Sejarah Pemerintahan Bani Umayyah serta penyebab keruntuhannya (Siyasah Syariah)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistim pemerintahan seringkali erat
kaitanya dengan politik untuk mempertahankan eksistensi golonganya. Hal seperti
inipun terjadi pada masa Bani Ummaiyah yang dikenal sebagai administator yang
ulung dan handal, namun mereka juga menggunakan kelicikan dalam memperoleh
kekuasaannya tersebut. Karena sistim pemerintahan yang turun-temurun yang
digunakan justru menjadi bumerang bagi pemerintahan yang dipimpin Bani
Ummaiyah. Sehingga sanggat penting bagi kita untuk mempelajari bagaimana
pemerintahan dan politik yang digunakan oleh Bani Ummaiyah,
PEMBAHASAN
A. Dinasti Umaiyyah
Dinasti Umayyah
didirikan oleh Muawiyah bin Abu
Sufyan bin Harb. Muawiyah disamping sebagai pendiri daulah bani Ummayyah juga
sakaligus sebagai Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota pemerintahan dari
Kuffah ke Damaskus. Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan
Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi
Monarchi heridetas (kerajaan turun
temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan
tipudaya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Ia bahkan mengangkat
putranya, Yazid, menjadi putra Mahkota untuk menggantikanya sebagai Khalifah
sepeningalannya nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlangsung secara
turun-temurun yang diikuti pleh para pengganti Muawiyah. Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi di zaman Khulafa al-Rasyidin
dimana Khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu
Muawiyah telah melanggar asas musyawarah yang diperintahkan oleh
Al-Qur’an agar segala urusan diputuskan melalui musyawarah.
Raja-Raja Daulah/Kerajaan Bani Ummayyah
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang
lebih 90 tahun, dengan 14 orang Khalifah:
1. Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan 661-681
M
2. Yazid ibn Mu’awiyah 681-683 M
3. Mua’wiyah ibnu Yazid 683-684
M
4. Marwan ibnu Hakam 684-685 M
5. Abdul Malik ibn Marwan 685-705
M
6. Al-Walid ibnu Abdul Malik 705-715
M
7. Sulaiman ibnu Abdul Malik 715-717
M
8. Umar ibnu Abdul Aziz 717-720
M
9. Yazid ibnu Abdul
Malik 720-724
M
10. Hisyam ibnu Abdul Malik 724-734
M
11. Walid ibn Yazid 734-744
M
12. Yazid ibn Walid 744
M
13. Ibrahim ibn Malik 744
M
14. Marwan ibn Muhammad 745-750
M
Dan para sejarawan mencatat bahwa para
Khalifah terbesar dari daulah Bani Umayyah ialah:
-Muawiyah
bin Abi Sufyan (661-681 M)
-Abdul
Malik bin Marwan (685-705
M)
-Walid
bin Abdul Malik (705-715
M)
-Umar bin Abdul
Aziz (717-720 M)
-Hisyam
bin Abdul Malik (724-743
M)
B. Pemerintahan Dinasti
Ummayah (41-132 H)
Periode Negara Madinah berakhir dengan
wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh yang selanjutnya naik ke panggung
politik dan pemerintahan adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur wilayah Syam
sejak zaman Khalifah Umar. Ia adalah pendiri dan Khalifah Pertama Dinasti ini.
Dinasti ini dan Muawiyah memangku
jabatan Khalifah secara resmi, menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun
661M/41H. Setelah pihaknya dinyatakan
oleh Majelis Tahkim sebagai pemenang, Ummayah memproklamirkan diri menjadi Khalifah di Iliya (Palestina).
Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut setia
Ali menjadi Khalifah, sebagai pengganti
Ali
Muawiyah
dikenal sebagai administator yang ulung dan politikus yang cerdik,
Muawiyah memainkan peranannya memimpin dunia Islam yang luas tersebut. Ia
merangkul kembali tokoh-tokoh yang pernah dipecat oleh Ali. Sebelumnya , ia telah merangkul Amr ibn
al-Ash sebagai mediatornya dalam tahkim dengan Ali. Ini merupakan salah satu
keliahian Muawiyah. Padahal , ketika Usman ibn
Affan berkuasa Amr pernah diptecat
dari gubernur di Mesir. Muawiyah tampaknya tidak ingin mengulangi
kecerobohan Usman dan mengangkat Amr kembali menjadi gubernur Mesir. Amr adalah
diplomat ulung yang tenaga dan pikiranya sangat dibutuhkan oleh Muawiyah dalam
menjalankan pemerintahannya. Selain itu, Al-Mughirah ibn Syubah diangkat
menjadi gubernur Khufah dengan tugas khusus menumpas perlawanan pendukung Ali
yang masih setia. Ziyad ibn Abihi yang semula mendukung Ali pun dirangkulnya
dengan cara mengangkatnya sebagai gubernur Bashrah. Ziyad bertugas mengamankan
Persia bagian selatan dari rongrongan oposisi.
