Macam-Macam Politik Dalam ISlam ( Siyasah Syariah)


PENDAHULUAN

1.1 Latar  Belakang
                Kajian fiqih siyasah terus berkembang seiring perkembangan dunia politik yang semakin pesat dengan munculnya isu-isu politik mutakhir, seperti demokrasi, civil society, dan hak asasi manusia. Ditambah lagi dengan isu-isu pemikiran seperti sekularisme, liberalisme dan sosialisme yang mesti mendapat respon dari Islam. Perkembangan tersebut tentunya menghadirkan banyak pemahaman-pemahaman baru yang dikembangkan oleh para tokoh fiqih siyasah yang menciptakan sejumlah perbedaan pemikirinan tentang konsep fiqih siyasah dimaksud.
            Di kalangan umat islam ada yang berpendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi meyakini bahwa ”Islam adalah agama yang serba lengkap”. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar  Muhammad SAW dan oleh empat Khulafa al-Rasyidin.
            Untuk melakukan kajian tentang fiqih Siyasah secara luas dan mendalam dalam hubungannya sebagai ilmu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul seiring perkembangan zaman, tentunya harus memahami secara benar tentang konsep dasar fiqih siyasah dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, penulis merasa penting mengangkat masalah kajian Fiqih Siyasah dalam sebuah makalah yang berjudul “fiqih syiasah ( politik dalam islam)”


PEMBAHASAN
                                                                                                                                   
A.         Pengertian Pemikiran Islam 
                     
            Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas, lain daripada yang lain. Ini wajar, sebab pemikiran Islam berasal dari wahyu atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran-pemikiran yang lain yang berkembang di antara manusia, baik itu berupa agama-agama non samawi, ideologi-ideologi politik dan ekonomi, maupun teori-teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya. Definisi lain yaitu suatu gagasan, ide atau buah pikiran, yang mana pemikir-pemikir Islam atau ulama dalam mengambil sebuah keputusan itu harus berdasarkan atau bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam mengatasi persoalan-persoalan manusia atau masyarakat yang timbul dan disebabkan oleh fackor-faktor.

B.    Periode Klasik
Ciri yang menandai perkembangan kajian fiqh siyasah pada periode klasik adalah kemapaman yang terjadi di dunia Islam. Secara Politik,Islam memegang kekuasaan dan pengaruhnya di pentas Internasional.
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan Islam. Masa  awal pada periode ini dimulai di masa nabi Muhammad Saw masa dimana seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di bawah kekuasaan Islam. Ekspansi ke daerah-daerah keluar Arabia dimulai di zaman khalifah  Abu Bakar as-Siddiq hingga masa  kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbssiyah sebagai puncak kejayaan Islam.
Pada masa awal-awal Islam hingga masa Dinasti Umayyah, pemikiran politik Islam belum begitu kuat muncul di kalangan intelektual Islam, meskipun sudah ada gerakan oposisi dari kelompok Khawarij dan Syi’ah. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi Dinasti Umayyah yang lebih banyak berorientasi pada pengembangan kekuasaan. Barulah pada masa Dinasti Abbasiyah pemikiran politik Islam dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang.

Para intelektul yang muncul pada masa periode klasik adalah:
  1. Ibn Abi Rabi’ (833-842M) yang menulis Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik.(Perilaku Raja dalam Pengelolaan Kerajaan-Kerajaan).
  2. Al-Farabi (870-950M) yang menulis Ara Ahl al-Madinah, al-Fadhilah (Pandangan-Pandangan Para Penghuni Negara Utama), Tahsil al-Sa’adah (Jalan Mencapai Kebahagiaan ), dan Al-Siyasah al—Madaniyah (Politik Kenegaraan) 
  3. Al-Mawardi (975-1059M) yang menulis Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan Pemerintahan).
  4. Al-Ghazali (1058-1111M) menulis Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama), Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk (Batangan Logam Mulia tentang Nasihat untuk Raja), Al-Iqtishad fi al-I’tiqad ( Moderasi dalam Kepercayaan), dan Kimiya-yi Sa’adah.[2]
Ada beberapa ciri yang menonjol dari pemikiran politik islam  di zaman klasik:

Pertama adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan plato tentang asal-usul negara, meskipun kadar pengaruhya tidak sama. Plato dalam teorinya menyatakan bahwa negara terbentuk karena banyaknya kebutuhan manusia yang tidak dapat dipenuhi oleh kekuatan dan kemampuan sendiri. Maka manusia bekerja sama dan bersatu. Persekutuan hidup dan kerja sama yang semakin lama semakin terorganisasi dengan baik itu, kemudian membentuk negara. Teori ini kemudian diambil para pemikir politik islam. Sebagai konstruksi filosofis terbentuknya negara, seperti yang terlihat dari karya Ibn Abi Rabi’ dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah serta Al-Farabi alam Al-Madinah Al-Fadhilah dan Ahl-Al Madinah Al Fadhilah
Pandangan Ibn Abi Ar-Rabi’,dalam beberapa hal, juga mendapat dukungan dari Al-Ghazali (1058-1111M). Al-Ghazali, dalam kitabnya Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, menyebutkan bahwa kekuasaan kepala negara adalah kudus (suci). Karenanya, umat tidak boleh memberontak terhadap kekuasaan. Berbeda dengan mereka, Al-Mawardi (975-1059) memungkinkan pemecatan kepala negara dari jabatannya. Al-Mawardi juga mengemukakan teori “kontrak. sosial”antara kepala negara dan rakyatnya. Karena kepala negara diangkat melalui kontrak sosial, maka Al-Mawardi meniscayakan adanya pemberhentian kepala negara dari jabatannya.
Pengaruh Plato jelas sekali dalam pandangan al-farabi ketika ia membagi warga ke dalam tiga kelas sosial, yaitu kelas pemimpin,,kelas tentara,dan kelas rakyat jelata. Menurutnya, kepala negara haruslah seorang filosof, karena filosoflah yang dapat membawa manusia ke dalam kebaikan dan hikmah. Kedua, pemikiran  politik yang berkembang lebih banyak pada kondisi realistik social-politik. Pemikiran mereka lebih lebih banyak dilahirkan sebagai respon  terhadap kondisi sosial-politik yang terjadi. Bahkan di antara pemikir ada yang mendasarkan gagasannya pada pemberian legitimasi kepada sistem pemerintahan yang ada atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa, baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi, seperti dalam karya Ibn Abi Rabi’ (833-842M) dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik.
Di sisi lain Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah juga mengembangkan gagasan politik masing-masing. Syiah selalu mempropagandak pandangan tentang keutamaan ‘Ali dan keluarganya sebagai khalifah  serta doktrin kema’suman imam.
Meski tampil sebagai oposisi, kaum Syiah juga pernah mendirikan kerajaan sendiri yang lepas dari pengaruh Abbasiyah,yaitu Bani Buwaihi di Baghdad dan Daulat Fathimiyah di Mesir. Sedangkan Khawarij, karena sikap ekstrem dan radikal mereka, tidak begitu berpengaruh dalm pentas politik. Pemikiran politik mereka tidak tersusun secara sistematis dalam sebuah karya.
Dari pandangan kelompok-kelompok diatas dapat ditarik benang merah bahwa pemikiran politik pada periode klasik ini pada umumnya diwarnai oleh kepentingan-kepentingan golongan. Dalam hal ini, kelompok Sunni masih mendominasi percaturan politik ketika itu dan para pemikir politik mengembangkan doktrin-doktrin mereka di bawah patronase kekuasaan. Sejalan dengan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan transfer ilmu asing (terutama Yunani Kuno) ke dalam Islam,gagasan-gagasan politik pada abad klasik ini juga ditandai dengan pengaruh-pengaruh asing.                                                                                                                                                                                            

