Teori Kenegaraan menurut Ibnu Khaldun (Siyasah Syariah)
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kepentingan para pemikir politik spanjang sejarah mulai dari
Socrates sampai para pemikir kontemporer adalah kenyataan bahwa masalah-masalah
yang mereka perbincangkan masih tetap hangat hingga sampai saat ini.
Diantaranya adalah masalah tentang kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk
didalamnya tentang konsep kekuasaan dan konsep negara menurut ilmu politik.
Apabila kita telusuri kedudukan negara dalam pemikiran politik
Barat dari Yunani Kuno sampai sekarang, jelas kelihatan bahwa konsep negara
selalu mendapat tempat yang istimewa dalam pemikiran para pemikir, tak
terkecuali Ibnu Khaldun.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang konsep negara tertuang dalam bukunya yang berjudul Muqaddimah. Buku ini ditulis berdasarkan pengalamannya yang luas dibidang politik dan pengamatannya yang tajam dalam pemikiran politik.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang konsep negara tertuang dalam bukunya yang berjudul Muqaddimah. Buku ini ditulis berdasarkan pengalamannya yang luas dibidang politik dan pengamatannya yang tajam dalam pemikiran politik.
Berbagai pemikiran serta ide yang terdapat dalam kitab ini membuat
Ibnu Khaldun menjadi termasyhur dan pemikirannya tersebut dianggap sebagai
bibit dari ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan
metode yang berbeda dari penelitian ilmuan pada saat itu juga disebut sebagai
bibit munculnya filsafat sejarah seperti yang ada sekarang. Pemikitrannya
tersebut memberikan sumbangsih besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
Teori Kenegaraan menurut Ibnu Khaldun
A.
Biografi Ibnu Khaldun (732 – 808 H/ 1332 - 1406 M)
Nama lengkapnya Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Khaldun. Lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H atau bertepatan pada
tanggal 27 Mei 1332 M. Nenek moyangnya berasal dari salah satu suku di Arabia
Selatan. Masa kanak-kanaknya dihabiskan untuk belajar mengaji, dan penafsiran
al-Qur’an dari gurunya Muhammad ibnu Sa’ad ibnu Burrah. Sedangkan bahasa
Arabnya di pelajari dari ayahnya sendiri dan beberapa gurunya, diantaranya
Syaikh Muhammad ibnu Arabi al-Hashairi. Antara usia 15-25 tahun yakni pada
tahun 1347-1357 M., beliau hidup pada masa yang penuh kekalutan dan huru-hara
dinasti Muwahhidun di Afrika Utara.
Pada tahun 1354 M Ibnu Khaldun memutuskan untuk meninggalkan
Tunisia dan pergi ke Fez daerah Marokko. Disinilah ia menyelesaikan pendidikan
tingginya. Ia banyak bergaul dengan ulama’-ulama’ yang mendampingi sultan Abu
‘Inan (sultan Maroko). Di Fez ia menjabat sebagai sekretaris negara dan
kemudian menjadi pegawai tinggi dalam urusan hukum dan pelanggarannya. Akan
tetapi, semua itu tidak terjadi lama, sebab pada tahun 1361 terjadi pemberontakan
istana yang diatur oleh pihak sipil dan militer hingga menyebabakan sultan Abu
Salim (pengganti Abu ‘Inan) meninggal dunia. Setelah peristiwa ini, Ibnu
Khaldun memutuskan untuk pindah ke Granada, satu-satunya negara Islam yang
waktu itu terdapat di semenanjung Liberia. Ia tiba disana pada tanggal 26
Desember 1362 M.
