Sistem Ketatanegaraan dalam islam (siyasah Syariah)
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada masa Nabi Muhammad SAW. sebenarnya
sudah ada negara dan pemerintahan Islam. Negara dan pemerintahan yang pertama
dalam sejarah itu terkenal dengan Negara Madinah. Madinah awalnya
bernama Yatsrib. Nama Yatsrib diubah menjadi Madinatun Nabi (Kota Nabi)
atau sering pula disebut Madinatul Munawarrah (Kota yang Bercahaya).
Nama ini merupakan sebuah bentuk penghormatan dari penduduk Mekah kepada Nabi
Muhammad SAW. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.
Terbentuknya Negara Madinah, akibat
dari perkembangan penganut Islam yang menjelma menjadi kelompok sosial dan
memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode Mekah dibawah pimpinan Nabi
Muhammad SAW. Pada periode Mekah pengikut beliau yag jumlahnya relatif kecil
belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai daerah kekuasaaan dan berdaulat.
Mereka merupakan golongan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak
mampu tampil menjadi kelompok sosial penekan terhadap kelompok sosial mayoritas
kota itu yang berada di bawah kekuasaan Quraisy. Tapi setelah di Madinah,
posisi Nabi Muhammad SAW. dan umatnya mengalami perubahan besar. Di kota itu,
mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan
dapat berdiri sendiri. Nabi Muhammad SAW. sendiri menjadi kepala dalam
masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu negara.
PEMBAHASAN
A.
KETATANEGARAAN
DALAM SEJARAH ISLAM
1. Praktik
Kenegaraan Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya
mengatur dimensi hubungan antara manusia dengan Khaliknya, tetapi juga antara
sesama manusia. Selama 23 tahun karir kenabian Muhammad SAW, kedua dimensi ini
berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama Muhammad SAW
menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan penekanan pada aspek
akidah dan ibadah. Namun hal ini tidak berarti bahwa aspek sosial diabaikan
sama sekali pada periode Mekah ini. Ayat- ayat al – Quran yang diturunkan pada
masa ini justru banyak berbicara tentang kecaman terhadap ketidakadilan,
praktik-praktik bisnis yang curang, penindasan oleh kelompok elit ekonomi dan
politik terhadap kelompok yang lemah dan berbagai ketimpangan sosial lainnya.
Tidak mengherankan kalau pada periode
Mekah ini pengikut Muhammad sebagian besar terdiri dari orang-orang yang
tertindas dan mengalami ketidakadilan dalam tatanan masyarakat. Mereka merasa dimuliakan
didalam islam, karena islam tidak mengenal sttratifikasi sosial yang bersifat
material dan artifisial. Semua orang sama dalam pandangan Islam. Hanya taqwa
yang membedakan kualitas mereka disisi Tuhan. Akan tetapi, karena pengikut
Muhammad masih sedikit, pesan-pesan wahyu Al- Quran belum begitu efektif berjalan
di tengah-tengah hegemoni politik dan
ekonomi kaum aristokrat Quraisy. Pengikut Muhammad yang masih minoritas belum
dapat tampil sebagai komunitas yang membongkar tatanan masyarakat Quraisy Mekah
yang timpang tersebut. Bahkan penindasan dan permusuhan yang dilancarkan kaum
kafir Quraisy terhadap Muhammad dan umat islam semakin hebat. Klimaknya adalah
peristiwa hijrahnya Muhammad bersama pengikut-pengikutny ke Madinah pada tahun
622M. Pada tahun berikutnya, dikalangan masyarakat Madinah , keberadaan Nabi
dan ajaran agama baru yang dibawanya sudah mendapat tempat dan simpati. Hal ini
dibuktikan dengan peristiwa Bai’ah al – Aqabah setahun sebalum beliau hijrah.
Dalam peristiwa tersebut, sebanyak 12 orang pendudk Yastrib ( nama kota Madinah
sebelum diganti), pada musim haji, menyatakan keislamannya. Dalam baiah
tersebut mereka menyatakan bahwa mereka hanya akan menyembah Allah,
meninggalkan segala perbuatan jahat dan
menaati Nabi Muhammad.