C.   Tahapan Politik Hizbut Tahrir

Tahap pertamasesungguhnya adalah tahap pembentukan gerakan, dimana saat itu ditemukan benih gerakan dan terbentuk halqah pertama setelah memahami konsep dan metode dakwah Hizb. Halqah pertama itu kemudian menghubungi anggota-anggota masyarakat untuk menawarkan konsep dan metode dakwah Hizb, secara individual.
Siapa saja yang menerima fikrah Hizb langsung diajak mengikuti pembinaan secara intensif dalam halqah-halqah Hizb, sampai mereka menyatu dengan ide-ide Islam dan hukum-hukumnya yang dipilih dan ditetapkan oleh Hizb. Sehingga, mereka memiliki kepribadian islam, yaitu mempunyai pola pikir yang islami (akliyah islamiyah) dan menjadi­kannya, ketika melihat setiap pemikiran, kejadian atau peristiwa baru, senantiasa dengan pandangan Islam, serta tatkala memutuskan sesuatu selalu berlandaskan pada tolok ukur Islam, yaitu halal dan haram. Ia pun memiliki pola jiwa yang islami (nafsiyah islamiyah), sehingga akan menjadikan kecenderungannya senantiasa mengikuti Islam walau kemanapun, serta menentu-kan langkah-langkahnya atas dasar Islam. Sehingga, mereka ridla kepada sesuatu yang diridlai Allah dan Rasul-Nya, marah dan benci kepada hal-hal yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka, lalu mereka akan tergugah mengemban dakwah ke tengah-tengah umat setelah mereka menyatu dengan Islam. Sebab pelajaran yang diterimanya dalam halqah merupa­kan pelajaran yang bersifat amaliyah (praktis) dan berpengaruh (terhadap lingkungan), dengan tujuan untuk diterapkan dalam kehidupan dan dikembang­kan di tengah-tengah umat.
Apabila seseorang telah sampai pada tingkatan ini, dialah yang akan mengharuskan dirinya bergabung dan menyatu menjadi bagian dari gerakan Hizb. Demikianlah yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, pada tahap pertama dalam dakwahnya –yang berlangsung selama tiga tahun. Pada saat itu Beliau menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat secara perorangan dengan menawarkan apa yang telah diturunkan Allah SWT kepadanya (berupa aqidah dan ide-ide Islam). Siapa saja yang menerima dan mengimani beliau berikut risalah yang dibawanya, maka ia akan bergabung dengan kelompok yang telah dibentuk Nabi SAW atas dasar Islam, secara rahasia. Beliau selalu menyampaikan bagian-bagian risalah, dan selalu membacakan ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepada beliau, sampai merasuk ke dalam diri mereka. Beliau menemui mereka secara sembunyi-sembunyi, mengajar mereka secara rahasia di tempat-tempat yang tidak diketahui masyarakat pada umumnya. Mereka melaksanakan ibadah juga secara diam-diam, sampai saatnya Islam dikenal dan menjadi pembicaraan masyarakat di Mekah, sebagian mereka bahkan masuk Islam secara berangsur-angsur.
            Pada tahap pembentukan kader ini, Hizb membatasi aktivitasnya hanya pada kegiatan pembinaan saja. Hizb lebih memusatkan perha­tiannya untuk membentuk kerangka gerakan, memperbanyak anggota dan pendukung, membina mereka secara berkelompok dan intensif dalam halqah-halqah Hizb dengan tsaqafah yang telah ditentukan sehingga berhasil membentuk satu kelompok partai yang terdiri dari orang-orang yang telah menyatu dengan Islam, menerima dan mengamalkan ide-ide Hizb, serta telah berinteraksi dengan masyarakat dan mengembangkannya ke seluruh lapisan umat.
Setelah Hizb dapat membentuk kelompok partai sebagaimana yang dimaksud di atas, juga setelah masyarakat mulai merasakan kehadirannya, mengenal ide-ide dan cita-citanya, pada saat itu sampailah Hizb ke tahap kedua.
Tahap keduaadalah tahap berinteraksi dengan masyarakat, agar umat turut memikul kewajiban menerapkan Islam serta menjadikannya sebagai masalah utama dalam hidupnya. Caranya, yaitu dengan menggugah kesadaran dan membentuk opini umum pada masyarakat terhadap ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah ditabanni oleh Hizb, sehingga mereka menjadikan ide-ide dan hukum-hukum tersebut sebagai pemikiran-pemikiran mereka, yang mereka perjuangkan di tengah-tengah kehidupan, dan mereka akan berjalan bersama-sama Hizb dalam usahanya menegakkan Daulah Khilafah, mengangkat seorang Khalifah untuk melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada tahap ini Hizb mulai beralih menyampai­kan dakwah kepada masyarakat banyak secara kolektif. Pada tahap ini Hizb melakukan kegiatan-kegiatan seperti berikut:
(1)Pembinaan Tsaqafah Murakkazah (intensif) melalui halqah-halqah Hizb untuk para pengikut­nya, dalam rangka membentuk kerangka gerakan dan memperbanyak pengikut serta mewujudkan pribadi-pribadi yang islami, yang mampu memikul tugas dakwah dan siap mengarungi samudera cobaan dengan pergolakan pemikiran, serta perjuangan politik.
(2)Pembinaan Tsaqafah Jama’iyah bagi umat dengan cara menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan Hizb, secara terbuka kepada masyarakat umum. Aktivitas ini dapat dilakukan melalui pengajian-pengajian di masjid, di aula atau di tempat-tempat pertemuan umum lainnya. Bisa juga melalui media massa, buku-buku, atau selebaran-selebaran. Aktivitas ini bertujuan untuk mewujudkan kesadaran umum di tengah masyarakat, agar dapat berinteraksi dengan umat sekaligus menyatukan­nya dengan Islam. Juga, untuk menggalang kekuatan rakyat sehingga mereka dapat dipimpin untuk menegakkan Daulah Khilafah dan mengembalikan penerapan hukum sesuai dengan yang diturunkan Allah SWT.
(3)Ash-Shira’ul Fikri (Pergolakan Pemikiran) untuk menentang ideologi, peraturan-peraturan dan ide-ide kufur, selain untuk menentang aqidah yang rusak, ide-ide yang sesat dan pemahaman-pemahaman yang rancu. Aktivitas ini dilakukan dengan cara menjelaskan kepalsuan, kekeliruan dan kontradiksi ide-ide tersebut dengan Islam, untuk memurnikan dan menyelamatkan masyarakat dari ide-ide yang sesat itu, serta dari pengaruh dan dampak buruknya.
(4)Al-Kifaahus Siyasi (Perjuangan Politik) yang mencakup aktivitas-aktivitas:
(a)Berjuang menghadapi negara-negara kafir imperialis yang menguasai atau mendominasi negeri-negeri Islam; berjuang menghadapi segala bentuk penjajahan, baik penjajahan pemikiran, politik, ekonomi, maupun militer. Mengungkap strategi yang mereka rancang, membongkar persekongkolan mereka, demi untuk menyelamatkan umat dari kekuasaan mereka dan membebaskannya dari seluruh pengaruh dominasi mereka.
(b)Menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya; mengungkapkan (rencana) kejahatan mereka; menyampaikan nasihat dan kritik kepada mereka. Dan berusaha untuk meluruskan mereka setiap kali mereka merampas hak-hak rakyat atau pada saat mereka melalaikan kewajibannya terhadap umat, atau pada saat mengabaikan salah satu urusan mereka. Disamping berusaha untuk menggulingkan sistem pemerintahan mereka, yang menerap­kan perundang-undangan dan hukum-hukum kufur, yaitu dengan tujuan menegakkan dan menerapkan hukum Islam untuk mengganti­kan hukum-hukum kufur tersebut.
(5)Mengangkat dan menetapkan kemaslahatan umat, yaitu dengan cara melayani dan mengatur seluruh urusan umat, sesuai dengan hukum-hukum syara’.
Dalam melakukan semua aktivitas ini, Hizb senantiasa mengikuti jejak Rasulullah SAW, khususnya setelah turun kepada beliau firman Allah SWT:

فَـاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ و أَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala yang diperintahkan (kepadamu), dan ber­palinglah dari orang-orang musyrik.” (Al-Hijr 94)
Ketika itu beliau langsung menampakkan risalahnya secara terang-terangan dengan mengajak orang-orang Quraisy pergi berkumpul ke bukit Shafa, kemudian menyampaikan kepada mereka bahwa sesungguhnya beliau adalah seorang nabi yang diutus, dan beliau meminta agar mereka mengimaninya. Beliau menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Quraisy sebagaimana beliau melakukannya kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy, tuhan-tuhan sesembahan mereka, keyakinan-keyakinan, dan ide-ide mereka; dengan cara menjelaskan kepalsuan, dan kerusakannya. Beliaupun mencela dan menyerang mereka sebagaimana yang beliau lakukan terhadap keyakinan-keyakinan, dan ide-ide yang ada pada saat itu.
Sedangkan ayat-ayat Al-Quran yang turun kepada beliau secara beruntun selalu terkait dengan kondisi yang ada pada saat itu. Ayat Al-Quran turun dengan menyerang kebiasaan-kebiasaan buruk mereka, seperti; memakan harta riba, mengubur hidup-hidup anak wanita, curang dalam timbangan, ataupun berzina. Ayat-ayat itu juga menyerang para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, memberinya predikat sebagai orang-orang bodoh, termasuk kepada nenek moyang mereka; disertai dengan pengungkapan terhadap persekongkolan-persekong­kolan yang mereka rencanakan untuk menentang Rasul SAW, dakwah beliau dan para sahabat beliau.
Hizb dalam mengembangkan ide-idenya; menentang ide-ide lain (yang bertentangan dengan Islam) dan kelompok-kelompok politik (yang tak berasaskan Islam); melawan negeri-negeri kafir; atau dalam menentang para penguasa, senantiasa bersikap terbuka, terang-terangan, dan menantang, tidak berbasa-basi, berpura-pura ataupun ber­kompromi; tidak berputar-putar dan tidak pula mementingkan keselamatan diri sendiri, tanpa memandang hasil dan keadaan yang terjadi. Hizb tetap akan menghadapi setiap hal yang bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya. Suatu keadaan yang akan membawanya kepada bahaya berupa penyiksaan pedih dari para penguasa, perlawanan kelompok-kelompok politik non Islami dan para pengemban dakwah (yang bertentangan dengan Hizb), bahkan kadang-kadang menghadapi perlawanan mayoritas masyarakat.
Dalam hal ini Hizb selalu meneladani sikap Rasulullah SAW. Beliau datang dengan membawa risalah Islam ke dunia ini dengan cara yang menantang, terang-terangan, namun yakin terhadap kebenaran yang diserukannya, dan menentang kekufuran berikut ide-idenya yang ada di seluruh dunia. Beliau menyatakan perang atas seluruh manusia, tanpa memandang lagi warna kulit –baik yang hitam maupun yang putih– tanpa memperhi-tungkan adat-istiadat, agama-agama, kepercayaan-kepercayaan, para penguasa ataupun masyarakat-nya. Beliau tidak menoleh sedikit pun, kecuali kepada risalah Islam. Beliau memulai dakwahnya di tengah-tengah kaum musyrikin Quraisy, dengan menyebut tuhan-tuhan sesembahan mereka disertai celaan, menentang segala sesuatu yang menjadi keyakinan mereka dan memandang rendah sembahan mereka. Sedangkan beliau –dalam melakukan semua ini– adalah sendirian, tanpa seorang pun yang mendampinginya, tanpa senjata apapun kecuali keyakinannya yang amat mendalam terhadap risalah Islam yang dibawanya.
D.  Pemikiran Islam Modern
Pemikiran Politik Islam modern mulai tampak  arusnya ketika  dunia Islam dalam kondisi terjajah  oleh  kekuatan barat.  Selama  ini  pemikiran  politik  Islam,   merespon persoalan  internal bergeser kepada  persoalan  eksternal. Kondisi  keterpurukan  dunia  Islam  menjadikan   pengaruh ajaran   Islam  dalam  keseharian  menjadi  pudar   bahkan terancam  punah  (perish). Hal ini  yang  mengilhami  para tokoh  pembaharu Islam seperti Jamaludin al-Afghani  untuk mengumandangkan  produksi  pemikiran dalam  mensikapi dan menggalang umat Islam dalam menghadapi.

