Pemikiran Politik Syi'ah dan Sunni serta perbedaannya (siyasah Syari'ah)
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seperti
yang telah kita ketahui bersama dan pada umumnya oleh kalangan umat muslim
dunia, bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW akan banyak sekali
golongan-golongan dalam umat muslim, ketika Islam dalam tahap perkembangan
kebeberapa wilayah semasa Khulafa al-Rasyidun bermunculanlah golongan-golongan
itu, salah satunya dari beberapa golongan tersebut termasuk yang paling menarik
untuk dibahas ialah golongan Syi’ah dan Sunni.
Sejarah politik Islam
banyak diwarnai oleh pemikiran politik Syiah dan Sunni. Walaupun majoriti
negara umat Islam hari ini mengamalkan politik demokrasi Barat, namun
perbahasan mengenai politik Islam sentiasa menjadi mauduk penting dalam dunia
Islam.
Pemahaman Islam sebagai
satu sistem hidup merangkumi semua aspek kehidupan menjadi faktor peting isu
mengenai politik dan negara Islam sentiasa hangat diperbahasakan.
Dari beberapa aliran
atau kelompok muslim tersebut telah memiliki banyak sekali pengikut
diberbagai kalangan umat muslim dunia. Masing-masing kelompok ini memiliki
pandangan tersendiri dalam memahami makna dan pedoman dalam menjalankan agama
Islam. Tentunya ini yang menjadikan Islam terbagi-bagi dan diragukan untuk
kesahihannya untuk dicari dan dipelajari. Dari golongan-golongan tersebut dapat
kita maknai dan pelajari untuk memahami dan mempelajari Islam lebih dalam.
PEMBAHASAN
2.1. Pemikiran Politik Syi’ah
Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka
ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah
lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam , selanjutnya
Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari
ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak
menjadi khalifah adalah Ali , para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan
dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan
Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah , yang diselenggarakan di gedung
pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah , dan lebih jauh
dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir
khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat
yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan
antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim
disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat
atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik
pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Utsman,
kemudian tampil pada akhir masa Ali.
Perang shiffin berakhir dengan arbitrase dan
berakibat pada lahirnya tiga fraksi politik, yaitu : pertama, golongan
Khawarij. Kedua, golongan Mu’awiyah yang berhasil membentuk Dinasti Ummayah dan
menjadi imperial Islam pertama dalam sejarah. Ketiga, golongan Ali yang
kemudian dikenal dengan sebutan Syi’ah. Kaum Syi’ah ini pecah kedalam beberapa
golongan. Golongan terbesar dan berpengaruh adalah syi’ah dua belas, syi’ah
tujuh yang disebut juga syi’ah Ismailiyah dan syi’ah Fathimiyah dan syi’ah
Zaidiyah. Pertama dan kedua disebut juga Syi’ah Immamiyah.
Kaum syi’ah adalah para pengikut setia Ali bin
abi tholib . keyakinan mereka yang amat tinggi kepadanya membawa mereka pada
suatu keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah al-khalifat al-mukhtar
(khalifah terpilih) dari Nabi Muhammad SAW, karena ia dianggap sahabat terbaik
diantara sahabat-sahabat Nabi. Artinya mereka
meyakini yang berhak mengendalikan
pemerintahan paska Nabi, adalah imam baik pemegang kepemimpinan politik maupun
kepemimpinan spiritual(agama). Dan hak istimewa Ahl al-bait, yaitu Ali bin Abi Thalib
dan keturunannya. Al-Muzaffar mengatakan: “kami menyakini bahwa imamah adalah salah satu
dari ajaran Islam yang fundamental (ushul al-din) dan keyakinan seseorang tak
pernah menjadi sempurna tanpa meyakini Imamah itu. Itulah sebabnya Sy’iah Dua
belas dan syi’ah tujuh disebut juga syi’ah imamiyah.
Pengikut Syiah dua belas mengakui adanya 12
Imam, yaitu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Ali, Al-Husein bin Ali, Ali Zain
bin al-Abidin bin Al-Husein, Muhammad al-Baqir bin Ali Zain Al-Abidin, Ja’far
al-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir, Musa Al-Kazim bin Ja’far al-Shodiq, Ali
al-Riba bin Musa al-Kazim, Muhammad al-Jawwad bin Ali al-Rida, Ali al-Hadi bin
Muhammad al-Jawwad, Al-Hasan Al-Askari bin Ali al-Hadi, dan Muhammad
al-Muntazhar bin Al-Hasan al-Askari.
