguhnya baunya surga dapat ditemukan dari jarak perjalanan empat puluh tahun lamanya. (HR. Ibn Majah)
3.      Sanad Ketiga
عن عقيبة بن عا مر قال : قال رسول ا للّه صلي ا للّه عليه وسلم ا لمختلعات هن منافقات { رواه ا لتّر مدي }
Dari ‘Uqbah bin Amir berkata; Rasulullah SAW bersabda perempuan-perempuan yang melakukan khulu’ adalah perempuan-perempuan munafik. (HR Imam Tirmidzi)5
C.  Kritik Sanad (an Naqd Al Khariji)
Hadist yang diteliti ini terdapat dalam sanad pertama, dan dalam melakukan kritik sanad atau kritik eksternal (an-naqd al khariji) kami (pemakalah) akan menggunakan CD Room Mausu’ah al-Hadist asy-Syarif Kutub ul Tis’ah. Berikut ini biografi para perowi pada sanad pertama, dan penilaian dari para ulama al-Jarh wa at-ta’dil yang dapat ditemukan dari CD Room dan kitab fi Rihab as-Sunnah.
1.   Ibnu Majjah(209-273 H)
Beliau nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad bin Yazid Majjah ar-Rabi’ al-Qawzini. Beliau lahir di Qawzin tahun 209 H dan wafat tanggal 22 Ramadhan 273 H.
Beliau berguru kepada Abu Bakar bin AM Syaibah, Muhammad bin Nadir bin Ammar,
Muhammad bin Rumh, Ahmad bin al-azhar, Basyir bin aam dan lain sebagainya.
Seadangkan murid-muridnya antara lain adalah Muhammad bin ‘Isa al-Ahbarl, Abu Hasan al-Qatan, Sualiman bin Yazid al-Qazwini.
Penilaian ulama terhadap Ibn Majjah antara lain dikemukakan oleh Abu Ya’la al-Khatih al-Qazw’mi, beliau adalah siqoh,saduq, hujah. Az  Zahabi dalam tazqiratul huffaz, mengatkan bahwa Ibn Majjah adalah ahli hadist besar.
2.   Ahmad ibn al-Azhar ibn Mani’ (W.263 H)
Beliau nama lengkapnya Ahmad bin al-Azhar bin Many termasuk golongan tabaqah al-wusta dari Tabi’ at-Tabiin. Nama Kinyah -nya adalah Abdul Azhar. Beliau tinggal di Nawahand wafat pada tahun 263 H.
Beliau berguru kepada: Adam ibn Abi lyas, Ruh Ibn Abi Ubadah ibn ‘Ala’, ‘Abdurrahman Ibn Waqid Ibn Muslim, ‘Abdul Razaq ibn Hammam, Ibn Nafi’, ‘Abdul Aziz Ibn al-Khatta-b, ‘Umar ibn ‘Usman, Muhammad ibn Fadl dan lain sebagainya.
      Adapun murid antara lain adalah Ibn Majah yang dalam hal ini baliau sebagai mukharij hadist tersebut.
Penilaian para ulama Jarh wa Ta’dhil terhadap Ahmad ibn Azhar antara lain dikemukakan oleh Az-Zahabi: min Ahli Shidqi wal Amanah; Muhammad ibn ‘Afi al-Marwazi: Hasanul Hadist ; Salih Jazarah: Saduq; Abu Hatim al-Razi: Saduqi An-Nasa’i: La ba’sa bih: Ibn Hibban: Zakarahu fi al-asiqat
Dari penilaian para ulama kritikus Jarh wa at-ta’adaZ tersebut tampak bahwa tidak satupun diantara mereka yang men Jarh (mengucap cacat) terhadap Ahmad ibn Azhar. Ini berarti kualitas Ahmab bin al-Azhar dapat dinilai sebagai seorang yang kredibel.
3.   Muhammad bin Fadl (W.224 H)
Nama lengkapnya Abu Nu’man, Muhammad bin Fadl. Nama Kinayah-nya Abu  Nu’man.dan nama Laqab-nya grim.Beliau termasuk ta’bi’ at-Tabiin kecil, yang bernasab kepada as-Sadusi,tinggal di Basrah, dan wafat disana pada 224 H.