Corak  yang  mendasar dari pemikiran  politik  Islam modern adalah sebagai berikut:

a.  Formulasi  pemikiran  sedikit  banyak  sebagai   respon kekalahan  dunia  Islam  atas  Barat  daripada   sistem internal masyarakat Islam sendiri
b.  Formulasi pemikiran sedikit banyak ingin  mengembalikan pelaksanaan ajaran Islam secara murni (salafi)
c.    Dalam   sifat   kenegaraan,  terpusatkan   pada   usaha pembebasan negara.

Dalam  perkembangan  lanjut  terjadi  dinamika  yang cukup  beragam dalam meletakkan landasan  dasar  formulasi pemikiran.  Setidaknya formulasi pemikiran terpilah  dalam dua kelompok besar; pertama, Kalangan-kalangan yang  ingin meletakkan  usaha permurnian  ajaran  Islam  (Purifikasi) sebagai  jalan  satu-satunya usaha menghadapi Barat.  Ada kecenderungan kalangan ini bersikap selektif bahkan sampai menolak pemikiran  Barat,  dalam  kerangka   pembangunan masyarakat.  Pemikiran  ini  sedikit banyak   mendapatkan pengaruh  dari pemikiran Imam Hambali, Ibnu Taimiyyah,  di masa  klasik. Gerakan purifikasi tampak  difahami  sebagai sarana mengembalikan kejayaan Islam di masa sebelumnya.

Sedangkan  kalangan yang kedua, yakni kalangan  yang sebelumnya melakukan kritik terhadap pemahaman Islam yang cenderung  konservatif. Kalangan ini  menjadi tercerahkan atau    dalam   penilaian   kelompok   purifikasi telah terbaratkan.  Setidaknya pandangan ini berawal dari sikap akomodatif  kepada Barat, di mana tercermin  dengan sikap untuk  membangkitkan Islam setidaknya meniru  model Barat dan  membangun peradaban  Renaisance.  Hal  inilah yang kemudian mengilhami konsep sekulerisasi pemikiran politik Islam  yang selama ini difahami digunakan  secara sepihak oleh penguasa demi kelangsungan status quo. Pandangan  ini menemukan  titik  sentralnya dalam tulisan politik  Islam sekuler  pertama  yang  dilakukan oleh  Ali Abdul  Raziq, seorang  hakim  syari'ah  dan  dosen  di  Al-Azhar   dalam Kitabnya Al-Islam Al-Ushul Wa Al-Hukmi. Dengan gerakan ini maka  pengadopsian  pemikiran  Barat menjadi  salah satu kebutuhan yang mendasar untuk membangun masyarakat Islam.

Dalam  dinamika berikutnya, pemikiran politik  Islam tidak hanya merespon intervensi eksternal, yang selama ini dituduh sebagai sumber malapetaka di dunia Islam. Kekuatan eksternal  juga  telah memapankan eksistensinya  di  dunia Islam  dengan membentuk seperangkat sistem kemasyarakatan  yang  cukup  kokoh  dalam  menyebarkan pengaruhnya.  Dari persoalan  inilah  muncul  pemikiran Islam,  yang   lebih spesifik  yang lahir dari gerakan-gerakan sosial  (harakah Islamiyyah), yang berusaha melakukan kritisi terhdap regim pro Barat.

Format  yang  digunakan oleh organisasi  sosial  ini setidaknya terpilahkan dalam 2 pola besar, yakni: pertama, pola Ishlah (pembaharuan, memperbaiki sistem  (evolusi)). Kedua, pola inqilabiah (perombakan total, revolusi).  Dari dua pola  besar tersebut akhirnya terpola  dalam  4  pola besar:
1. Gradualis-Adaptis, di mana organisasi yang termasuk  di dalamnya  adalah  Ikhwanul  Muslimin  di  Maghribi  dan Jama'at Islami di Pakistan
2. Revolusioner  Syi'ah, di mana organisasi yang  termasuk di dalamnya adalah Partai Republik Islam  Iran,  Hizbi Ad-Da'wa  di  Iraq,  Hizbullah  Libanon,  Jihad   Islam Libanon
3. Revolusioner Sunni, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya  adalah AL-Jihad Mesir, Organisasi  Pembebasan Islam  Mesir, Ikhwanul Muslimin Siria, Jama'a Abu  Dzar Siria, Hizbi Tharir Jordania dan Siria
4. Messianis-Primitif, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya  adalah  Al-Ikhwan Saudi  Arabia,  Tafkir  Wal Hijra Mesir, Mahdiyya Sudan, Al-Arqam.