Pada tahun berikutnya, sebanyak 73
oranng Yastrib yang sudah memluk islam datang kembali ke Mekah mempertegas
pengakuan keislaman mereka dan pembelaan mereka kepada Nabi Muhammad
sebagaimana mereka membela istri dan ank-anak mereka sendiri. Dalam kesempatan
inilah mereka mengajak Nabi untuk berhijrah ke Mdinah. Peristiwa ini dikenal
dengan Bay’ah al- Aqabah kedua. Dua peristiwa bersejarah inilah mengubah arah
perjalanan Nabi Muhammad dan pengikutnya dari kelompok tertindas menjadi
kekuatan politik yang kokoh, solid dan disegani. Kedua peristiwa ini juga
perupakan titik awal bagi Nabi Muhammad unutk mendirikan Negara Madinah. Di
kota yang baru ini Nabi muhammad baru bisa secara efektif menerapkan dimensi
sosial ajaran islam untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini
ditopang sepenuhnya oleh dukungan penduduk Madinah sendiri terdiri dari suku
Aus dan Khazraj. Dari masyarakat ini kemudian Nabi Muhammad menciptakan suatu
kekuatan sosial politik dalam sebuah negara Madinah. Hal yang pertama dilakukan
oleh Nabi Muhammad di Madinah dalam rangka pembentukan sebuah negara adalah
membuat Piagam Madinah pada tahun Pertama Hijriyah. Piagam yang berisi 47 pasal
ini memuat peraturan – peraturan dan hubungan antara berbagai kominitas dalamm
masyarakat Madinah yang majemuk. Di negara baru ini Nabi Muhammad bertindak
sebagai Kepala Negara denngan piagam Madinah sebagai konstitusinya.
Negara madinah dapat dikatakan sebagai
negara dalam pengertian yang sesungguhnya, karena telah memenuhi syarat-syarat pokok
pendirian suatu negara : yaitu wilayah, rajyat, pemerintah dan undang-undang
dasar. Menurut Munawir Sjadzali, Piagam Madinah sebagai Konstitusi Negara Madinah
memberi landasan bagi kehidupan bernegara dalam masyarakat yang majenuk di
Madinah. Landasan tersebut adalah, pertama, semua umat islam adalah satu
kesatuan, walaupun berasal dari berbagai suku dan golongan, kedua hubungan
intern komunitas muslim dan hubungan ektern antara komunitas muslim dengan non
muslim didasarkan pada prinsip tetangga baik, saling membantu menghadapi musuh
bersama, membela orang yang teraniyaya, saling menasehati dan menghormati
kebebasan beragama. Nurcholis Madjid menegaskan bahwa konstitusi atau Piagam
Madinah memuat pokok-pokok pikiran yang mengagumkan. Dalam piagam inilah untuk
pertama kali dirumuskan ide-ide yang sekarang menjadi pendangan hidup modern di
dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mangatur hidup
sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan serta
kewajiban bela negara.
Terwujudnya Piagam Madinah merupakan
bukti sifat kenegarawanan Muhammad. Beliau tidak hanya memntingkan umat islam,
tetapi juga mengakomodasi kepentingan orang-orang Yahudi dan mempersatukan
kedua umat serumpun ini dibawah kepemimpinannya. Bagi umat islam, nabi Muhammad
berhasil menciptakan persatuan dan kesatuan serta persaudaraan dianata kaum
muhajirin dan ansar, juga antara suku-suku
di kalangan ansar sendiri. Dikalangan ansar, Nabi diakui telah merekat
kembali hubungan antar suku yang sebelumnya selau bermusuhan. Terhadap orang
yahudi, nabi membangun persahabatan dan menghormati keberadaan mereka. Karena,
bagaimanapu, kaum Yahudi adalah penduduk Madinah juga telah tinggal sejak abad
pertama dan kedua Masehi, jauh sebelum nabi berhijrah ke sini. Apalagi
masyarakat Yahudi Madinah, sebelum kedatangan Nabi, mempunyai kelebihan
ekonomi, kekuasaan politik dan intelektual. Kaum Yahudi diberi kebebasan untuk
menjalankan agama mereka. Sebaliknya mereka pun mengakui kepemimpinan Nabi
Muhammad. Hal ini tercermin dari kesediaan mereka untuk meminta putusan atas
suatu perkara kepada Nabi. Dalam sebuah kasus, para pemuka Yahudi berselisih
pendapat tentang hukuman terhadap seorang lelaki dan seooraangg wanita yang melakukan
peerziinaan. Mereka kemudian sepakat mangajukan perkara tersebut kepada Nabi
untuk menentukan putusan. Sebelum memutuskan hukuman bagi kedua pelaku
tersebut, Nabi bertanya kepada pemuka Yahudi tentang saksi hukumannya di dalam Taurat. Mereka menjawab
bahwa hukuman bagi pezina yang telah berkeluarga menurut Taurat adalah rajam.