Paradigma pemikiran syi’ah imamiyah tentang
imamah adalah bukan urusan yang bersifat umum yang diserahkan kepada umat, dan
menentukan orang untuk memegang jabatan itu menurut kehendak mereka. Sebab
masalah imamah adalah rukun agama dan
kaidah islam. Karena itu Nabi tidak boleh melupakannya dan
menyerahkannya kepada umat. Bahkan Nabi
wajib menentukan imam bagi umat islam, dan imim adalah ma’shum (suci) dari dosa-dosa besar dan
kecil. Untuk meletigimasi keyakinan ini kaum syi’ah mengemukakan nash dari
Nabi yang menetapkan Ali dan keturunannya untuk menjadi imam atau khalifah
menggantikan Nabi setelah beliau wafat
Nash ucapan
Nabi yang mereka kemukakan adalah:
من كنت مو لاه فعلى مو لاه, اللهم وال من ولاه
وعاد من عاداه
‘’Barangsiapa
menganggapku pemimpinnya maka ali juga adalah pemimpinnya. Ya Allah, jadilah
penolong terhadap orang yang mengikutinya,dan jauhilah orang yang
memusuhinya.’’
Hadist itulah yang menjadi dasar keyakinankaum syi’ah bahwa Nabi
muhammad,sebelum wafat menetapkan ali sebagai pengganti beliau.
Kedudukan Ali dalam hal ini adalah sebagai washi Nabi muhammad,yang menerima
wasiat beliau. Ia menerima kepercayaan sepenuhnya dari beliau untuk menggantikan
beliau dalam memimpin umat. Washi sesudah Ali
adalah hasan,kemudian husein dan
seterusnya. Jadi washi ini berlangsung secara
berantai. Dan kenapa Ali yang menjadi washi diurutan pertama,karena Nabi tidak mempunyai
anak laki-laki yang hidup. sehingga washi otomatis beralih kepda keluarga
terdekat. Keluarga terdekat beliau adalah ali abi thalib,anak paman beliau
sekaligus menantu beliau. Ali dan penerusnya sebagai imam disamping mewarisi sifat kepemimpinan juga diyakini oleh pengikut
Syi’ah mereka mewarisi sifat kekudusan dari
Nabi. Perbedaanya terletak pada Nabi menerima wahyu, sedangkan imam tidak.
Dengan posisi yang demikian
itu, imam mempunyai kekuasaan dan peran penting dalam menetapkan hukum dan
undang-undang. Imam mempunyai kekuasan paripurna dalam menetapkan
undang-undang,dan setiap yang dikatakannya termasuk bagian dari syariat. Dalam
kaitan ini, imam mempunyai peranan penting dibidang undang-undang dan hukum. Petama,
Nabi
menitipkan rahasia-rahasia syariat kepada para imam sebagai washi. Sebab, menurut keyakinan
kaum syi’ah, Nabi tidak menjelaskan seluruh syariat yang ada, melainkan
sebagian saja yang yang menjadi tuntutan di zamannya. Sebagiannya beliau
tinggalkan untuk para washi agar mereka menjelaskannya kepada manusia sesuai
tuntutan zaman mereka sesudah beliau. Kedua, diyakini
oleh penganut syi’ah apa yang di ucapkan para washi merupakan syariat islam
untuk menyempurnakan risalah kenabian Muhammad. Ketiga,para
imam mempunyai wewenang untuk mengkhususkan nash-nash yang
bersifat umum dan memberi batasan nash-nash yang bersifat mutlak.
Menurut kaum syiah imam merupakan sumber hukum dan undang-undang.
Karena itu kaum syiah menetapkan bahwa seorang imam: 1.
harus ma’sum dari berbuat salah, lupa dan maksiat. 2) seorang imam boleh membuat
hal yang luar biasa dari adat kebiasaan yang mereka sebut mu’jizat yang terjadi
kepada para nabi-nabi Allah; 3) seorang imamharus memiliki ilmu yang meliputi
sesuatu yang berhubungan dengan syariat ; 4) imam adalah pembela agama dan
pemelihara kemurnian dan kelestariannya agar terhindar dari penyelewengan.
Itulah doktrin-doktrin pokok Syi’ah Imamiyah.
Pengikutnya sekarang ini banyak terdapat terutama di Iran, Irak, Pakistan, dan
India. Kepemimpinan imam adalah pemegang kekuasaan spiritual dan kekuasaan
politik sekaligus.
Iqbal menulis, secara sosio – politik,
berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama,
imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan
politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan
kesalehan yang tinggi.Mereka tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah
dan menangani permaslahan politik riil. Ketika mereka melihat realitas politik
tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka
mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam. Kedua, sebagian pengikut
syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran
Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan
menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok
ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang
tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri. Ketiga, pengalaman
pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut
mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan
melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal
mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat,
umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu
Bakar dan Umar. Kedua, Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi
yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali
sebagai penjelmaan tuhan. Diantara kelompok
syi’ah yang paling ekstrem adalah Al-Sabaiyah yang menganggap Ali adalah Tuhan.
Pemimpin kelompok ini adalah Abdullah bin Saba. Ada pula kelompok yang berkeyakinan bahwa Jibril telah berbuat
salah memberikan wahyu pada Muhammad, seharusnya wahyu tersebut diberikan
kepada Ali, dua kelompok ini dianggap telah keluar dari Islam. Ketiga, diantara kedua kelompok diatas,
Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar
telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi
yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Kepemimpinan imam adalah pemegang kekuasaan
spiritual dan kekuasaan poliitik sekaligus. Walaupun
terjadi kegaiban pada diri imam (imam mahdi), politik tidak berarti berhenti.