Sedangkan  diskursus tentang besar  pemikiran  Islam tentang managemen kenegaraan dalam masa modern ditunjukkan oleh peristiwa keruntuhan khilafah Turki Utsmani di  1924. Hancurnya  model  kekhilafahan  klasik  ini memungkinkan munculnya   pemikiran-pemikiran  baru. Respon   terhadap fenomena  ini  muncul beberapa model pengelolaan  negara: Subtansialisme dan formalisme.

Aliran   subtansialisme   berkecenderungan   melihat negara  sebagai  sesuatu yang otonom.  Negara  tidak  bisa dipengaruhi   oleh  keyakinan  ataupun   agama   tertentu. Kalaupun ada pengaruh sebatas pada dataran semangat  tidak sampai  menyentuh pada seluruh aspek.  Pandangan  substan-sialisme tercerahkan dengan semangat sekularisasi di dunia Islam.  Faham  ini dilontarkan pertama kali  oleh  seorang Hakim sekaligus dosen Universitas Al-Azhar dalam  karyanya Al-Islam  Ushul  Wa  Al-Hukmi,  Ali  Abdur  Raziq.   Dalam pemikiran  Ali Abdur Raziq, managemen negara Islam  selama ini  hanya  terpaku  kepada  ijtihad  ulama.  Kekhilafahan selama  lebih dari 8 abad tidak lebih dari  produk  ulama.  Dan sejarah masyarakat Islam adalah tidak layak  digunakan sebagai  pembenaran  sebuah kebijakan  masa  kini.  Banyak sekali  kebijakan  despotis negara berlangsung  dan  kebal kritik  karena didukung ulama atas nama  agama.

Usulan  yang kontroversial dalam usaha merespon  dan sejajar  dengan  managemen kenegaraan  Barat,  maka  dunia Islam  harus  merubah pola  managemen  kenegaraan  seperti Barat. Dengan semboyan, Serahkan Hak Tuhan Pada Tuhan, dan Serahkan Hak Kaisar Pada Kaisar.

Aliran  formalis berkecenderungan  melihat  kesamaan pola  bahwa keberadaan negara tidak bisa  dipisahkan  dari agama  seperti halnya pemikiran Islam Klasik. Agama  dalam batas  tertentu harus terlibat  dalam  urusan  kenegaraan, simbol-simbol  agama dimungkinkan tercermin  dalam  aspek kelembagaan  negara.  Pandangan formalis  ini tercerahkan dengan    semangat Pan-Islamisme   (Persatuan    Islam). Kepeloporan   Pan-Islamisme  dikibarkan  oleh   Al-Afghani maupun  Sayyid Rasyid Ridha. Sebelum runtuhnya kekhilafahn  Utsmani,  Al-Afghani sering  diundang  ke  Turki untuk  mempertahankan  secara teroritis   dan  konseptual tentang  legitimasi   lembaga kekhilafahan  yang  sedang mengalami  krisis  kepercayaan.

Pan-Islamisme  dalam  batas tertentu  adalah  sebagai terapi  terakhir  untuk  mencoba menghidupkan semangat kekhilafahan di dunia Islam. Dalam pemikiran formalisme ini mendapat  klarifikasi dari  Sayyid Abul A'la Al-Maududi. Maududi  melihat  bahwa organisasi kenegaraan adalah sesuatu yang integral  dengan kekuasaan   Tuhan.  Suatu negara  itu  ada   karena   ada kedaulatan Tuhan atas negara, sehingga aturan-aturan dalam negara harus mencerminkan kedulatan Tuhan. Ungkapan ini kemudian diistilahi dengan istilah  theo-Demokrasi, sebagai bentuk pendefinisian kembali demokrasi menurut pandangan Islam.

Pada akhirnya pandangan  formalis  Maududi adalah bagaimana  mengformat sebuah negara adalah sebagai negara dunia  (world-state). Dan  ini  tidak bisa dipisahkan dari konsep  kekhilafahan dalam   pemikiran   Islam  klasik. Sekaligus   Maududi memberikan klarifikasi tentang fenomena kerajaan di  dunia Islam,  secara  tegas Maududi mengatakan bahwa  Khilafah Bukan Kerajaan. Khilafah dipandu oleh musyawarah sedangkan kerajaan dipandu oleh kepentingan kaum tertentu.  Kerajaan pada akhirnya hanya akan mengambalikan kekuasaan ke  dalam batas  wilayah,  ras dan kepentingan  tertentu.  Pandangan formalis  kemudian  banyak berdekatan  dengan pemikiran fundamentalisme  Islam yang ingin meletakkan urusan  agama dan negara adalah urusan yang satu (din wa daulah).