Akhirnya Nabi pun menjatuhkan hukuman kepada pelaku sesuai dengan yang
terkandung di dalam kitab suci mereka.
Selain itu, Nabi juga pada awal
keberadaan beliau di Madinah, mempunyai seorang sekretaris yang berasal dari
golongan Yahudi. Nabi membutuhkan tenaganya karena ia menguasai bahasa Ibrani
dan Suryani. Namun setelah Yahudi Bani Nadhir diusir dari Madinah akibat
penghianatan mereka, barulah Nabi mengangkat Zaid ibn Tsabit sebagai sekretaris
beliau. Nabi khawatir kalau-kalau jabatan penting dan bersifat rahasia ini
masih dipegang orang Yahudi dapat membahayakan negara Madinah. Mungkin sekali
ia akan membocorkan sesuatu yang harus dirahasiakannya. Karena itu, beliau
menyuruh Zaid ibn Tsabit untuk mempelajari kedua bahasa tersebut.
Contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa
Nabi mempunyai hubungan yang baik dengan orang-orang Yahudi. Hubungan baik ini
dipererat lagi dengan dibuatnya Puagam Madinah. Nabi tampaknya sama sekali
tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk memusuhi atau menyingkirkan
orang-orang Yahudi. Ia dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi dan
kaum penyembah berhala. Ia mengikat perjanjian dengan mereka untuk hidup
berdampingan dan bekerja sama. Piagam Madinah mencerminkan keinginan beliau
untuk menciptakan kehidupan bersama secara damai antara seluruh warga Madinah,
sekaligus menggalang kerja sama mengghadapi pihak-pihak yang hendak menimbulkan
kekacauan dan bencana.
Namun setelah melihat pengaruh Nabi yang
begitu besar dan kedudukan umat Islam yang semakin kuat, timbul sikap keras
kepala dan pembangkangan suku-suku Yahudi., satu demi satu suku Yahudi
melakukan penghianatan terhadap isi Piagam Madinah. Mereka mengadakan
teror-teror terhadap umat Islam, bahkan berusaha membunuh Nabi Muhammad. Sebagai
contoh teror yang mereka lakukan adalah provokasi seorang Yahudi terhadap suku
Aws dan Kharaj. Ketika kedua suku ini yang telah disatukan oleh Nabi di dalam
Islam berkumpul dan bercengkerama dalam suasana akrab, tiba-tiba seorang Yahudi
datang dan membangkitkan kembali permusuhan diantara mereka. Si yahudi tersebut
membuka kembali luka lama mereka dengan mengungkit-ungkit peristiwa Perang
Bu’ats antara kedua suku tersebut. Begitu pandainya Yahudi tersebut mengadu
domba dan memprovokasi, sehingga mereka terpancing dan terlibat dalam tawuran
massal. Hampir saja terjadi korban jiwa, kalau Nabi tidak segera diberi tahu.
Setelah Nabi datang ke tempat kejadian, beliau segera mendamaikan mereka
kembali. Peria\stiwa inilah yang melatarbelakangi turunnya surat Ali Imran,
4:103.
Secara kelompok mereka juga melakukan
pelanggaran terhadap isi Piagam Madinah. Suku Yahudi yang pertama melakukakan
adalah Bani Qainuqa’. Mereka mengganggu seorang Muslimah dan membunuh seorang
muslim. Peristiwanya berawal ketika seorang muslimah madinah bermaksud hendak
menyepuh perhiasannya kepada seorang Yahudi Bani Qainuqa’ di sebuah pasar.