Ibnu Khaldun diterima baik oleh pemerintah Granada, sebab raja
Muhammad V yang memerintah disana beserta perdana menterinya Ibnu Khatib adalah
sahabat lamanya. Pada tahun 1364 M ia ditugaskan untuk mengepalai misi kepada
raja Pedro dari Castilla untuk melakukan perjanjian perdamaian. Ibnu Khaldun
tinggal di Granada selama kurang lebih 3 tahun beserta keluarganya. Namun, ia
mulai merasa bahwa Ibnul Khatib mulai amat kurang senang dengannya, terutama
karena pengaruh Ibnu Khaldun yang semakin hari semakin besar di istana. Untuk
menghindari pertikaian dengan Ibnul Khatib, maka pada tanggal 11 Februari 1365
M ia sekeluarga meninggalkan Granada dan kembali ke Afrika Utara dan menetap di
Bougie.
Pada pertengahan tahun 1377 M beliau telah menyelesaikan karya
besarnya yang berjudul “Muqaddimah”dalam jangka waktu 5 bulan. Muqaddimah
adalah jilid pertama dari kitab al-Ibar yang terdiri dari tujuh jilid. Namun,
dalan sejarah pertumbuhannya, muqaddimah lebih dikenal dari nama kitab induknya
sendiri. Karya Ibnu Khaldun lain yang terkenal yaitu al-Ta’rif, kitab yang
berisi tentang biografi, peristiwa-peristiwa, dokumen, surat khutbah dan
syair-syair Qasidah.
Pada bulan Sya’ban 784 H atau bertepatan dengan bulan November 1382
M, Ibnu Khaldun tiba di Mesir yang pada waktu itu di pimpin oleh al-Dhahir
Barquq dari Dinasti Mamluk. Selama di Mesir, ia menghabiskan waktunya untuk
mengajar di berbagai perguruan tinggi, termasuk di al-Azhar. Disamping itu,
pada tahun 786 H atau 1384 M ia juga diangkat sebagai hakim mazhab Mailiki. Ia
menerima jabatan itu dengan penuh antusiasme, dan tanpa mengingat bahwa ia
adalah orang baru di Mesir. Ibnu khaldun melaksanakan reformasi dalam aparat
dan pelaksanaan peradilan mazhab Maliki yang kemudian menimbulkan kemarahan
orang-orang yang dirugikan. Dan akhirnya mereka berhasil memfitnah Ibnu Khaldun
hingga ia di pecat dari jabatannya. Namun kemudian ia diangkat lagi untuk
menduduki jabatan yang sama sebanyak lima kali.
Pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M), Ibnu Khaldun
meninggal dunia dalam usia 76 tahun. Ia dimakamkan di makam tokoh-tokoh dan
ulama’ terkemuka di luar pintu gerbang Nashr, Kairo.
B.
Siklus Bangun Jatuhnya Negara
1.
Asal Mula Terbentuknya Negara
Untuk membahas
asal usul terbentuknya suatu negara, hal pertama yang perlu dipertegas adalah
tentang konsep negara menurut Ibnu Khaldun. Seperti yang telah kita ketahui, di
Barat terdapat dua pemikiran tentang negara. Pertama, negara dalam arti luas
mencakup setiap bentuk pemerintahan manusia, baik dalam peradaban Yunani Kuno,
India, Cina Lama, Mesir Kuno atau bahkan menghadapi peradaban Inca, Aztec dan
lain sebagainya. Jika terdapat kumpulan manusia yang cukup besar yang mempunyai
pemerintahan yang teratur, maka dapat kita katakan bahwa kelompok manusia
tersebut mempunyai negara. Kedua, negara dalam pengertian yang sangat terbatas,
yakni bentuk negara yang kita kenal dewasa ini saja. Dengan demikian,
pengertian yang sesungguhnya hanya terdapat dalam sejarah modern saja.