Beliau berguru antara lain kepada:  Hammad bin zaid bn Dirham, Hammah bin Salamah bin Dinar, ‘Abdullah ibn Mubarak, bin Wadih, Mahdi bin Maimun dan lain sebagainya.
Adapun murid-muridnya antara lain: Ahmad bin al-Azhar bin Mani; Ubbad ibn al-Wafid ibn Khalid, Muhammad ibn ‘Abdul Malik Ibn Marwan, Muhammad ibn Yahya ibn ‘Abdullah ibn Khalid ibn Faris Duaib, Harun ibnAbdulldh bin Marwan.
Penilaian para ulama Jarh wa Ta’dil terhadap Muhammad bin Fadl antara lain dikemukakan Hatim al-Razi: Siqah, ikthalafa fi akhiri ‘umrihi; An-Nasai: Ahadu Siqat qabla an yakhtalita; Al-Bukhar’i: Taghayyara fi akhiri umrihi. Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa rutbah (status) Muhammad bin Fadl adalah siwah sabat, tetapi diaakhir hayatnya beliau sering keliru dalam ingatannya.
4.   Hammad bin Zaid (W.174)
Nama lengkapnya Hammad bin Zaid bin Dirham. Beliau termasuk tabaqat wusta dari Tabi’ at-Tabi’in. Nasab beliau kepada al-Azdi al-Juhdami. Nama kinayah-nya Abu Isma’il. Nama laqab-nya al-Azraq. Beliau tinggal di Basrah dan wafat di sana pada tahun 179 H.
Beliau berguru antara lain kepada: Ishaq bin Suwaid bin Habirah, Anas Ibn Sirin, Ayyub ibn Abi Tamimah Kisan, Badil Ibn Maisarah, Sabit Ibn Aslam dan lain sebagainya.
Penilaian para ulama jarh wa ta’dil terhadap Hammad bin Zaid antara lain dikemukakan oleh: az-Zahabi: yahfadu hadisahu kal ma’; Ahmad bin Hanbal: Huwa min aimmatil Muslimin; Yahya bin Yahya: ma raitu ahfad minhu; Muhammad bin Skha’ad: Siqah, Sabat, Hujjah; Muhammad al-Khalal: Siqah,Muttafaqun ‘alaih; Ibn Hibban: Zakarahu fi al-Asiqat, wa qala: Yahfadu hadisahu kulluhu. Pra ulama menyimpulkan bahwa beliau adalah Siqah Sabat.
5.   Ayyub (W.131 H)
Nama lengkapnya Ayyub bin Abi Tamimah Kisan. Beliau termasuk Tabaqat sugra dari tabi’in, bernasab kepada as-Sakhtayani. Nama kinayah-nya Abu-Bakar. Beliau tinggal dan wafat di Basrah pada tahun 131 H.
Beliau berguru antara lain kepada:Al-Hasan ibn Abi Hasan Yasar, Hafsah Ibn Sirin, Hamid bin Hilal ibn Khalid bin Dhuraik, ‘Abdullah bin Zaid in Amr bin Nabil. Murid-muridnya antara lain: Ismail bin Ibrahim bin Muqsim, Jarir Hazim bin Zaid, Hammid bin Zaid bin Dirham dan lain sebagainya.
Penilaian para ulamahadap Jarh wa Ta’dil terhadap Ayyub antara lain dikemukakan oleh Abu Hatim ar-Razi: Siqah,La yusa’lu an mislihi; Yahya bin Ma’in: Siqah; An-Nasa’i: Siqah,Sabat; Yahya bin Sa’id: Siqah, Sabat, Hujjah, Adl. Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa Ayyub termasuk tingkatan perawi yang Siqah, sabat, hujjah.
6.   Abu Qibalah (W. 104 H)
Nama lengkapnya Abu Qibalah ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Amr bin Nabil. Beliau termasuk tabaqat wusta min at-tabi’in. Nasabnya pada al-Jarami. Beliau tinggal di Basrah dan wafat di Syam pada tahun 104 H. Beliau berguru kepada Anas bin Malik bin Nadr bin Damdan bin Zaid bin Haram, Sabit bin Dahhak bin Khalifah, Huzaifah bin Yaman, ‘Amr bin Mursyid,’Amr bin Mu’awiyah.