Ketika ia duduk sambil menunggu tukang sepuh tersebut menyelesaikan
pekerjaannya, datanglah segerombolan pemuda Yahudi dan mengerumuninya. Mereka
mengganggu dan menyuruh muslimah tersebut membuka cadar penutup mukanya. Ia
menolak dan berdiri dari duduknya. Namun ternyata tukang sepuh tersebut bersekongkol
dengan pemuda-pemuda Yahudi. Tanpa sepengatuhan muslimah tersebut si tukang
sepuh mengangkutkan ujung belakang pakaian dengan paku. Pada saat muslimah itu
berdiri, tersingkaplah pakaiaannya sehingga kelihatanlah punggungnya. Muslimah
melarang tersebut menjerit minta tolong. Melihat kejadian tersebut datanglah
seorang pemuda muslim. Ia langsung menyerang dan membunuh tukang sepuh. Namun
pemuda-pemuda Yahudi tersebut membalas mengeroyok dan membunuh pemuda muslim.
Peristiwa yang terjadi pada Syawal tahun
kedua hijrah ini merupakan bukti pelanggaran Yahudi bani Qainuna’ terhadap
Piagam Madinah, terutama apada pasal 25. Mereka telah mengganggu kebebasan
seorang untuk menjalankan agamanya. Di samping itu, mereka juga bersalah karena
telah membunuh sseorang muslim. Inilah yang menjadi casus belli ( penyebab
dibolehkannya berperang) antara umat islam dan Yahudi Qainuqa’. Artinya,
insiden tersebut merupakan “ tawaran” yahudi bani Qainuqa’ untuk berperang
melawan umat islam. Mereka bahkan mempersiapkanbenteng-benteng untuk bertahan
dari serangan umat islam dan menyusun sisat untuk memerangi umat Islam. Melihat
hal demikian, Nabi Muhammad segera memrintahkan kaum muslimin untuk menyerang
mereka. Selama lima belas hari mereka diblokir hingga akhirnya menyerah. Mereka
pun diusir dari Madinah dan pergi ke Syria.
Setelah kasus tersebut, yahudi bani
nadir juga melakukan hal yang serupa. Bahkan mereka berusaha membunuh Nabi
dengan menimpakan abtu besar ke arah Nbai. Namun Nabi segera menghindar setelah
mendapat informasi dari Malaikat Jibril, sehingga beliau berhasil lolos dari
maut. Kasus ini dapat dikatakan sebagai makar, karena mereka melakukan
percobaan membunuh kepala negara. Sebagai hukuman, beliau juga mengusir merela.
Ketika bersiap-siap hendak meninggalkan Madinah, tiba-tiba Abdullah ibn Ubay,
tokoh munafik yang menjadi duri dalam daging mem[engaruhi mereka membatalkan
niat tersebut dan mengajak mereka memerangi kaum muslimah. Akhirnya mereka juga
dikepung dan dipaksa keluar dari Madinah tanpa diperbolehkan membawa senjata.
Kelompok Yahudi yang terkhir melakukan
pengkhianatan terhadap Piagam Madinah adalah Bani Quraizah. Mereka melakukan
konspirasi dan bekerja sama dengan pasukan sekutu ( azhab) yang menyerang
Madinah pada tahun 5 H. untuk mempertahankan kota Madinah, Salman al Farisi
mengusulkan kepada Nabi agar menggali parit-parit di sekitar Madinah. Strategi
ini berhasil membendung musuh memasuki Madinah. Celakanya, dalam kondisi
demikian Yahudi Bani Quraizah yang di pimpin oleh Ka’b ibn Asad mendukunga
pasukan musuh. Akhirnya, setelah tentara suku bubar tanpa membawa hasil, Nabi
menunjuk Ali ibn Abi Thalib untuk memimpin pasukan mengepung perkampungan
mereka. Hampir sebulan mereka diblokir dan diisolir, sehingga akhirnya
menyerah. Sebagai hukuman , mereka meminta kepada Nabi supaya Sa’d ibn Mu’az,
seorang kepala suku Aws yang pernah menjadi sekutu mereka, yang memutuskannya.
Mereka berharap Sa’d “ berbaik hati” meringankan hukuman atas mereka. Namun,
setelah mempertimbangkan besarnya bahaya pengkhianatan mereka pada saat-saat
yang genting, Sa’d memutuskan hukuman mati atas mereka dan menyita harta serta
menawan keluarga mereka.
Dalam kasus terakhir ini, Yahudi Bani
Quraizah jelas sekali melanggar Piagam Madinah, terutama pasal 37 yang
menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Umat Islam harus bahu membahu
menghadapi musuh dari luar. Alih-alih bersatu melawan musuh, mereka malah
bekerja sama dengan musuh untuk menghancurkan Umat Islam. Mereka bahkan menikam
dari belakang. Karena itu, hukuman yang diputuskan oleh Sa’d ibn Mu’az di atas
adalah setimpal dengan besarnya pengkhianatan mereka terhadap umat Islam. Setelah
pengkhianatan Bani Quraizah tersebut, praktis kekuatan Yahudi hancur, meskipun
masih ada beberapa suku Yahudi lainnya yang masih setia pada Piagam Madinah.