Kepemimpinan gaib itu dilaksanakan oleh faqih.
Tidak seperti syiah imamiyah, syiah zaidiyah tidak menganut paham dan teori
imam bersembunyi. Bagi mereka imam harus langsung memimpin umat,dan berasal
dari keturunan Ali dan fatimah . para pengikutnya tidak menempatkanya pada
tingkat martabat kenabian. Mereka mempersamakannya
seperti seluruh manusia. Hanya saja para imam itu adalah manusia terbaik
sesudah rasulullah. Jadi golongan ini tidak sempat mengkhususkan imam secara
berlebihan. Syiah zaidah juga tidak meyakini bahwa nabi telah menetapkan orang
dan nama tertentu untuk menjadi imam. Tidak ada teori washi dalam pemikiran
politik mereka. Ali diangkat menjadi imam, karena sifat-sifat yang ditetapkan
oleh nabi terdapat dalam dirinya. Akan
tetapi persyaratan tersebut tidak mutlak. Seorang pemuka
masyarakat tidak dapat memenuhi klasifikasi tersebut dapat menjadi imam yang
disebut imam al-mafdul ats dasar ini syiah zaidiyah mengakui keabsahan khalifah
Abu Bakar, Umar
dan Usman sebagai imam al-mafdul ,bukan imam al- afdol adalah Ali bin
abi thalib.imam al mafdhul berada setingkat dibawah imam al-afdhul.
2.2. Pemlikiran Politik Sunni
Pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah, pelaksanaan
syura yang pertama dilakukan oleh umat islam sejak wafatnya Nabi untuk
memilih khalifah beliau, dan peritiwa tahkim antara Ali dan Muawiyah,
menjadi titik tolak yang penting bagi sejarah perpolitikan umat islam. Meski begitu, di masa khulafa al- Rasyidin dan era Dinasti Umayah
belum dikenal pemikiran politik islam yang dirumuskan secara sistematis. Ia
baru muncul pada periode Dinasti Abbasiyah. Namun prosedur pengangkatan khulafa
al-Rasyidin secara ijmak oleh sahabat dan kaum muslimin, sebagai telah
dikemukakan, menjadi dasar bagi teori politik para juris Sunni.
Sunni merupakan paham yang
berdasarkan pada tradisi Nabi Muhammad SAW, disamping berdasar pada Al-Qur’an
sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Sunni lebih di kenal dengan sebutan
Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Ahlussunnah memiliki makna orang-orang yang mengikuti
sunah Nabi, dan wal Jama’ah berarti mayoritas umat. Dengan demikan makna kata
Ahlussunah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW
dan mayoritas sahabat, baik dalam syariat (hukum agama Islam) maupun aqidah
(kepercayaan).
Sehubungan dengan itu, paradigma
pemikiran politik Sunni, menurut Abu Zahroh, secara umum didasarkan pada empat
prinsip umum. Petama, berdasarkan keutamaan keturunan. Khalifah
atau imam (kepala negara) harus dari keturunan Quraisy. Penetapan prinsip ini
mereka dasarkan pada hadits-hadits Nabi: “Manusia
mengikuti kaum Quraisy dalam urusan ini, mereka menjadi muslim karena mereka
(Quraisy) muslim, dan mereka menjadi kafir, karena mereka (Quraisy) menjadi
kafir.” “Manusia mengikuti kaum Quraisy dalam kebaikan dan kejahatan.”
Dua hadits pertama menunjukkan
keutamaan kaum Quraisy, dan Nabi berasal dari suku itu. Berarti tidak sah
seseorang menjadi kepala negara yang tidak berasal dari kaum Quraisy. Tapi
masih perlu dipertanyakan apakah hadits-hadits itu bermakna bahwa kepala negara
mesti dari Quraisy, dalam konteks apa hadits itu, dan bagaimana tingkat nilai
dan validitasnya.
Kedua, baiat sebagai
syarat yang disepakati oleh mayoritas umat islam dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan oleh ahl al-hall wa
al-‘aqad. Dengan baiat itu, mereka mengadakan kontrak sosial dengan kepala
negara terpilih baik disukai atau tidak, selama ia tidak melakukan perbuatan
maksiat. Prinsip baiat ini didasarkan pada beberapa peristiwa baiat yang
terjadi di masa Nabi dan sahabat. Demikian juga para sahabat dan kaum muslimin
memberi baiat kepada Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali ketika mereka terpilih
menjadi khalifah.
Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), yakni pemilihan
khalifah melalui musyawarah atau konsultasi. Prinsip didasarkan pada nash
al-Qur’an yang menekankan pentingnya
mengadakan musyawarah dalam berbagai urusan (Q.S. al-Syura/42:38, dan Ali
Imran/3:159), dan praaktek musyawarah Nabi dan sahabat.