Murid-muridnya antara lain: Ayyub bin Abi Tamimah Kisan, Syaiban ibn ‘Abdurrahman, Qatadah bin Di’amah bn Qatadah, Khalid bin Mahran dan lain sebagainya. Penilaian para ulama jarh wa ta’dil terhadap Abu Qibalah antara lain dikemukakan oleh Ibn Sirin; Siqah; Muhammad bin Sa’d; Siqah; Ibn Kharrasy: Siqah; Al-‘Ijli:Siqah; Abu Hatim ar-Razi: Siqah la Yu’raf lahu Tadlis.
7.   Abi Asma’ (W. ?)
Nama lengkapnya adalah ‘Amr ibn Mursyid Abi Asma’. Beliau termasuk tabaqat wusta m-tabi’in. Nasabnya pada ar-Rahbi ad-Dimasyqi. Beliau tinngal di Syam dan wafat disana, tapi tahun wafatnya tdak diketahui secara pasti. Beliau berguru kepada Sauban Bujaddad. Sedangkan murid-muridnya antara lain: Abu Qulabah ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Amr bin Nail, Makhul,Yahya bin Haris. Penilaian para ulama Jarh wa ta’dil antara lain dikemukakan oleh Al-‘Ijli: Siqah; Ibn Hibban: Siqah;
8.   Suaban Bujaddad
Beliau termasuk kalangan sahabat yang bernasab al-Hasyimi. Nama kinayah-nya adalah Abu ‘Abdullah. Beliau tinggal di Syam dan wafat di Hulwan pada tahun 54 H. Gurunya adalah Rasulullah sendiri.Pra uluma menyatakan bahwa beliau termasuk dari sahabat yang mempunyai tingkat keadilan dan ke-siqah-an yang paling tinggi. Murid-muridnya antara lain: Jubair bin Nafir bin Malik, Rasyid bin Sa’d, Aba Asma(Amr bin Mursyid) dan lain sebagainya.
D. Analisis Sanad dan Matan Hadits
1.      Analisis Sanad
Dari data yang kami(pemakalah) peroleh dari CD Room tersebut tampak bahwa para perawi dalam sanad pertama tersebut, semuanya ada pertemuan antara guru dan murid. Hal itu dapat dilihat dari pertama, data tahun wafat dari masing-masing perawi dan kemungkinan pertemuan diantara guru dan murid; kedua, data kesinambungan (guru-murid) dalam masing-masing perawi, sebagaimana penjelasan para ulama ahli hadist mengenai siapa saja murid dan guru dari masing-masing peerawi.
Meskipun demikian, dari sisi kualitas hafalannya, ada sebagian perawi yang problematis. Muhammad bin Fadl misalnya, dinilai oleh para ulama ahlu jarh wa ta’dil termasuk orang yang mengalami ikhtilaf (kekeliruan dalam hafalan) di akhir umurnya. Berarti dia termasuk kategori perawi yang khafifud dabti (kurang kuat hafalannya). Hal ini menyebabkan kualitas hadistnya dilihat dari sisi sanad menjadi tidak sahih, melainkan hanya menduduki hadist hasan, hadist yang diriwayatkan oleh perawi adil yang kurang kuat hafalannya, dari awal sampai akhir, tidak syad dan tidak cacat.7
2.      Skema Sanad Hadist
Dari penjelasan diatas tersebut, maka sanad hadis  tentang larangan istri minta cerai akan digambarkan sebagai berikut:
Rasulullah SAW>>>Sauban Ibn Bujaddad>>>’Amr Ibn Mursyid>>>’Abdullah>>>Ayyub>>>Hammad Ibn Zaid>>>Muhammad Ibn Fadl>>>Ahmad Ibn al-Azhar>>>Ibn Majjah
3.      Analisis Matan
Matan hadist tersebut tidak ada persoalan, karena memang tidak ada kerancuan redaksi jika ditinjau dari aspek strukur bahasa maupun logika. Hanya saja yang menjadi persoalan apakah larangan itu sifatnya haram atau hanya makruh? Apakah hadist tersebut tidak bertentangan dengan hadist yang membolehkan perempuan menuntut hak khulu’ sebagaimana hadist mengenai kasus Habibah yang pernah menuntut khulu’ (meminta cerai tebus) kepada suaminya, bernama Sabit bin Qais. Ternyata Rasulullah SAW mengabulkan permohonan cerai Habibah terhadap suaminya, dengan menyuruh mengembalikan kebun yang dulu diberi oleh suaminya, yaitu Qais bin Sabit’.