Terhadap mereka, Nabi memperlakukan dengan baik. Dalam suasana yang lebih
tenang, Nabi menjalankan roda pemerintahan sebagai kepala negara dalam arti
yang sesungguhnya. Beliau, dibantu oleh para sahabat, menerapkan politik dalam
dan luar negeri. Pertanyaan yang menarik untuk diketengahkan dalam konteks
Negara Madinah adalah bagaimana sistem politik dan pemerintahan yang dijalankan
oleh Nabi Muhammad.
Dilihat dari sumber kekuasaan negara,
Allah menegaskan bahwa kekuasaan mutlak berada ditanganNya (Ali Imran 4:19) .
Namun ditinjau dari bagaimana Nabi Muhammad memperoleh kekuasaan atas
masyarakat Madinah, adalah berdasarkan perjanjiannya dengan penduduk Madinah,
perjanjian yang dikenal dengan bai’ah al – aqabah, sebagaimana diuraikan
sebelumnya , dalam kacamata teori politik modern disejajarkan dengan teori
kontrak sosial, tentunya dalam batas-batasan yang agak longgar. Menurut teori
ini , masyarakat atau rakyat sepakat untuk memberikan sebagian haknya kepada
pihak lain( pemimpin) untuk diperintah dan diatur kehidupannya agar terjamin
kebebasannya. Sebagai kompensasi, pihak pemimpin harus dapat melaksanakan
kewajibannya melindungi dan mengayomi masyarakat/ rakyat.
Dalam konteks bai’ah al-aqabah, penduduk
Madinah datang kepada Nabi dan “ menyerah” sebagaian haknya kepada beliau, baik
mereka akan mematuhi apa saja yang ditettapkan Nabi untuk mereka. Sebaliknya,
Nabi selaku penerima kekuasaan, akan melindungi mereka, memnuhi kebutuhan
merekadan membawa merekka ke dalam kesejahteraan. Dalam perjanjian ini ada hak
dan kewajiban secara berimbang antara kedua belah pihak. Berdasarkan perjajian
inilah Nabi menjalankan perannya sebagai kepala Negara Madinah. Dalam
praktiknya, Nabi Muhammad menjalankan pemerintahan yang tidak terpusat di
tangan beliau. Untuk mengambil satu keputusan politik, misalnya, dalam beberapa
kasus Nbai melakukan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat. Ada empat cara
yang ditempuh Nabi dalam mengambil keputusan politik. Pertama, mengadakan
musyawarah dengan sahabat senior; kedua,
meminta pertimbangan kalangan profesional;; ketiga, melemparkan masalah –
masalah tertentuyang biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam forumang
lebih besar; keempat, mencari keputusan sendiri.
Pada
bentuk pertama dapat dicatat dalam musyawarah Nai dengan sahabat senior tentang
tawanan Perang Badar. Abu Bakar meminta agar tawanantersebut dibebaskan dengan
syarat meminta tebusan dari mereka. Sedangkan ‘Umar menyarankan supaya mereka
dibunuh saja. Semula Nabi menerima saran Abu Bakar dan banyak di antara tawanan
perang tersebut yang dibebaskan. Namun keesokan harinya Allah menurunkan ayat
al-Quran surat Al- Anfal, 8:67-69, yang mengoreksi keputusan nabi dan Abu Bakar
serta membenarkan pendapat Umar. Nabi dan Abu Bakar menangis menyesali
keputusan mereka sebelumnya. Bahkan Nabi menyatakan bahwa kalaulah datang azab
Allah ketika itu, hanya Umarlah yang selamat. (H.R Muslim)
Dalam bentuk kedua , Nabi menerima usulan
Salman Al Farizi untuk membuat benteng pertahanan dalam perang ahzab
mengahadapi tentara quraizy dan sekutu—sekutunya dengan menggali parit-parit di
sekitar Madinah. Strategi ini ternyata berhasil menghadang tentara sekutu
memasuki Madinah. Akhirnya mereka tanpa membawa hasil apapun. Sedangkan contoh
ketiga dapat dilihat dalam musyawarah nabi dengan sahabat dalam rangka kaum
Quraizy Mekkah di perang Uhud. Nabi membicarakan strategi perang yang tepat
dalam menghadapi musuh, Nabi sendiri menawarkan supaya kaum muslimin bertahan
saja didalam kota menanti kedatangan musuh. Namun sebagian besar sahabat
mengusulkan supaya pasukan Islam menyingsong mereka keluar Madinah. Pertimbangannya
adalah supaya anak-anak dan kaum wanita daopat terlindungi dari perang.