Setelah merasa aman, mulailah muawiyah
membenahi negara dan melakukan kebijakan politik. Kebijakan politik yang
dilakukan muawiyah adalah memindahkan ibu koya negara ke Damaskus. Kota ini adalah
kampung halaman kedua baginya dan merupakan basis Muawiyah dalam memperoleh
dukungan rakyat, selain jauh dari pusat oposisi di Kufah, Damaskus terletak
diantara daerah-daerah kekuasaan Bani Umayah. Ini merupakan pilihan yang tepat
bagi Muawiyah untuk mengamankan kedudukannya dan menjalankan roda pemerintahan.
Perubahan lain yang dilakukan Muawiyah
adalah menggantikan sistim pemerintahan yang bercorak syura dengan pemilihan
kepala negara secara penunjukan. Berbeda dengan empat Khalifah sebelumnya,
Muawiyah tidak menyerahkan masalah ini kepada umat Islam, tetapi menunjuk
putranya sendiri, yazid menjadi penggantinya. Ini mengawali lahirnya corak
monarkhi dalam pemerintahan Islam yang berlangsung bahkan hingga awal abad
ke-20 M. Di samping wujud ambisinya
untuk memperkuat posisi Bani Umaiyah, Muawiyah agaknya
ingin meniru corak kerajaan yang
berkembang di Persia dan Romawi. Ini wajar, karena selama menguasai Syam,
Muawiyah banyak melihat dan berinteraksi dengan pola hidup dan kebudayaan
penduduk setempat yang bercorak Romawi dan Persia. Muawiyah sendiri
terpengaruh pada gaya hidup dan
kebesaran mereka, sehingga ketika masih menjadi gubernur, Umar pernah
menegurnya. Muawiyah berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahanyang
kokoh dan dilanjutkan oleh
pengganti-penggantinya.
Dalam perluasan wilayah, Muawiyah dan
dinasti Bani Umaiyah umumnya, melakukan berbagai penaklukan. Setidaknya,
ekspansi dinasti ini meliputi tiga front, yaitu front pertempuran menghadapi
bangsa Romawi di Asia Kecil, Konstantinopel
dan pulau-pulau di Laut Tengah. Front Afrika Utara dari Selat Gibraltar
hingga Spanyol dan front timur hingga
Sindus, India. Hingga akhir Bani Umayah
pada 750 M. Kekuasaan Islam sudah
mencapai Lautan Atlantik di Barat dan Lembah Indus di Timur.
Selain perluasan, Bani Umaiyah juga melakukan
berbagai penyempurnaan di bidang administrasi negara (birokrasi), perekonomian
dan kesejahteraan rakyat. Dalam bidang administrasi negara untuk pertama
kalinya Mu’awiyah “memperkenalkan” pengawal-
pribadi
(hajib) dalam sistem pemerintahan. Para pengawal
inilah yang menjalankan tugas-tugas protokoler
Khalifah dalam menentukan dan
menerima siapa yang berhak bertemu dengan Khalifahh. Selain pengalaman
tragedi Ali yang
tewas terbunuh, Muawiyah juga
mendapat inspirasi pelembagaan hajib ini dari pengaruh Syam dan Persia.
Muawiyah tidak ingin tragedi yang menimpa Ali terjadi pada dirinya. Ia sadar
bahwa orang-orang yang tidak senang kepadanya,terutama kelompok Syiah, selalu
berusaha mencelakakan dirinya.