Tokoh-tokoh pemikiran polotik Islam Modern diantaranya:

a.    Sayyid Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin memegang peranan penting dalam gerakan politik Islam modern. Ia dikenal luas didunia Islam sunni dan syi’ah serta sangaat berpengaruh terhadap dunia Islam, terutama karena perhatiannya yang serius terhadap kolonialisme bangsa-bangsa Barat dan absolutisme penguasa-penguasa muslim. Jamaluddin menekankan revolusi yang didasarkan pada kekuatan rakyat, sehingga tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai. Menurut Jamaluddin, kalau ada sejumlah hal yang harus direbut tanpa ditunggu sebagai hadiah, maka kebebasan dan kemerdekaan adalah dua hal diantara keduanya. Jamaluddin  menghendaki  bentuk pemerintahan republik yang didalamnya terdapat kebebasan rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan kewajiban penguasa untuk tunduk pada konstitusi.
b.   Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin Al-Afghani, ide-ide Jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh, meskipun dalam beberapa hal diantara murid dan guru ini terdapat juga perbedaan.
Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek yaitu:aspek kebebasan, aspek kemasyarakatan, aspek keagamaan dan aspek pendidikan.
c.   Muhammad Rasyid Ridha
Pada dasarnya pokok-pokok pikiran dan usaha-usaha yang dilakukan  Ridha dalam perjuangan umat Islam tidak jauh berbeda dengan pokok-pokok pikiran para tokoh pembaru lainnya, seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, yaitu berpangkal pada segi keagamaan, Rasyid Ridha yang pada awalnya memang bukan pemikir politik, pemikiran politiknya berawal dari reaksi terhadap persoalan-persoalan umat Islam yang mengalami kemunduran total dalam segala aspek kehidupan pada waktu itu. Ada dua masalah yang besar yang dihadapi umat pada waktu itu dan sekaligus menjadi faktor yang mempengaruhi pemikiran Rasyid Ridha sendiri, yakni baik dari faktor internal maupun eksternal.

d.   Muhammad Iqbal
Menurut Bilgrami, ada lima prinsip dasar konsepsi demokrasi Muhammad Iqbal, yaitu: Tauhid sebagai asas, kepatuhan terhadap hukum, toleransi antara satu dengan yang lain, demokrasi Islam tidak dibatasi oleh wilayah geografis, bahasa, rasa atau warna kulit, dan yang terakhir penafsiran hukum tuhan harus dikembangkan melalui ijtihad.
Iqbal , seperti disinggung diatas, menegaskan bahwa demokrasi Islam (Syura) hanya berjalan pada masa sahabat dan ini harus dihidupkan kembali dalam masyarakat modern , karena memuat prinsip-prinsip spiritual, yaitu:
1.      Pemilihan adalah satu-satunya cara untuk mengekpresikan kehendak seluruh rakyat, kehendak sebagian rakyat dinyatakan batal dan tidak berlaku
2.   Secara de facto, kedaulatan politik berada ditangan rakyat
3.   Masyarakat muslim berdasarkan pada kesamaan mutlak seluruh anggotanya
4.   Kepala negara bukanlah imam tertinggi dalam Islam dan bukan merupakanwali tuhan. Ia mungkin saja berbuat salah dan harus tunduk pada hukum tuhan
5.   Meskipun kepala negara, ia dapat dituntut dimuka sidang pengadilan
6.   Kepala negara memang dapat mencalonkan penggantinya, tetapi pencalonannya batal bila ditolak rakyat
7.   Rakyat berhak melakukan impeachment terhadap kepala negara kalau ia berlawanan dengan syariat.
e.    Mustafa Kemal Ataturk
Dibandingkan tokoh pemikir politik sekuler seperti  Thaha Husein dan Ali Abduraziq, Mustafa Kemal adalah tokoh yang paling kontroversial dan paling berpengaruh. Ia tidak hanya berbicara pada tataran wacana, tetapi juga bergerak pada lapangan praktis mengembangkan ide-ide sekularisasinya dalam berbagai kebijakan politiknya. Dialah yang menjadikan Turki sebagai Negara nasional yang modern dan menyelamatkan kerajaan Turki Usmani dari kekalahan total atas bangsa-bangsa Eropa.
Dalam pemikiran Mustafa Kemal, Turki Usmani tidak akan maju karena terdapat hubungan yang erat antara Islam dan Negara, penguasa Usmani pada waktu itu menggunakan dua gelar sekaligus untuk kekuasaannya, yaitu gelar khalifah untuk kekuasaan agama dan gelar sultan untuk kekuasaan politik (duniawi), bagi Kemal. Ikut campurnya Islam dalam berbagai lapangan publik, termasuk politik, telah membawa pada kemunduran Islam, Kemal membandingkan bahwa Barat berani meninggalkan agama dari lapangan politik dan melakukan sekularisasi sehingga melahirkan peradaban yang tinggi, karena itu kalau Turki mau maju dan modern, tidak ada jalan lain kecuali meniru Barat dengan melakukan sekularisasi juga , masyarakat Turki harus dirubah menjadi Barat. Meskipun mendapat tantangan yang sangat kuat, Kemal tetap bersikukuh menjalankan gerakan sekularisasinya. Berturut-turut ia menutup gerakan Tarekat(1925), mengganti hokum Islam dengan hokum sipil Swiss(1926), mengganti kalender Hijriah dengan Masehi(1926), menghapus Islam sebagai agama Negara (1928), menetapkan sumpah sekuler untuk anggota majelis nasional agung(1928), dan menggantikan aksara Arab dengan aksara Latin(1928). Karena dalam perkembangannya ia ingin menjadikan Turki modern seperti Barat, ia membuang symbol-simbol tradisi masyarakat Turki yang telah mengakar sebelumnya, ia melarang pakaian Tarbus (topi tradisional Turki), dan menggantikannya dengan pemakaian topi ala Barat, ia melarang penggunaan pakaian keagamaan dan memerintahkan rakyat Turki memakai pakaian ala Barat, musikpun harus digantikan dari alairan Timur menjadi music Barat dan radio-radio Turki harus menyiarkan lagu-lagu Barat. Ia hendak menerapkan nilai-nilai Barat dalam segala aspeknya. Karena Baratlah barometer kemajuan peradaban modern abad ke-20, Kemal ingin memutuskan bangsa Turki dari sejarah masa lalunya agar Turki dapat masuk kedalam lingkungan peradaban Barat.