Akhirnya Nabi menerima usulan mayoritas sahabat dan menghadang tentara musuh di bukit Uhud.
Sementara contoh keempat adalah
keputusan Nabi dalam menghadapi delegasi Quraizy ketika ratifikasi perjanjian
Hudaibiyah. Dalam masalah ini, Nabi mengesampingkan keberatan-keberatan para
sahabt , terutama Umar, baik dalam penyusunan naskah perjanjian maupun isi
perjanjian itu sendiri yang terkesan merugikan pihak Islam. Ketika penyususnan
naskah , Nabi selalu mengalah dan memperturutkan kemauan suhail Ibn ;Amr,
delegasi Quraizy mekah, Suhail tidak setuju ketika Nabi akan memulai penulisan
naskah dengan lafaz Bismmillahirrohmanirrohim. Suhail minta supaya kalimat
tersebut diganti dengan Bismikallahumma. Suhail tidak kenal dengan al – Rahman
dan al-Rahim. Nabi memenuhi keberatan Suhail dan menuyuruh AliIbn Abi Thalib
untuk menuliskannya.ketika hendak mendiktekan lafaz perjanjian “ini adalah
perjanjian antara Muhammad Rasulullah dan Suhail ibn Amr” kepada Ali, lagi-lagi
Suhail keberatan dan supaya kata-kata “Muhammad Rasulullah” digantikan dengan “Muhammad ibn ‘Abdullah”. Menurut Suhail, kalau ia mengakui Muhammad sebagai Rasul Allah, tentu ia tidak
memerangi Muhammad. Nabi juga tidak keberatan dengan “interupsi” Suhail dan
kembali memerintahkan Ali untuk menuliskannya sesuai dengan keinginan Suhail.
Para sahabat sebenarnya sudah marah melihat ulah Suhail tersebut. Bahkan Umar menyampaikan
:kekecewaannya” kepada Abu Bakr. Umar keberatan, mengapa umat islam mau
direndahkan dalam persoalan perjanjian Hudaibiyah ini? Namun Abu Bakr
menenangkan Umar dengan menyatakan kesaksiannya bahwa Muhammad adalah Rasul
Allah. Karena kurang puas atas sikap Abu Bakr, Umar mempertanyakan hal ini
langsung kepada Nabi. Nabi hanya menjawab
انا
عبد ا للة و ر سو له لن ا خا لف ا مر ه و لن يضيعني
Saya
adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya takkan melanggar perintahNya, dan Ia
takkan mungkin akan menyesatkan saya.
Sedangkan mengenai isi perjanjian yang
dianggap merugikan kaum muslimin, terutama terlihat pada pasal 2 yang
menyebutkan bahwa jika orang Mekkah melarikan diri ke Madinah tanpa seizin
pemimpinnya, Muhammad harus mengembalikannya. Sebaliknya, bila orang Madinah ke
Mekkah, tidak ada kewajiban orang-orang Mekkah untuk mengembalikannya kepada
Muhammad. Hal ini sebenarnya sangat mengecewakan para sahabat. Namun karena
Nabi telah menegaskan bahwa ia adalah Rasul Allah, sebagaimana disampaikannya
kepada Umar, maka tidak seorangpun diantara mereka yang membantahnya. Dalam
menjalankan roda pemerintahan Negara Madinah, nampaknya Muhammad tidak
memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di bawah
naungan wahyu al- Quran, Muhammad menjalankan kekuasaan legislatif. Beliau
menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah tersebut kepada masyarakat Madinah.
Untuk permasalahan yang tidak diatur
secara tegas oleh Al-Quran , Muhammad sendiri yang mengaturnya. Muhammad
menentukan sendiri hukum terhadap permasalahan yang tidak dijelaskan oleh
Al-Quran.