Hasan Ibrahim Hasan menceritakan
bagaimana khawatirnya Muawiyah atas keselamatan dirinya, sehingga menggunakan bodyguard. Ia menyediakan tempat khusus
di dalam masjid dan tempat itu tidak boleh “diusik” oleh barang lain dan ia
salat sendiri disitu terpisah dari manusia lainnya. Bila ia sujud, maka
pengawalnya siap berdiri di dekat kepalanya melindunginyadengan pedang
terhunus.[1]
Itulah sebabnya ia menggunakan penggawal dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam perkembangannya para hajib ini
memiliki kekuasaaan yang luas, karena merekalah yang mengatur pertemuaan
pejabat-pejabat negara lainnya, delegasi negara sahabat maupun anggota masyarakat dengan Khalifah.
Struktur pemerintaahan pusat terdiri
dari lima departemen, yaitu:
-Diwan
al-jund (militer)
-Diwan al-Kharaj (perpajakan
dan keuangan)
-Diwan
al-Rasail (surat-menyurat)
-Diwan
al-Khatam (arsip dan dokumentasi negara) dan
-Diwan
al-Barid (layanan pos dan
registrasi penduduk).
Beberapa departemen ini memang telah adaa pada
zaman Umar, sedangkan sebagian lain
merupakan kebijaksanaan Khalifah berdasarkan tuntutan perkembangan yang terjadi. Muawiyah-lah
Khalifah yang pertama membentuk dewan-dewan tersebut. Masing masing departemen
(dewan) dipimpin oleh seorang katib (sekretaris). Pada awal
pemerintahanya Bani Umayah mengunakan bahasa dari masing-masing untuk
administrasi negara, sebagaimanaa sebelum daerah-daerah tersebut dithaklukkan.
Di Mesir
bahasa yang digunakaan adalah bahasa Kopti, di Syam bahasa Romawi
dan di Irak bahasa Persia. Bahkan
Muawiyah sendiri mengangkat orang non-Arab bernama Sergon Ibn Mansur dan
anaknya sebagai pegawai lembaga keuangan setelah Abdul Malik Ibn Marwan
memerintah, dilakukanlah Arabisasi. Bahasa Arab menggantikan bahasa-bahasa
tersebut dalam administrasi negara. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut,
bahasa Arabpun menempati kedudukan yang lebih tinggi dari non-Arab.
Kebijaksanaan ini diikuti oleh pengganti-pengganti berikutnya. Pengutamaan
golongan Arab inilah yang kemudian merupakan ciri khas bani Umayah dan akhirnya
menjadi pemicu ketidak puasan dikalangan
warga non-Arab, meskipun mereka telah
masuk Islam.
Dalam pemerintahan daerah, wilayah
kekuasaan Bani Umayah dibagi menjadi lima
profinsi besar, yaitu :
1)
Hijaz,
Yaman dan Arabia
2)
Mesirbagian
utara dan selatan,
3)
Irak
dan Persia
4)
Mesopotamia, Armeniadan Azarbaijan dan
5)
Afrika
Utara, Spanyol, Prancis bagian Selatan, Sisilia dan Sardinia.
Tiap-tiap
profinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang bertugas menjalankan administrasi
politik dan militer untuk wilayah masing-masing. Mereka langsung
diangkat oleh Khalifah dan bertanggung jawab kepadnya. Karenanya, sifat
pemerintahan Bani Umayah adalah sentralistik. Kepala daerah hanya melaksanakan
kebijaksanaan yang digariskan dari pusat
untuk membantu kelancaran tugasnya, gubernur-gubernur ini dibantu oleh seorang atau beberapa orang sekertaris
(khatib), pengawal (hajib) dan pejabat
penting (shib) seperti pejabat pajak dan kepolisian.
Selain eksekutif, Khalifah juga
mengangkat hakim untuk daerah. Mereka
memiliki kekuasaan yang independent damn tidak bisa di intervensi oleh
Khalifah. Para hakim ini menangani dann memutuskan perkara yang terjadi dalam
masyarakat, baik yang berhubungan dengan pelanggaran ringan (hisbah) seperti kecurangan dalam perdagangan dan
penipuan dipasar, maupun perkara yang
berhubungan dengan al-ahwal al-syakhsiyah (hukum perdata) dan yang berat seperti jarimah yang ditangani oleh qadha’ . sedangkan untuk pengadilan
tingkat tinggi ditangani oleh lembaga wilayah al-mazhalim yang sejak masa
Khalifah Abdul Malik (685-705M) untuk pusat dipegang langsung oleh Khalifah.