Menurut Abu Syuqqah, dengan mengutip hadist riwayat Ibn Majah, Habbah meminta cerai karena tidak suka dengan suaminya yang pendek, hitam kulitnya. Dia juga khawatir akan melakukan kekufuran terhadap suaminya (artinya tidak sanggup berbuat baik terhadap suaminya, karena ia memang tidak mencintainya).
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas, terdapat riwayat bahwa Habibah pernah datang kepada Rasulullah mengadukan perihal suaminya yaitu 85 bit bin Qais bin Syammas al-Ansari. Kata Habibah; Ya Rasulullah, saya memang tidak mencela kebaikkan dan akhlak suami saya, tetapi saya khawatir berbuat kekufuran padanya. Seandainya saya tidak takut kepada Allah, niscaya saya akan ludahi wajah suamiku. Kemudian Rasulullah mengatakan, Apakah kamu mau mengembalikan kebun yang telah diberikan suamimu kepadamu? Dia menjawab: mau ya Rasul. Maka ia pun mengembalikan kebunnya, dan Rasulullah lalu meceraikan keduanya. Perawi hadist itu lalu berkata bahwa ini adalah peristiwa khulu’ pertama kali dalam Islam.
Dari penjelasan tersebut, artinya larangan istri meminta cerai itu hanya berlaku jika permintaan cerai itu dilakukan tanpa ada alasan yang dibenarkan syar’i, seperti penegasan Nabi dalam hadist min gairi ma ba’sin (permohonan cerai tanpa alasan). Alasan-alasan meminta cerai yang dapat dibenarkan itu misalnya suami tidak mau memberi nafkah lahir atau tidak mampu memberi nafkah batin karena impoten atau suami selingkuh, pemabuk, penjudi, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika memang ada alasan syar’i, maka istri diberikan hak untuk meminta cerai (khulu’) kepada suaminya.
Menurut Sayyid as-Sabiq dalam Fiqh as-Sunah, secara umum ada dua alasan, istri boleh meminta cerai kepada suaminya, yaitu 1) ‘uyub al-khalqiyyah (cacat tubuh) dan su’u al-khuluqiyyah (cacat moral).10 Sudah barang tentu alasan itu berlaku jika istritidak rela menerima cacat-cacat tersebut, sehingga menyebabkan syiqaq (perselisihanyang tidak dapat dikompromikan). Kalau istri dapat menerima kekurangan itu maka tidak ada masalah.
Kebolehan khulu’ ini secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an yang artinya: “Jika kamu khawatir keduanya(suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentng pembayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya.” (QS. 4: 229). Berangkat dari ayat ini, dengan tegas Amina Wadud menyatakan bahwa tidak ada indikasi dalam al-Qur’an bahwa seluruh kekuasaan dalam perceraian dapat dihilangkan dari perempuan. Dari pejelasan tersebut, dapat dipahami bahwa hadist larangan istri mununtut cerai kepada suaminya bukanlah larangan secara mutlak. Artinya, hanya pada kasus-kasus tertentu seorang istri dilarang menuntut cerai kepada suaminya.
Kami (pemakalah) menyadari bahwa larangan istri minta cerai tersebut, jika dilihat sepintas akan terkesan memojokkkan perempuan, karena seolah-olah istri tidak mempunyai jalan keluar untuk berpisah dari ikatan pernikahan.
Imam asy-Syatibi pernah menyatakan bahwa dalil syar’i menetapkan bahwa perintah-perintah syari’ah itu didatang untuk menarik kemaslahatan, karena itu tidak ada suatu sebab yang disyari’atkan, kecuali mengandung kemaslahatan.