Untuk politik dalam negeri, dapat
dilihat kebijaksanaan beliau seperti menciptkan persatuan dan kesatuan diantara
komponen masyarakat Negara Madinah. Beliau berhasil meredam konflik-konflik
antara naggota masyarakat dan menjadikannya sebagai dinamika. Nabi Muhammad
menciptakan sistem muakhah (persaudaraan) antara muhajiriin dan anshar. Setiap
muhajirin memiliki seorang saudara dari golongan anshar. Dalam sistem ini,
anntara muhajirin dan anshar yang dipersaudarakan tersebut saling membantu
saling menasihati. Bahkan pada awalnya juga terdapat hubungan kewarisan
berdasarkan mu’akhah ini, sebelum akhirnya peraturan tersebbut dibatalkan.
Beliau juga bertindak sebagai hakim terhadap perkara-perkara yang terjadi
antara anggota masyarakat. Untuk mengadili pelanggaran ketertiban umum, Nabi
membentuk lembaga hisbah. Bahkan tidak jarang Nabi sendiri mengadakan inspeksi
langsung ketempat-tempat strategis. Sebagai cintiih, beliau pernah melakukan
sidak (inspekssi mendadak) ke suatu pasar di Madinah. Dalam Inspeksi ini,
belaiau mendapatkan seorang pedagang yang menyembunyikan makanan yang basah
karena hujan dan mencampurnya dengan makanan kering diatasnya. Beliau melarang
praktik bisnis curang yang merugikan konsumen tersebut. Untuk pemerintahan di
daerah, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai gubernur atau hakim. Terhadap
peperangan yang tidak beliau pimpin langsung beliau mengangkat seseorang
sebagai penglima (komandan). Sementara untuk memperlancar tugas-tugas
kenegaraan, nabi Muhammad dibantu oleh beberapa orang sekretaris. Diantara
mereka yang terkenal ialah Zaid ibn Tsabit dan Ali ibn Abi Thalib. Mereka juga
bertindak sebagai penulis wahyu al-Quran.
Dalam hubungan internasional, kebijakan
politik yang ditempuh Muhammad adalah menjalin hubungan diplomatik dengan
negara-negara sahabat. Muhammad juga mengangkat duta-duta ke negara-negara
sanabat. Tercatat dalam sejarah bahwa pada tahun kedua hijrah Muhammad
mengangkat Amr ibn Umaysh al-Damari sebagai Duta Islam ke Abbesinia. Ketika
itu., Umaysh masih belum masuk Islam. Disamping itu Muhammad juga menerima duta
negara lain dan memperlakukannya dengan baik. Hal ini diperlihatkannya ketika
menerima wahsyi sebagai duta Quraisy Mekkah untuk perundingan Hudaibiyah.
Meskipun Wahsyi telah membunuh secara keji paman beliau, Hmazah, pada Perang
Uhud, Muhammad nmemperlakukannya dengan hormat sebagai diplomat yang memiliki
kekebalan diplomatik. Kebijaksanaan – kebijaksanaan yang dilakukan Nabi ini menegaskan kepada kita bahwa belaiu telah
menjalankan perannya sebagai kepala negara. Semua yang dilakukan ini merupakan
tugas-tugas seorang sebagai kepala negara dalam pengertian modern. Karena itu,
sulit sekali kita menerima pandangan Ali abd al-Raziq bahwa Nabi Muhammad hanya
ditugaskan untuk menjalankan misinya sebagai Rasul, tidak sebagai pemimpin
negara. Nabi menurutnya hanya menyampaikan agama tanpa mempunyai kecenderungan
untuk membentuk pemerintahan atau kekuasaan. Nabi Muhammad tidak pernah
memerintah dengan mengatasnamakan pemerintahan tertentu. Pendapat Ali Abd
al-Raziq diatas ditolak tidak hanya kalangan islam, tetapi juga oleh orientalis
Barat. W. Montgomery Watt, misalnya, menulis sebuah buku khusus yang mengkaji
sosok Muhammad sebagai Nabi dan negarawan berjudul Muhammad Prophet and
Statesman. Dalam buku ini Watt menegaskan bahwa masyarakat Madinah yang
dibentuk Nabi Muhammd adalah masyarakat agama dan politik. Disamping sebagai
Rasul, Muhammad juga sebagai negarawan. Sementara Philip K. Hitti menyatakan
bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi bukan berdasarkan ikatan primordial
kedaerahan dan kesukuan, sebagaimana terjadi selama ini dalam masyarakat Arab
pra-Islam, melainkan ikatan keagamaan. Muhammad, disamping mempunyai tugas
spiritual sebagai Rasul, juga memiliki kekuasaan politik sebagai kepala
pemerintahan.