f.    Ali Abdurraziq
Ali Abdurraziq lahir 1888 M di wilayah Al-Mania, Mesir. Ayahnya adalah seorang pembesar (gubernur) yang terpandang dan aktivis politik terkenal. Hasan Abdurraziqn nama lengkap ayahnya, adalah seorang sahabat Muhammad Abduh, ia pernah menjadi wakil ketua partai rakyat ( Hizb al-Umah), 1907. Saudara-saudaranya adalah aktivis politik yang handal, salah seorang saudaranya Hasan Abdurraziq Jr., mendirikan partai bernama Hizb al-Ahrar al-Dusturiyah yang mempunyai hubungan dengan Inggris. Dilihat dari riwayatnya tersebut dapat dipahami bahwa ia adalah seorang ahli agama dan politik, ketika menjabat sebagai hakim pada Mahkamah Syariah di Mesir, ia sempat mengadakan penelitian tentang lembaga khalifah, hasil penelitiannya kemudian dibukukan menjadi buku yang controversial dengan judul Al-Islami wa Ushul al-Hukm.




KESIMPULAN

Pemikiran politik islam zaman klasik dan pertengahan pada dasarnya menerima dan tidak mempertentangkan lagi keabsahan sistem pemerintahan monarki yang mereka temukan pada zaman mereka masing-masing, dengan seorang khalifah, sultan atau raja memerintah atas dasar turun-temurun, supra nasional, dan dengan kekuasaan yang mutlak atau hampir mutlak, berdasarkan prinsip bahwa dia adalah bayangan Allah di bumi. Para pemikir itu tidak cukup besar perhatiannya terhadap cara bagaimana khalifah, sultan atau raja itu naik tahta, dengan pengangkatan, penunjukkan atau pemilihan, dan kalau melalui pemilihan bagaimana cara memilihnya dan oleh siapa.
Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa kekuasaan khalifah, sultan atau raja itu mandat dari Tuhan, dan oleh karenanya bagi mereka taat kepada kepala negara nerupakan kewajuban agama. Hanya Mawardilah yang mengemukakan teori kontrak sosial dan hanya dia pula yang dengan jelas menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu kepala negara dapat diturunkan dari tahta, meskipun tanpa rincian tentang cara penurunan itu.










DAFTAR PUSTAKA




Iqbal,  Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.Jakarta; Gaya Media Pratama,Cet I 2001

Syarif, Mujar Ibnu, dan Zalda, Khamadi. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta : Erlangga, 2008.

Taimiyah, Ibnu. Siyasah Syar’iyah Etika Politik Islam.Surabaya: Risalah Gusti,1995.


H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara edisi kelima (Jakarta : penerbit Universitas Indonesia, (UI-Press) 1993)




 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Akhlak Tasawuf (Pengertian tasawuf akhlaki,irfani dan Falsafi)

Beberapa Hadits tentang Ijarah (Upah)