Secara tegas kami (pemakalah) berpendapat bahwa hadist-hadist tentang larangan istri meminta cerai kepada suaminya atau sebaliknya, harus dipahami sebagai bentuk pengarahan edukatif dari Rasulullah SAW. Artinya beliau bermaksud mendidik umatya agar jangan dengan sembarang menjatuhkan talak atau meminta cerai (khulu’)
Para ulama menyimpulkan bahwa hukum talak (cerai) tidaklah tunggal, melainkan plural. Ketentuan ini menurut hemat kami (pemakalah) dalam beberapa hal mestinya juga dapat diberlakukan dalam khulu’. Artinya hukum khulu’ itu juga tidak tunggal melainkan bisa plural. Ibn Hajar misalnya sebagaimana dikutib oleh ‘Ali As-Sabuni. pertama, Wajib: seperti kasus seorang muli (sesorang yang melakukan sumpah ila), setelah menunggu selama empat bulan, dan menceraikannya dua orang hakam (dari pihak istri dan suami) terhadap pasangan suami-istri yang tidak mungkin lagi melakukan rekonsiliasi. Kedua, Sunnah; seperti kasus seorang suami yang tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya, atau istrinya selingkuh(gairu ‘afifah). Ketiga, Haram: misalnya tlaq bid’i, yaitu menjatuhkan talak  pada waktu istri sedang haid atau pada waktu suci yang telah dijimak sebelumnya. Keempat, Makruh, yaitu menjatuhkn talak di selain dalam kondisi diselain tiga tersebut diatas.
Menurut golongan Hanafiyah dan Hanabiyyah pada dasarnya talak itu dilarang (mahzur), karena termasuk mengkufuri nikmat pernikahan. Hal ini didasarkan pada hadist: La’ana al-Allah kulla midwaq qa mitalaq(Allah melaknat orang yang suka mencicipi dan suka menceraikan). Cerai dibolehkan dalam konteks hajat atau darurat.







Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Hadist tentang larangan perempuan (istri) menuntut cerai yang kami (pemakalah) teliti pada sanad pertama adalah hadist hasan, sebab tidak memenuhi kriteria syarat hadist sahih. Di dalam sanadnya ada perawi yng mengalami ikhtilaf diakhir umurnya. Ini artinya ia khafifu ad-dabt (kurang mkuat hafalannya). Tetapi karena hadist tersebut itu didukung oleh hadist-hadist lain yang sahih seperti riwayat Imam Ahmad, Imam ad-Darimi, Imam at-Tirmizi, maka derajatnya bisa naik menjadi sahih ligairih.
Hadist tersebut tidak bertentangan dengan hadist yang membolehkan khulu’, karena kedua hadist yang tampak ta’arud dapat dikompromikan. Bentuk komprominya adalah larangan itu berlaku dalam konteks ketika istri tidak memiliki alasan syar’i untuk menuntut cerai. Namun jika ia memiliki alasan syar’i, maka menuntut cerai hukumnya boleh, bahkan bisa sunnah atau wajib, tergantung kondisinya.
Dalam kondisi normal, hadist larangan istri menuntut cerai harus dipahami dalam konteks edukatif dari Rasulullah SAW, yang dalam ushul fiqh ia dapat dimasukkan dalam konteks syaddu ad-dari’ah agar istrar’i tidak sembarangan menuntut cerai dengan alasan-alasan yang tidak syar’i atau prinsipil. Setelah kami (pemakalah) melakukan eksplorasi tenyata banyak hadist yang secara tersirat melarang suami menjatuhkan talaq, tanpa alasan yang dapat diterima secara syar’i. Ini artinya tuduhan deskriminatif masalah tersebut tidak benar. Disinilah pentingnya melakukan kajian hadist dengan metode tematik, melalui ushul fiqh yang beraroma sensitif gender dan disiplin ilmu lainnya, sehingga kesan-kesan kontradiktif, misoginis, dapat dijelaskan secara akademik.
B.  Saran
Demikian dalam makalah telah di uraikan beberapa dasar hukum mengenai talak beserta kualitas matan dan sanadnya. Dari situ sudah seyogyanya apabila kita bisa menarik garis besar dari kesimpulan hukum yang diambil dari beberapa hadits di atas, dan kita jadikan pedoman dalam memegang teguh hukum-hukum islam.
Daftar Pustaka
An-Naim, Ahmed Abdullah, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedi, Yogyakarta : LKiS, 1994.
Ilyas, Hamim, Dkk, Perempuan Tertindas, Yogyakarta, eLSAQ Press, 2005
As-salih, Subhi, ‘Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, Beirut: Dar’Ilm Lil Malayin, 1959

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Akhlak Tasawuf (Pengertian tasawuf akhlaki,irfani dan Falsafi)

Beberapa Hadits tentang Ijarah (Upah)