Keempat, prinsip keadilan. Prinsip ini didasarkan pada nash al-Qur’an (Q.S.
al-Nisa’/4:135, al-Maidah/5:8) dan lain-lain. Keadilan menurut Islam bersifat
universal baik dalam perundang-undangan maupun dalam praktek, bahkan terhadap
musuh sekali pun harus berlaku adil. Dalam kaitan ini Nabi bersabda: “Ada tiga
orang yang tidak ditolak doanya yaitu doa orang yang berpuasa, doa kepala
negara yang adil dan doa orang yang teraniaya.
Walaupun
mayoritas kaum Sunni menerima prinsip-prinsip umum tersebut, namun
perbedaan-perbedaan dalam banyak detail dalam masalah politik dan pemerintahan
ini tetap tak terhindarkan. Hal ini akan terlihat nanti dalam bahasan pemikiran
politik mereka. Boleh dikatakan mereka tidak mencapai kesepakatan kecuali dalam
dua hal, yaitu keharusan adanya kepala negara dan pemerintahan itu sendiri guna
mencegah kekacauan, dan keinginan mereka untuk menjalankan prinsip-prinsip
ajaran islam. Meski ada perbedaan dalam detail. Lambton menulis: “Para juris
(Sunni) mengklaim bahwa doktrin mereka tentang imamah khalifah didasarkan pada
praktek masyarakat islam pertama. “ Untuk rasionalisasi bagi pengembangan
doktrin tersebut, mereka mendasarkannya pada interpretasi wahyu, diperkuat pula
dengan petunjuk wahyu tentang kehidupan bermasyarakat, dan ijmak yang
didasarkan pula pada hadits Nabi: “Umatku tidak akan bersepakat berbuat salah”.
Dan timbulnya pertentangan-pertentangan antara Umayah dan Abbasiyah, Syi’ah dak
Khawarij serta gerakan intelektual Muktazilah, mendorong para juris Sunni
mengembangkan teori-teori politik mereka tentang khalifah.
Melihat begitu
beragamnya akar dan dasar bagi perumusan
teori-teori politik mereka, yaitu tradisi politik umat Islam generasi pertama,
penginterpretasian terhadap wahyu yang berkaitan dengan tata kehidupan bermastarakat,
dan serangan intelektual mereka terhadap gerakan agama dan politik serta
intelektual non-Sunni. Hal itu tampaknya, disebabkan pemikiran dan gagasan mereka tidak lebih dari
sekedar reaksi terhadap gerakan-gerakan tersebut
dalam rangka mempertahankan status quo kekuasaan politik yang ada. Nash-nash
al-Qur’an dan hadits serta tradisi politik umat Islam awal tidak dikembangkan
secara luas, melainkan hanya dijadikan sebagai legalitas terhadap pandangan
mereka. Akibatnya, kajian ilmu politik, pada saat Dunia Islam mencapai puncak
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan,tidak begitu berkembang.
Sekarang kita
ikuti pemikiran-pemikiran politik para juris Sunni terkemuka dalam sejarah
Islam yang hidup di abad klasik dan abad tengah, yaitu Al-Baghdadi, Ibn Abi
Rabi, Al-Mawardi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Ibn-Taimiyah dan Ibn-Khaldun.
Proses Terbentuknya Negara
Robi’ melalui pembahasannya tentang negara
atau kota (al-daulat au al madinah) berdasarkan kenyataan sosial, bahwa manusia
adalah jenis makhluk yang saling memerlukan sesamanya untuk mencukupi segala
kebutuhannya. Keinginan mencukupi kebutuhan agar bertahan hidup dan untuk
memperolehnya memerlukan kerjasama, mendorong mereka berkumpul disuatu tempat,
agar mereka bisa saling tolong menolong dan memberi. Proses itulah yang menurut
Rabi’ membawa terbentuknya kota-kota dan akhirnya menjadi Negara.
Menurut Al-Ghazali manusia suka berkumpul
karena didorong oleh dua sebab. Pertama, kebutuhan untuk mempertahankan
kelangsungan keturunan. Kedua, untuk mengadakan kerjasama atau
tolong-menolong dalam rangka mempertahankan hidup.
Kebutuhan manusia tidak hanya berkumpul dan
berkerjasama. Mereka juga membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan
untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Para
pemikir sunni sependapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang mempunyai
kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat. Makhluk sosial yang menurut
tabiatnya memerlukan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka lahir dan
batin. Proses inilah, menurut mereka yang menjadi akar dan factor terbentuknya kumpulan
atau masyarakat manusia disuatu tempat tertentu yang kemudian menjelma menjadi
Negara. Pandangan mereka ini sejalan dengan pendapat Plato dan Aristoteles
tentang asal-usul Negara yang berakar pada tabiat manusia sebagai makhluk
sosial.