Dalam
menterjemahkan kitab Muqaddimah ke dalam bahasa Inggris, Franz Rosenthal lebih
cenderung menganut paham kedua. Ia menggunakan istilah dynasty dalam
menterjemahkan kata-kata daulah yang digunakan Ibnu Khaldun. Menurutnya tidak
ada perbedaan antara negara dan dinasti. Sementara, Rahman Zainuddin memberikan
kesimpulan bahwa daulah yang digunakan Ibnu Khaldun adalah negara. Ia
mengatakan bahwa pada kenyataannya negara memang sangat berhubungan dengan
dinasti yang berkuasa. Raja-raja di Eropa modern sebelum mengenal paham
demokrasi selalu mengidentikkan dirinya dengan negara. Begitu juga dengan para
sarjana Muslim pada umumnya berpendapat bahwa pada waktu Nabi Muhammad hijrah
ke Madinah, biasanya dikatakan bahwa “beliau telah mendirikan negara disana”.
Dengan alasan-alasan inilah kata daulah diterjemahkan dengan negara.
Negara dalam
pemikiran Ibnu Khaldun terbentuk pada tahap tertentu dari perkembangan
masyarakat. Dalam masyarakat inilah muncul organisasi kemasyarakatan yang
menurutnya adalah suatu keharusan bagi hidup manusia. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh banyak ahli filsafat, manusia adalah makhluk politik atau
sosial. Manusia tidak dapat hidup tanpa organisasi kemasyarakatan yang biasa
disebut “kota” atau “polis”. Manusia diciptakan dalam keadaan akan bertahan
hidup dengan bantuan makanan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut
manusia tidak bisa berdiri sendiri, mereka pasti membutuhkan orang lain. Karena
itulah keberadaan organisasi kemasyarakatan yang mengatur hubungan antar
individu sangat dibutuhkan.
Ketika
organisasi masyarakat telah terbentuk, maka akan timbul keinginan untuk hidup
aman dari ancaman bahaya. Hal ini dikarenakan watak agresif manusia yang ingin
menang sendiri dan berlaku tidak adil. Untuk itulah dalam masyarakat diperlukan
seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah
antara para anggota masyarakat. Adapun yang bertindak sebagai penengah dan
pemisah haruslah dari seorang dari masyarakat tersebut yang memiliki pengaruh
kuat, kekuasaan, dan otoritas atas mereka. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada
seorang pun diantara anggota masyarakat yang mengganggu atau menyerang anggota
yang lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan dan wibawa yang memungkinkan menjadi
penengah, pemisah dan sekaligus hakim adalah raja atau kepala negara.
2.
Teori Ashabiyah
Selain apa yang
telah dipaparkan diatas, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain tentang
terbentuknya suatu negara, yaitu ashabiyah. Teori inilah yang melambungkan
namanya dimata para pemikir modern Muslim lain. Franz Rosenthal menterjemahkan
ashabiyah dalam bahasa Inggris dengan “Group Feeling” (rasa satu kelompok) atau
lebih tepatnya solidaritas kelompok. Pada intinya Rahman Zainuddin mengatakan
bahwa solidaritas adalah kerjasama dan tolong menolong yang erat dalam suatu
kelompok manusia dalam bentuk sedemikian rupa sehingga anggota kelompok
solidaritas itu bersedia mengorbankan jiwa raganya untuk kepentingan kelompok
itu serta para anggotanya.
Secara
etimologis ashabiyah berasal
dari kata ashaba yang
berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk
pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok
sosial. Selain itu, ashabiyah juga
dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran,
kepaduan dan persatuan kelompok. Dapat dikatakan bahwa ashabiyah sangat
menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun
kerajaan. Tanpa dibarengi ashabiyah, maka keberlangsungan
dan eksistensi suatu negara tersebut akan sulit terwujud, serta sebaliknya,
negara tersebut berada dalam ancaman disintegrasi dan menuju pada
kehancuran
Dalam teorinya
ini, Ibnu Khaldun mengemukakan dua premis. Pada premis pertama, ia berpendapat
bahwa orang tidak mungkin mampu menciptakan sebuah negara tanpa didukung oleh
suatu rasa persatuan dan solidaritas yang tinggi. Seperti yang telah dikatakan
dalam muqaddimahnya: “Agressive and defensive strength is obtained only through
group feeling with means mutual affection and willingness to fight and die for
each other”. (Mendominasi dan mempertahankan diri hanya dapat dilakukan dengan
solidaritas, karena didalamnya terdapat ajakan untuk waspada, kesiagaan untuk
berperang dan kesediaan orang dalam kelompokitu untuk mengorbankan jiwa dalam
mempertahankan temannya).