Dari penjelasan diatas tentang praktik
kenegaraan yang dimainkan oleh Muhammad dalam Negara Madinah, dpat dikatakan
sebagai negara negara teokrasi. Dalam negara ini, syari’at memegang peranan
sentral dan menjadi dasar kebijakan politik Muhammad. Sedangkan bila ditinjau
dari sudut pelaksanaan kekuasaan, sistem pemerintahan Muhammad dapat dikatakan
demokratis. Karena Muhammad mengadakan pendelegasian dan pembagian kekuasaan
kepada para sahabat. Dalam kasus-kasus tertentu bahkan Muhammad melibatkan para
sahabat untuk memustuskan kebijaksanaan politik. Sedangkan ditinjau dari sudut
kepada siapa dan bagaimana cara Muhammad selaku pemegang kekuasaan bertanggung
jawab atas kekuasaannya, dapat dikatakan bahwa Muhammad tidak bertanggung jawab
kepada rakyat. Kepemimpinan Muhammad adalah unik. Sebagai rasul Allah, beliau bertugas
menyampaikan pesan-pesan wakyu al-Quran. Sebagai realisasi dari dakwahnya
ini,beliau akhirnya mendapat kepercayaan untuk memimpin umat di Madinah dan
menbdirikan Negara Madinah. Jadi kepemimpinan Muhammd sebagai kepala negara
Madinah menyatu dengan tugas-tugas kerasulannya. Karena itu beliau hanya
bertannggung jawab sepenuhnya kepada Allah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sosok kepemimpinan Nabi Muhammad dalam kapasitasnya
sebagai pemimpin masyarakat, pemimpin politik dan pemimpin militer. Praktek pemerintahan
yang dilakukan Nabi Muhammad SAW sebagai Kepala Negara lainnya tampak pula pada
pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam
Madinah belaiu diakui sebagai pemimpin yang tertinggi, yang berarti pemegang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tapi walaupun pada masa itu
orang belum mengenal teori pemisahan atau pembagian kekuasaan, namun dalam
prakteknya beliau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada
para sahabat yang dianggap cakap dan mampu. Aktifitas
beliau tidak hanya menonjol di bidang risalah kenabian (dalam kapasitasnya
sebagai Nabi dan Rasul) untuk mengajarkan wahyu yang diterimanya dari Allah SWT
kepada manusia.
Tetapi
juga menonjol di bidang keduniaan untuk membangun kebutuhan spiritual dan
kebutuhan material masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis, penganut agama
dan keyakinan yang berada di bawah kepemimpinannya. Artinya Nabi Muhammad
SAW. telah menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang berhasil melaksanakan
prinsip keseimbangan antara kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat bagi
umatnya. Terlaksananya prinsip keseimbangan ini karena beliau menerapkan secara
konsisten prinsip musyawarah, prinsip kebebasan berpendapat, prinsip kebebasan
bergama, prinsip persamaan bagi semua lapisan sosial, prinsip keadilan sosial
dan kesejahteraan sosial rakyat baik kesejahteraan materilnya maupun
kesejahteraan spiritualnya, prinsip persatuan dan persaudaraan, prinsip amar
makruf dan nahi munkar, dan prinsip ketakwaan.Nabi Muhammad
SAW. merupakan teladan yang luar biasa. Di samping sebagai pemimpin agama, juga
seorang negarawan, pemimpin politik, dan administrasi yang cakap. Sudah
sepantasnya kita sebagai generasi muda meneladani sikap beliau. Agar bangsa dan
pemerintahan kita ke depannya lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Pulungan
, Suyuti, Fiqh Siyasah Ajaran dan Pemikiran, PT. Raja Grafindo Persada :
Jakarta 2002
Djazuli
H.A, Fiqh siyasah Implentasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, Prenada
Media : Jakarta
Pulungan
, Suyuti, Fiqh Siyasah Ajaran dan Pemikiran, PT. Raja Grafindo Persada :
Jakarta 1999
Komentar
Posting Komentar