Unsur-Unsur dan Sendi-Sendi Negara
Untuk mendirikan Negara, menurut Rabi’
diperlukan beberapa unsur dan sendi, Pertama harus ada wilayah. Kedua,
harus ada Raja atau penguasa sebagai pengelola negara yang akan menyelenggarakan
segala urusan negara dan rakyat. Tidak mungkin terbentuk suatu negara tanpa ada
penguasa sebagai otak penggerak urusan rakyat dan negara. Penguasa bertugas melindungi
rakyatnya dari tindakan aniaya yang timbul dari mereka sendiri dan dari luar. Ketiga,
rakyat yang merupakan unsur pokok sebuah negara yaitu kumpulan manusia atau
masyarakat. Keempat, keadilan. Keadilan yang mencakup melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dan RosulNya. Unsur kelima
dari sendi negara adalah pengelola negara. Unsur ini merupakan perwujudan
hubungan kuat antara penguasa dan rakyatnya.
Setelah terbentuknya negara, menurut
Al-Mawardi, ia harus memiliki unsur-unsur sebagai sendinya dalam rangka
menjamin kerjasama dan ikatan-ikatan sesama anggota masyarakat dalam kehidupan
bernegara. Pertama, berlandaskan agama yang berfungsi untuk
mengendalikan diri dari godaan hawa nafsu dan menjadi tiang penyangga bagi kemaslahatan
dan keutuhan negara. Kedua, negara harus memiliki raja atau penguasa. Ia
berperan mengintegrasikan keinginan-keinginan rakyat yang beragam, membimbing
negara merealisir tujuannya, memelihara agama, melindungi keamanan dan sumber
rezeki rakyat. Raja adalah imam atau khalifah. Ketiga, keadilan
yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan
akan menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri,
yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa. Keadilan harus dimulai dari diri
sendiri yang tercermin pada melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan
buruk, kemudian berlaku adil terhadap orang lain. Keempat, keamanan
negara. Keamanan akan mewujudkan ketentraman batin rakyat dan cita-cita mereka
dalam memperoleh kemaslahatan hidup. Kelima, wilayah yang memiliki tanah
subur. Tanah subur merupakan salah satu potensi yang dapat memberikan
kesejahteraan atau kekayaan materil kepada rakyat atau negara. Keenam, harapan
yang optimis.
Eksistensi
Lembaga Pemerintah
Pemerintahan (imamah, khalifah) adalah
kepemimpinan umum bagi umat islam dalam urusan agama dan urusan dunia sebagai
pengganti fungsi Nabi SAW. Kebutuhan kepada pembentukan imamah, kata
Al-Baghdadi, secara umum telah menjadi teori sunni. Jumhur ulama mutakallimin
(kaum teolog) dan fuqoha sepakat bahwa adanya imamah itu wajib. Mengangkat
seorang imam dan taat kepadanya adalah wajib dan penting. Karena ia berperan
untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan, melaksanakan hukum bagi
pelanggar hukum, mengatur militer dan pajak serta lembaga perkawinan.
Dasar pembentukan imamah itu, kata Al-Mawardi,
bagi umat wajib secara ijma’. Ia membenarkan hal ini diperselisihkan. Apakah
menjadi wajib karena pertimbangan akal atau berdasarkan hukum agama. Menurutnya
ada dua golongan, pertama wajib karena pertimbangan akal. Alasannya
manusia itu adalah makhluk sosial. Dalam berhubungan dan pergaulan di antara
mereka mungkin terjadi perselisihan, permusuhan dan penganiayaan. Karenanya
diperlukan seorang pemimpin yang akan mencegah kemungkinan-kemungkinan itu.
Seandainya tidak ada penguasa niscaya masyarakat menjadi kacau balau dan mereka
menjadi perusak. Kedua, kewajiban adanya imamah berdasarkan hukum agama
bukan karena pertimbangan akal. Karena eksistensi imamah untuk melaksanakan
syari’at.
Apabila penetapan hukum adanya imamah itu
wajib, maka wajibnya menurut Al-Mawardi adalah fardhu kifayah (kewajiban
seluruh umat). Jika ada diantara anggota masyarakat yang melakukannya maka
gugurlah kewajiban itu dari seluruh anggota masyarakat.
Al-Ghazali mengemukakan pemikirannya bahwa
agama dan politik, dunia dan akhirat mempunyai kaitan erat yang tidak dapat
dipisahkan. Karena menurutnya tujuan manusia dalam bermasyarakat bukan hanya
memenuhi kebutuhan dan mencari kebahagiaan materil saja, tapi lebih dari itu
untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih sejahtera dan abadi di akhirat. Hidup
dan kehidupan didunia bukan untuk dunia semata, tapi dunia adalah untuk agama
dan agama untuk mengatur dunia. Keduanya harus dipenuhi secara seimbang dan
adil.
Pengangkatan Kepala Negara
Pengangkatan kepala negara dengan sistem
pemilihan merupakan materi bahasan para juris sunni. Al-Baqillani menolak
doktrin syi’ah tentang penunjukan imam berdasarkan nash (bukti tekstual). Karena
keyakinan ini menurutnya didasarkan atas khabar ahad dan bukan khabar
mutawatir. Artinya tak ada orang yang mengetahui tentang penunjukan Ali oleh
Nabi untuk memangku jabatan imam.