Pada premis
kedua, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa dalam mendirikan sebuah negara dibutuhkan
suatu kerja keras dan perjuangan yang hebat, yakni pertarungan hidup dan mati.
Sebab kekuasaan negara adalah suatu bangunan yang kokoh yang tidak dapat
dirobohkan siapa saja. Untuk itu diperlukan kekuatan yang besar. Seperti yang
telah ditulisnya dalam muqaddimah bahwa dalam kedudukan/kekuasaan itu terdapat
segala kebaikan dunia, sebab itu ia selalu diperebutkan. Dan ketika kekuasaan
sudah ada ditangan, maka seseorang yang memilikinya tidak akan memberikan kekuasaan
tersebut kepada orang lain, kecuali jika ia dikalahkan dalam pertarungan. Untuk
menghadapi pertempuran inilah diperlukan rasa solidaritas yang kuat. Sebab
itulah Rahman Zainuddin mengatakan bahwa persaingan antar berbagai pihak yang
berambisi untuk memilikinya merupakan hal yang sangat wajar.
Namun, Ibnu
Khaldun menyadari bahwa premis kedua ini pada umumnya jarang disadari oleh
generasi setelahnya. Karena biasanya generasi yang muncul belakangan tidak
mengalami atau bahkan tidak merasakan bagaimana perjuangan yang telah dilakukan
para pendahulunya untuk membangun negara tersebut. Mereka hanya mendapati bahwa
negara telah berdiri kokoh serta tidak ada hal lain lagi yang perlu
dipermasalahkan.
Selain
menekankan peranan solidaritas dan perjuangan yang hebat dalam mendirikan
negara, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa agama dapat memperkokoh rasa
solidaritas. Ia mengatakan bahwa hati umat manusia itu dapat disatukan berkat
pertolongan Allah. Ibnu Khaldun mengutip Firman Allah dalam surat al-Anfal ayat
63, “walaupun kamu membelanjakan semua kekayaan yang ada dibumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka.”
Apabila hati
terpanggil untuk melakukan kebatilan dan cenderung kepada dunia, maka sifat
kecemburuan akan muncul dan perbedaan akan meluas. Namun, apabila hati hati
cenderung pada kebenaran dan melepaskan dunia serta kebatilan dan tunduk kepada
Allah, maka tujuan dan arahnya akan menyatu. Dengan demikian, agama dapat
meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh masing-masing kelompok
dan mampu menuntun mereka kearah yang benar. Dan apabila perhatian telah
terpusat pada kebenaran, maka kecemburuan menjadi lenyap dan pertentangan akan
berkurang, dan akhirnya tujuan bisa dicapai.
3.
Tahapan Perkembangan Negara
Apabila negara
telah didirikan dengan stabil, maka proses setelahnya adalah berkurangnya rasa
solidaritas. Menurut Ibnu Khaldun, peranan solidaritas hanya dibutuhkan pada
tahap-tahap pertama dalam pembangunan negara. Hal ini menurut Biyanto
disebabkan karena negara yang baru dibangun masih membutuhkan dukungan untuk
menghadapi tantangan dan oposisi dari berbagai pihak.
Perkembangan
pertama yang terjadi pada negara apabila ia telah stabil dan mantap adalah
terjadinya proses pemusatan kekuasaan pada satu tangan penguasa. Ini merupakan
sebuah proses alami yang disebabkan oleh dua hal, yakni apabila seseorang telah
berkuasa maka akan timbul sifat pada diri orang tersebut sifat kesombongan dan
kebanggaan. Hal kedua disebabkan karena memang pada dasarnya suatu pemerintahan
tidak dapat dipimpin oleh lebih dari satu orang.