Dalam penanganan ini, Khalifah
menyediakan waktu yang khusus untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Sedangkan untuk daerah,
jabatan ini dipegang oleh qadhi al-
mazhalim. Wilayah al-mazhalim ini
juga menangani tindakan pejabat-pejabat negara yang berbuat sewenang-wenang terhadab rakyat.
Dalam beberapa hal , wilayah al-mazhali
ini dapat disejjajarkan dengan peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sistem
peradilan Indonesia.
Jabatan akim dipegang oleh
ahli-ahli Fiqh mujtahid. Mereka
memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Karenanya, kekusaan
kehakiman ini mutlak dan bebas dari pengaruh pihak lain, termasuk Khalifah
sekalipun. Dalam hal ini,Khalifah hanya mengawasi dan mengontrol pekerjaan
hakim. Jika terdapat hakim melangar dan menyimpang dari tugasnya maka Khalifah
segera memecatnya. Keputusn hakimpun mengikat dan wajib dipatuhi oleh
pejabat-pejabat lain seperti para pegawai perpajakan. Satu perkembangan baru
dalam dinasti Umayah sejak zaman Muawiyah telah diadakan registrasi putusan
hakim.
Hal ini pertama kali dilakukan oleh
Salim Ibn Anas, hakim Mesir yang menangani perkara warisan. Setelah memutuskan
perkara tersebut, tidak berapa lama kemudian kedua pihak yang berperkara berselisih
dan meminta putusan kembali darinya. Melihat kasus ini maka Salim memandang
perlu dilakukan pencatatan atau pembukuan putusan hakim agar dapat dijadikan
pedoman dan putusan yang diambil tidak tumpang tindih. Dalam hal ini
pemerintahan Bani Umayah tetap mempertahankan tradisi al-Khulafa’ al-Rasyidun
yang memisahkan antra jabatan eksekutif dan yudikatif.
Dalam perekonomian dan peningkatan
kesejahteraan rakyat pemerintahan Bani Umaiyah
juga mencatat perkembagan yang pesat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik
Ibn Marwan (65-86H), alat tukar mata uang Bizantium dan Persia yang berlaku
sebelumnya diganti dengan mata uang
Bizantium yang dicetak sendiri
dan memakai bahasa Arab. Pada masa pengantinya,
Al-Walid Ibn Abdul Malik (86-96H), Daulat Umaiyah mengalami puncak
kemakmuran. Ia memberi jaminan hidup untuk anak yatim, orang cacat dan
menyediakan pendidikan untuk mereka.
Hal penting yang menunjang pendapatan negara pada masa Bani Umaiyah antara lain adalah
zakat dari umat Islam, rampasan perang (ghanimah), pajak atas tanah warga
non-muslim (kharaj), pajak perdagangan (‘usyr) dan pajak kepala warga
non-muslim (jizyah). Sumber keuangan ini dimanfaatkan untuk menjalankan roda pemerintahan dan
kesejahteraan masyarakat. Dari hasil
pendapatan inilah Muawiyah membangaun armada angkatan lautnya yang tanguh dan
membangun pelabuhan, perdagangan, Damaskus yang sebelumnya sudah mati
akibat peperangan antara Bizantium dan
Persia. Untuk
kesejahteraan penduduk Muawiyah memberi tunjangn yang besarnya disesuaikan
menurut jasa dan keutamaan mereka.
C.
Faktor-faktor
kehancuran Bani Ummaiyah
Setelah berjaya selama seratur tahun,
akhirnya pada Tahun 750M dinasti bani
Umaiyah hancur dan digantikan oleh Bani
Abbas. Untuk melihat faktor-faktor kehancuranya, perlu kiranya diperhatikan
latar belakang internal dan eksternal
dalam kerajaan ini. Ada beberapa hal
yang perlu dicatat dalam faktor
internal, yaitu:
pertama,
sejak semula dulat bani Umaiyah sudah menetapakan sebagai negara sekuler. Khalifah hanya memegang kekuasaan
politik dan tidak memegang kekuasaan Agama. Karenanya , perhatian Bani Umaiyah
terhadab perkembangan keagaman lebih
kecil dibandingkan dengan perluasan daerah kekuasaan. Ini mengakibatkan rasa tidak senang
dikalangan masyarakat.