Menurut Al-Mawardi, untuk mengangkat kepala
negara terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan oleh ahl al aqd wa al
halli (memreka yang berwenang mengikat dan melepaskan) yakni para ulama,
cendekiawan dan pemuka masyarakat. Kedua, cara penunjukan atau wasiat
oleh kepala negara yang sedang berkuasa. Jika pengangkatan dilakukan dengan
pemilihan, menurutnya terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Pertama,
sekelompok ulama berpendapat pemilihan hanya sah jika dilakukan oleh
wakil-wakil ahl al aqd wal halli dari seluruh negeri dengan persetujuan yang
bulat (ijma’). Pendapat ini didasarkan pada pemilihan dan baiat Abu Bakar di
Tsaqifah Bani Sa’idah secara ijma’ oleh umat islam yang hadir. Kedua,
golongan ulama fikih dan kalam Basrah berpendapat pemilihan sah paling kurang
dilakukan oleh lima orang dari ahl al aqd wal halli. Golongan ini juga
mendasarkan pada pembaiatan Abu Bakar yang pada mulanya hanya dilakukan oleh
lima orang kemudian diikuti oleh rakyat. Ketiga, kelompok ulama Kuffah
berpendapat bahwa pemilihan itu sah dilakukan oleh tiga orang, seorang dari
mereka terpilih menjadi khalifah dengan persetujuan dua orang. Pendapat ini
didasarkan pada pelaksanaan akad nikah dengan seorang wali dan dua orang saksi.
Keempat, kelompok ulama lain berpendapat bahwa pemilihan sah sekalipun
dilakukan oleh seorang saja. Alasan dikemukakan karena Ali dulu diangkat oleh
Abbas, paman Nabi. Ia berkata pada Ali :”Ulurkan tangganmu aku akan
membaiatmu.” Melihat yang dilakukan Abbas orang yang hadir serentak memberi
baiat pada Ali.
Satu hal yang menarik dari gagasan Al-Mawardi
adalah dalam hal seorang calon yang akan diorbitkan jadi kepala negara. Menurut
pandangannya, calon yang akan dipilih harus sesuai dengan kebutuhan yang
mendesak saat itu. Jika negara dalam keadaan bahaya karena timbul berbagai
aniaya, kejahatan, atau pemberontakan dalam arti negara tidak stabil, maka yang
diperlukan adalah pemimpin yang berani bertindak. Tapi jika negara menghadapi
ahli bid’ah maka yang dibutuhkan adalah kepala negara yang berilmu pengetahuan.
Bila dikaitkan dengan zaman sekarang, pemerintahan militer dibutuhkan untuk
memelihara stabilitas keamanan negara. Sebaliknya bila negara aman maka lebih
baik pemerintahan sipil. Atau baik militer maupun sipil sama-sama mengambil
posisi dan peran yang sama dalam menjalankan roda pemerintahan untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan.
Syarat-Syarat Kepala Negara
Para juris sunni mencita-citakan terwujudnya
pelaksanaan syari’at islam, keadilan, dan kesejahteraan rakyat melalui
kekuasaan politik dan pemerintahan. Hal ini tercermin dalam syarat-syarat
kepala negara yang mereka kemukakan. Kepala negara bagi Al-Baqillani harus
berilmu pengetahuan yang luas, karena ia memerlukan para hakim yang berlaku
adil. Dengan ilmunya itu ia dapat mengetahui apakah putusan hakim sesuai dengan
ketentuan hukum atau tidak dan apakah sesuai dengan asas keadilan. Syarat lain,
kepala negara harus bertindak adil dalam segala urusan, berani dalam
peperangan, dan bijaksana dalam mengorganisir militer yang bertugas melindungi
rakyat dari gangguan musuh. Dan dalam segala tindakannya bertujuan untuk
melaksanakan syari’at. Artinya dalam mengatur kepentingan umat harus sesuai
dengan syari’at. Disamping syarat-syarat tersebut, ia berpendapat bahwa kepala
negara harus dari Quraisy. Persyaratan terakhir ini merupakan penolakkannya
terhadap doktrin Khawarij bahwa setiap muslim dari kalangan manapun berhak
menjadi kepala negara. Sekaligus penolakannya terhadap Syi’ah bahwa kepala
negara terbatas pada keturunan Ali.
Mayoritas sunni, katanya mengakui bahwa orang
yang paling utama (most exellent, al fadhil) pada masanya harus dipilih jadi
imam. Tapi bila tidak ada, boleh orang yang kurang utama dan pantas untuk
memangku jabatan imam.
Tugas dan Tujuan Pemerintahan
Pembentukan khilafah atau pemerintahan dalam
pandangan para juris sunni wajib menurut hukum agama sebagai pengganti tugas
kenabian mengatur kehidupan dan urusan umat baik keduniaan maupun keagamaan dan
untuk memelihara agama. Umat wajib mewujudkan kepatuhan dan ketaatan kepadanya.
Bagi mereka kekuasaan politik merupakan alat untuk melaksanakan syari’at islam,
memelihara persatuan umat lewat kerjasama dan tolong menolong, dan menciptakan
keamanan dan ketenangan.