Ibnu Khaldun
menetapkan lima syarat bagi khalifah, Imam atau Sultan. Yaitu, sehat jasmani
rohani, memiliki pengetahuan, memiliki sifat adil, mempunyai kemampuan, sehat
panca indera dan badannya serta merupakan keturunan Quraisy. Berdasarkan teori
‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya
tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy
adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar.
Dengan jumlahnya
yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya
suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan
Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan
akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika
kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan
serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan persatuan,
solidaritas, dan persaudaraan. Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan
diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat
keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan.
Ini hanya
didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada
saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau
ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kewibawaan yang
tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi
diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang
mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih.
Menurut Ibnu
Khaldun pembentukan suatu negara membawa kepada kemewahan. Setelah mantapnya
kekuasaan negara, orang mulai hidup bermewah-mewahan. Orang lebih suka bersenang-senang
dari pada harus bersusah payah. Akibatnya, perlindungan menjadi lemah, kekuatan
negara menurun dan kelompok-kelompok yang ada diperbatasan akan mulai
memberontak. Lebih-lebih lagi, ia menambahi bahwa kemewahan itu merusak moral
serta bisa menarik kejahatan dan kebiasaan yang rendah.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa perkembangan dan kondisi negara terbagi dalam lima tahap. Yaitu:
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa perkembangan dan kondisi negara terbagi dalam lima tahap. Yaitu:
a)
Tahap pendirian negara. Tahap ini disebut tahap konsolidasi.
Otoritas monarkhi dibangun atas dasar demokrasi yang kokoh dengan dukungan
rakyat.
b)
Tahap pemusatan kekuasaan atau biasa disebut tahap tirani. Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa pada tahapan kedua ini diwarnai oleh adanya kemapanan
kekuasaan, sehingga timbul keinginan penguasa untuk memonopoli kekuasaan. Tahap
ini juga ditandai dengan sifat kelaliman (depotisme), monopoli kemegahan dan
kemewahan, menjauhkan kawan seperjuangannya dan penguasa lebih senang meminta
bantuan kepada orang asing daripada rakyatnya sendiri.
c)
Tahap ketiga merupakan tahap kekosongan dan kesantaian untuk
menikmati buah kekuasaan dengan menumpuk kekayaan. Padatahap ini menurut Ibnu
Khaldun merupakan masa dimana negara sedang berada dalam puncak perkembangan.
d)
Tahap keempat merupakan tahap ketundukan dan kemalasan. Tahap ini
ditandai dengan kepuasan raja terhadap prestasi yang telah dicapai generasi
sebelumnya. Akibatnya, negara dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun
dan seakan-akan sedang menunggu masa kehancurannya.
e)
Tahap kelima merupakan tahap pembubaran dan keruntuhan negara.
Selama tahap ini, penguasa menghambur-hamburkan uang untuk kesenangannya. Dalam
tahap ini, raja mengambil bawahan yang berwatak jahat untuk dipercaya melakukan
tugas-tugas penting. Padahal, sebenarnya mereka tidak memiliki kemampuan untuk
itu. Raja juga merobohkan dasar-dasar pemerintahan yang telah dibangun oleh
pendahulunya. Akhirnya rakyat membencinya dan banyak melakukan pemberontakan-pemberontakan.
4.
Masa Kehancuran Negara
Bagi Ibnu Khaldun, hancurnya suatu negara itu berkaitan erat dengan
sunnatullah dimana segala sesuatu di alam ini tidak ada yang kekal selain
Allah. Ia menyebutkan beberapa tanda dan ciri dari suatu negara yang mendekati
masa kehancurannya, yakni:
a) Berkurangnya
lapangan pekerjaan. Hal ini ditandai dengan terjadinya krisis ekonomi, jumlah
pekerjaan semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah
penduduk. Menurut Ibnu Khaldun, kehidupan ekonomi itu ditentukan oleh jumlah
penduduk. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin besar pula nilai ekonomi
yang ada dalam masyarakat tersebut.