Kedua, sistem suksesi berdasarkan
warisan. Sejak awal Muawiyah telah “membunuh” tradisi syura yang dilakukan
empat Khalifah sebelumnya dalam memecahkan persoalan kenegaraan. Dengan sistem
suksesi berdasarkan warisan, tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk menilai
kualifikasi pemimpin mereka, karena mereka harus menerima saja pemimpin mereka
dari keluargan Bani Umaiyah sendiri. Di sisi lain sistem ini ternyata
menghasilkan intrik-intrik istana yang berujung pada pembunuhan. Bahkan
Khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz sendiri, Khalifah yang memimpin dengan sangat adil dan bijaksana,
tewas diracun oleh keluarganya. Mereka merasa tidak senang dengan
kepemimpinannya. Diistana sendiri, para Khalifah pada umumnya hidup dalam
kemewahan dan melampaui batas. Kekayaan negara yang berlimpah membuat mereka
lupa diri dan tidak memperhatikan tugas-tugas kenegaraan.
Ketiga,
politik diskriminatif kerajaan terhadap non-Arab (mawali) mereka diperlakukan
sebagai kelompok inverior dalam masyarakat. Walaupun dalam teori semua orang
yang beriman adalah sama, pada kenyataanya kelompok non-Arab terasing dalam
masyarakat. J.J Sounders mencatat bahwa orang non-Arab tidak boleh kawin dengan
orang Arab. Mereka juga dikenakan beban pajak yang tinggi, sedangkan orang Arab
bebas sama sekali dari kewajiban tersebut.
Dikalangan Arab sendiri terdapat pertentangan dalam menyikapi kebijaksanaan
negara yang diskriminatif ini. Suku-suku Arab Utara (Qaisyiah) ingin
mempertahanka politik ini, sedangkan suku-suku Arab Selatan di Yaman (Bani
Kalb) memandang mereka perlu diprlakukan
secara adil , sama dengan golongan Arab.
Dalam faktor eksternal,
gangguan-gangguan dari gerakan oposisi juga turut memperlemah kerajaan
ini. Diantara yang paling berbahaya
adalah gerakan Khawarij di Oman, Syiah di Khufaf dan Abdullah Ibn Zubair yang
mendapat dukungan dari penduduk Hijaz, Yaman, Irak dan Iran. Gerakan-gerakan
oposisi yang gencar ini tentu tidak dapat dipisahkan dari latar belakang
berdirnya daulat Bani Umaiyah oleh Muawiyah. Mereka kecewa dengan cara-cara
licik Muawiyah dalam mencapai puncak karirnya sebagai Khalifah. Gerakan-gerakan
oposisi tersebut menggerogoti Daulat Bani Umaiyah, sehingga melemahkan kerajaan
tersebut.
Akhirnya, pada tahun 750 M. Bani Abbas
berhasil menghancurkan ke Khalifahan ini. Peta politik umat Islampun berganti
dan dikuasai kembali oleh keluarga Bani Hasyim.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemerintahan pada masa bani umayyah adalah dengan
sistim monarchi, yang menjadikan keturunannya menjadi penguasa selanjutnya. Dan
pemerintahan pada masa ini diawali sudah menggunakan polotik-politik yang
melenceng dari al-qur’an, yang tidak lagi menggunakan dasar musyawarah untuk memutuskan
suatu perkara, baik besar maupun kecil. Dalam kepemerintahan bani umayyah juga
mengalami pasang surut, baik dan buruknya dan maju mundurnya suatu pemerintahan.
Dalam pengumpulan materi dan
pembahasan diatas kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak sekali
kesalahan dan kekeliruan serta sangat banyak sekali kekuranganya. Sehingga kami
sangat mengharapkan kebesaran hati dari pembaca
dan dosen mata kuliah FIQH SIYASAH untuk
memberikan tanggapan dan tambahan terhadap makalah kami ini. Karena sesunguhnya tidak ada sesuatu yang dapat
dikerjakan secara sempurna, kerena manusia bukanlah makhluk yang sempurna yang
dapat mengerjakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Sebelum dan sesudahnya kami haturkan banyak terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
H.A
Djazuli, Fiqh Siyasah, Prenada Media,
Bogor, 2003
Sayuti
Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran
Sejarah dan Pemikiran, Raja Grafinda Persada, Jakarta, 2002
Abdul
Wahab Kallaf, Al-Siyasah Al-Syar’iyah,
Dar Al-Ansr, Kairo, 1997
Al-Hanbali
al-Qodli Abu Ja’la, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir,
1938
Komentar
Posting Komentar