Sejalan dengan persyaratan kepala
pemerintahan, tugas dan tujuan utama pemerintahan dalam pandangan Ibn Taimiyah
untuk melaksanakan syari’at Islam demi terwujudnya kesejahteraan umat, lahir
dan batin, serta tegaknya keadilan dan amanah dalam masyarakat. Paradigmaa
pemikiran ini banyak disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak
berbeda dari pendahulunya, Ibn Khaldun menyatakan sesungguhnya kehidupan di
dunia ini bukanlah tujuan akhir dari keberadaan manusia. Kehidupan manusia di
dunia ini adalah satu marhalah yang dijalani menuju kehidupan lain, yaitu
kehidupan akhirat. Undang-undang Islam yang bersifat politik menaruh perhatian
terhadap kehidupan dunia. Maka imamah, warisan yang ditinggalkan oleh Nabi,
adalah untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi terwujudnya kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat.
Pemberhentian Kepala Negara
Para juris sunni yang ditampilkan dalam
tulisan ini tidak ada yang membicarakan bagaimana cara dan mekanisme
pemberhentian kepala negara. Mereka hanya membahas kemungkinan-kemungkinan yang
menyebabkan terjadinya hal tersebut.
Walaupun umat memiliki hak untuk menetapkan
seseorang yang memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan khalifah, namun
menurut Al-Baqillani tidak punya hak untuk membatalkan kontrak atau perjanjian
dua belah pihak yang telah dibuat. Hal ini hanya bisa dilakukan bila ada kasus
atau keadaan yang mengharuskan untuk itu. Kasus dan keadaan yang menyebabkan
pemberhentian kepala negara, karena : 1. Tiak jujur, berbuat bid’ah, tidak adil
dan berbuat dosa. 2. Lemah fisik dan mental, seperti gila dan kehilangan
kemampuan, tuli dan bisu atau lanjut usia sehingga tidak lalgi mampu
melaksanakan tanggung jawab dan tugasnya. 3. Kehilangan kebebasan karena
ditawan oleh musuh. Al-Baghdadi menjelaskan seorang imam yang tanpa cacat dan
tindakannya tidak bertentangan dengan syari’at umat wajib mendukung dan
mentaatinya. Tapi bila ia menyimpang dari ketetapan syari’at, masyarakat harus
memilih diantara dua tindakan kepadanya, yaitu mengembalikannya dari berbuat
salah kepada kebaikan, atau mencopot jabatannya dan memberikannya kepada yang
lain.
Sumber Kekuasaan
Menurut teori ketuhanan, kekuasaan berada dari
Tuhan (devine rights of kings). Penguasa bertahta atas kehendak Tuhan sebagai pemberi
kekuasaan kepadanya. Teori kekuatan adalah suatu teori yang mengatakan kekuasaan
politik diperoleh melalui kekuatan dalam persaingan antar kelompok. Negara
dibentuk oleh pihak yang menang, dan kekuatanlah yang membentuk kekuasaan dan
pembuat hukum. Teori ini dikemukakan oleh Ibd Khaldun. Menurutnya masyarakat
manusia memerlukan al-wazi’ (pemimpin) untuk melaksanakan kekuasaan dan
memperbaiki kehidupan masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya di antara
sesama. Al-wazi’ diikuti karena memiliki kekuatan dan pengaruh atas
masyarakatanya. Hubungan sosial masyarakatnya berdasarkan hubungan keturunan
yang disebutnya ashabiyat (solidaritas kelompok) sebagai perekat kekuatan
kelompok itu. Dengan demikian, suatu daulah (pemerintahan) dapat berbentuk
apabila suatu kelompok masyarakat mampu mengalahkan kelompok masyarakat
lainnya. Dan dengan kemenangan itu ia memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan
teori kontrak sosial adalah suatu teori yang menerangkan kekuasaan diperoleh
melalui perjanjian masyarakat. Artinya kekuasaan politik bersumber dari rakyat,
dan legitimasinya melalui perjanjian masyarakat. Dengan kata lain terjadinya
penyerahan kekuasaan oleh anggota masyarakat kepada seseorang atau lembaga.
Bentuk Pemerintahan
Untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk
pemerintahan dapat dilihat pada beberapa orang yang memegang kekuasaan
tertinggi. Aristoteles dalam bukunya Politica menyebutkan beberapa kemungkinan
pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara : 1. Kekuasaan tertinggi dalam negara
berada di tangan satu orang. 2. Kekuasaan tertinggi dalan suatu negara berada
di tanggan beberapa orang. 3. Kekuasaan tertinggi dalam negara berada di
tanggan banyak orang. Lebih lanjut ia jelaskan, jika kategori pertama dan
tujuan pemerintahannya adalah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan
umum maka bentuk pemerintahan yang demikian disebut monarki. Apabila kategori
kedua dan tujuan pemerintahan adalah untuk kepentingan , kebaikan dan
kesejahteraan umum, maka bentuk pemerintahan yang demikian itu disebut
aristokrasi. Dan jika kategori ketiga dan tujuan pemerintahan untuk
kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum, maka bentuk pemerintahan ini
disebut politeia (kata yunani) yang berarti konstitusi.