b) Rendahnya
moralitas yang terdapat dalam masyarakat. Hal ini ditandai dengan bobroknya
akhlak, budi pekerti dan kesusilaan yang semakin menurun. Segala macam
perbuatan yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, sekarang telah
dilakukan secara terang-terangan.
c) Perbuatan
tercela bertebaran dimana-mana. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tindakan tercela
atau tidak bermoral disebabkan karena kurangnya perhatian orang tua terhadap
pendidikan anak-anaknya. Jika pendidikan anak tidak diperhatikan, maka mereka
akan tumbuh menjadi orang yang tidak bermoral, sebab baginya budi pekerti,
moralitas atau akhlak adalah hal-hal yang amat mendasar dalam kehidupan politik
dan kenegaraan.
Dari ketiga ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa runtuhnya suatu
negara disebabkan oleh rusaknya moral masyarakat. Sebab mendasar dari bobroknya
moral adalah jauhnya masyarakat dan rendahnya pendidikan khususnya dibidang
agama (jauh dari syariat) hingga muncul pola hidup mewah yang melampaui batas.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa, pertama, hal
paling mendasar tentang berdirinya suatu negara adalah karena adanya rasa
solidaritas dalam suatu kelompok masyarakat untuk mempertahankan hidup. Tujuan
akhir dari adanya rasa solidaritas tersebut adalah diperolehnya suatu
kedaulatan. Ashabiyah atau rasa solidaritas tersebut terdapat pada watak
manusia yag dasarnya bisa bemacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan,
tempat tinggal yang berdekatan, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara
pelindung dan yang dilindungi. Namun, menurut Ibnu Khaldun rasa solidaritas
tersebut tidak akan terbentuk tanpa adanya peran agama.
Kedua, apabila kedaulatan telah terbentuk dan muncul peradaban baru
maka suatu masyarakat akan membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengatur
segala urusan yang berkaitan dengan negara. Apabila negara telah stabil dan
keadaan ekonomi masyarakat mengalami kemajuan, maka baik pemimpin maupun
masyarakat tidak akan lagi peduli dengan rasa solidaritas yang telah mereka
bina. Perhatian mereka lebih banyak terpusat pada bagaimana cara mengikuti mode
pakaian, rumah dll yang semakin hari semakin bertambah maju. Tampak jelas bahwa
kemajuan yang dicapai di bidang materi dan kesenangan hidup harus dibayar mahal
sekali dengan kualitas hidup terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat
terpuji, seperti keberanian dan kejujuran.
Selanjutnya, jatuhnya suatu negara disebabkan karena beberapa hal,
diantaranya adalah terjadi kesewenang-wenangan dalam pemerintahan. Setiap
kritikan yang diberikan warga dianggapnya sebagai pembangkang dan merusak
kewibawaannya. Para penguasa juga tenggelam dalam kemewahan serta rasa percaya
diri bahwa negaranya telah aman dan stabil. Mereka lupa akan perjuangan yang
telah dibangun oleh para penduhulunya. Loyalitas terhadap kebenaran dan
keadilan tidak begitu kuat lagi. Kemewahan akan menyebabkan kemalasan dan
akhirnya negara tersebut akan mengalami kehancuran.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought Style.
Boston: G.K. Hall, 1981
2.
Biyanto, Teori Siklus Peradaban Perspektif Ibnu Khaldun.
Surabaya: LPAM, 2004.
3.
http://ilaelfitri-ilaelfitri.blogspot.com/2012/03/konsep-kenegaraan-perspektif-ibnu.html,
akses 2 Desember 2013
4.
Kalibi, Osman. Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara.
Jakarta: Bulan Bintang. 1962
5.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press,
1990.
6.
Thoha, Ahmadie. Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj.. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008.
7.
Zainuddin, A. Rahman. Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik
Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Komentar
Posting Komentar