Dalam kaitan itu, di antara pemikir sunni,
hanya Rabi’ yang bebicara soal bentuk pemerintahan. Dari berbagai bentuk
pemerintahan yang ada, bagi Rabi’ bentuk pemerintahan yang begitu ideal adalah
bentuk monarki. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh satu orang saja, yaitu Raja.
Ia menolak pemerintahan aristokrasi. Suatu pemerintahan yang berada di bawah
pimpinan sekelompok orang terpilih, bangsawan atau ningrat. Ia juga tidak
menerima bentuk pemerintahan oligarki. Model pemerintahan ini kekuasaan
tertinggi berada di tangan kelompok kecil orang-orang yang berpengaruh atas
masyarakat. Dan ia juga tidak dapat membenarkan pemerintahan demokrasi yang
diperintah oleh rakyat.
2.3.
Perbedaan Pemikiran Syi’ah dan Sunni
Sebenarnya tidak ada
perbedaan berarti antara golongan Syi’ah dan Sunni dalam hal inti keimanan.
Al-Qur’an dipandang oleh kedua golongan itu sebagai peran suci Allah Swt,
dengan kata lain konsep ideal golongan Sunni juga disepakati oleh golongan
Syi’ah. Permasalahan sebenarnya bersumber pada sejarah masa lalu yang sangat
bersifat politis, bukan dari segi teologi Islam, walaupun legitimasinya secara
teologis akan dicari . Fraksi politik kedua golongan tersebut menurut
Abd. Salam Arief dalam buku Negara Tuhan: The Tematic Encyclopaedia,
diawali dengan kemelut politik sejak pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi
khalifah dan disusul kemudian dengan penolakan Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap
eksistensi kekhalifahan Ali, telah menimbulkan ketegangan politik yang akut
dari kedua belah pihak yang akhirnya terjadinya perang Siffin. Perang
Siffin inilah yang oleh sementara kalangan sejarawan disebut al-fitnah al-kubra
dan berpengaruh besar dalam mewarnai perjalanan panjang sejarah politik umat
Islam dari generasi ke generasi sesudahnya.[19]
Fraksi politik dalam Islam antara kedua kelompok
yaitu Sunni dan Syi’ah, disebabkan perbedaan pendapat mengenai masalah imamah,
seperti yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi’ah, A. Syarifuddin al-Mussawi,
yang mengakui bahwa tiada suatu penyebab perpecahan di antara umat Islam yang
lebih hebat dari pada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal
imamah. Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama,
yang lebih parah daripada yang terjadi di sekitar persoalan ini.
Persoalan imamah menurut al-Mussawi, adalah penyebab utama yang secara langsung
menimbulkan perpecahan selama ini. Tetapi pendapat Syi’ah seperti itu ditolak
oleh kalangan Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak mewariskan
kepemimpinan dan juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan
masalah kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat.
Ayatullah Imam Khomeini, pemimpin besar revolusi
Islam juga mengemukakan pandangannya mengenai paham dan aliran Syi’ah,
menurutnya: “Sejak awal mula sejarahnya, aliran syi’ah, yang merupakan aliran
yang lazim dianut di Iran, telah memiliki ciri khas tertentu, jika beberapa
aliran lain menganjurkan kepatuhan terhadap penguasa (meskipun mereka curang
dengan bersifat menekan), maka Syi’ahisme menganjurkan perlawanan terhadap para
penguasa seperti itu dan mencela mereka sebagai penguasa yang tidak sah.
Sejak dulu orang Syi’ah selalu menentang pemerintahan yang menekan”.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Menurut beberapa pemikir Islam, bila dicari perbedaan
antara Syiah dan Suni, akan bisa diurai panjang lebar dan tidak ada habisnya.
Ujung-ujungnya, konflik berdarah berkepanjangan. Ia menunjuk kasus Irak,
Pakistan, Lebanon, dan di negara-negara lain. Di negara-negara tersebut,
konflik antarkelompok Islam telah banyak memakan korban. Padahal, Islam
seharusnya menjadi agama yang memberi kedamaian.
Berangkat dari fakta itu, para tokoh pemikir kaum
muslimin berusaha mengampanyekan modernisasi Islam. Islam adalah agama rahmatan
lilalamin, agama yang memberi rahmat, bukan memberi kesengsaraan dan
penderitaan. Modernisasi pemikiran, khususnya dalam pemikiran Islam, diyakini
dapat memberi basis toleransi dan keterbukaan berpikir. Dengan pikiran yang
luas, diharapkan kesenjangan antara kaum Sunni dan Syiah perlahan-perlahan bisa
direduksi.
Selain itu, dengan adanya modernisasi pemikiran,
barangkali yang diperlukan bukan lagi bagaimana mempertemukan Suni dengan
Syiah, tapi bagaimana menggalang kerja sama yang lebih menguntungkan, tanpa
menyentuh perbedaan prinsipil masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Pulungan, J. Suyuti. 1999. Fiqh Siyasah.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Komentar
Posting Komentar