kriteria pemimpin dari sudut pandang Ulama dan proses pengangkatan khalifah pada masa Khulafa Al-Rasyidin (Siyasah syari'ah)
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Jabatan pemerintahan atau
kepemimpinan timbul dari keharusan hidup bergaul bagi manusia, dan didasarkan
pada penaklukan dan paksaan, yang merupakan manifestasi dari sifat-sifat
alamiah. Setiap orang akan melakukan tindakan untuk memperoleh kebutuhan-nya
dari orang lain. Karena sudah menjadi naluri hewani yang ada dalam manusia
untuk berlaku zalim dan agresif, maka orang yang akan dirugikan, pihaknya
berusaha menghalangi hal demikian.
Semua itu digerakkan oleh rasa
amarah, benci, dan sebagai reaksi manusia bila hak miliknya terancam. Maka
terjadilah pertikaian yang menimbulkan permusuhan, dan permusuhan menimbulkan
kekacauan, pertumpahan darah, yang pada gilirannya dapat sampai pada pemusnahan
umat manusia itu sendiri. Padahal, sebagaimana diketahui, manusia adalah salah
satu makhluk istimewa yang diperintahkan Tuhan untuk dipelihara.
Manusia tidak mungkin dapat
melangsungkan hidupnya dalam situasi anarki, tanpa kepala negara yang dapat
menjaga kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu mereka memerlukan seorang
pengendali. Orang itulah yang disebut pemimpin (kepala Negara). Dan berkaitan
dengan hal tersebut, makalah ini disusun guna menjabarkan serta menjelaskam
criteria-kriteria pemimpin yang dipandang ideal oleh para Ulama agar dapat
dijadikan sebagai proyeksi dalam penilaian mengenai figure pemimpin yang baik.
Pembahasan
A.
Kriteria
Pemimpin
Kepemimpinan
dapat terjadi dengan melalui salah satu dari dua cara, pertama dengan pemilihan ahl
al-hall wa al-aqdi dan kedua
dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam atau pemimpin yang sebelumnya.[1]
Cara
yang kedua itulah yang dimaksud dengan waliyul
ahdi. Cara ini diperkenankan atas dasar:
- Abu
Bakar ra. Menunjuk Umar ra. yang kemudian kaum muslimin menetapkan
kepemimpinan Umar dengan penunjukan Abu Bakar tadi.
- Umar
ra. Menunjuk menyerahkan pengangkatan khalifah kepada Ahlu Syura’ yang kemudian didalam kasus ini disetujui oleh sahabat
lain. Jadi dalam kasus ini bukan menunjuk seseorang tetapi menyerahkan
pengangkatan khalifah kepada sekelompok orang (ahlu syura’ yang
berwenang).
Qadli
Abu Ya’la menjelaskan bahwa wilayah al-ahd itu dapat pula dilaksanakan kepada
orang yang memiliki hubungan nasab , baik garis lurus keatas maupun garis lurus
kebawah dengan syarat:
Orang
yang ditunjuk itu memenuhi persyaratan imam, karena imamah tidak semata-mata
terjadi karena penunjukan, tetapi imamah itu terjadi karena persetujuan kaum
muslimin.[2]
Dari
keterangan diatas jelas sekali bahwa seorang anak khalifah dapat menjadi
khalifah, asalkan seorang anak khalifah tersebut memenuhi syarat sebagai
seorang khalifah serta pengangkatanya disetujui oleh setidak-tidaknya mayoritas
ahlul halli wal aqdi, begitu juga
sebaliknya sesorang yang tidak memiliki hubungan dengan khalifah, dapat menjadi
khalifah apabila dianggap paling memenuhi persyaratan serta disetujui oleh ahlul halli wal aqdi.
B.
Syarat-Syarat
Imam Menurut Pandangan Ulama.
Adapun
mengenai syarat-syarat atau kriteria imam, ternyata ada sebagian ulama yang
memberikan persyaratan ketat dan ada pula yang memberikan persyaratan yang
longgar. Al-Mawardi misalnya memberikan tujuh persyaratan sebagai berikut:
- Adil
dengan segala persyaratanya.
- Memiliki
ilmu untuk berijtihad didalam hokum dan kasus-kasus hokum yang harus
dipecahkan.
- Sehat
panca indra, baik pendengaran, penglihatan, lisanya agar dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
- Sehat
anggota badanya dari kekurangan-kekurangan
yang dapat mengganggu geraknya.
- Kecerdasan
dan kemampuan didalam mengatur rakyat dan kemaslahatan.
- Kebenaran
dan mempunyai tanggung jawab serta ketabahan dalam mempertahankan Negara
dan memerangi musuh.
- Nasab
imam tersebut harus keturunan Quraisy atas dasar nash dan ijma.[3]
Abu Ja’la al-Hanbali
menyebut empat syarat yaitu:
- Haruslah
orang Quraisy (keturunan Nadlar bin Kinanah bin Huzaimah bin Mudzrikah bin
Ilyas bin Mudlar bin Nasar bin Zaad bin Adnan).
- Memiliki
syarat-syarat seorang hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal, berilmu dan adil.
- Mampu
memegang kendali didalam masalah-masalah peperangan, siyasah dan
pelaksanaan hukuman.
- Orang
yang paling baik/utama didalam ilmu dan agama.[4]
Ibnu
Taimiyah tidak mengharuskan seorang penguasa harus memiliki kualitas yang lebih
banyak dari seorang saksi yang dipercayai. Walau demikian Ibnu Taimiyah
memberikan syarat tambahan yaitu amanah dan memiliki kekuatan.
Bukan
saja dikalangan para ulama terdahulu terdapat perbedaan pendapat tentang persyaratan imam, akan tetapi juga
terdapat perbedaan pendapat tersebut dikalangan ulama-ulama yang sekarang.
Al-Ustadz Abdul Wahab Khalaf misalnya, dapat menerima enan syarat dari
Al-Mawardi, akan tetapi syarat yang ke tujuh (imam itu harus orang Quraisy)
ternyata diperdebatkan oleh para ulama, dari sisi kualitasnya dan dari sisi ta’arudl-nya dengan nash-nash lain baik
Al-Qur’an maupun Hadits. Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf mensitir pendapat Ibnu Khaldun yang
mengatakan “persyaratan harus orang Quraisy yang jadi imam adalah untuk
menghindari pertentangan karena rasa ashabiyah.[5]
Jadi hadits tersebut bersifat siyasah yang memang maslahat pada masa itu untuk
mengangkat imam dari suku Quraisy.
Yusuf
Musa berpendapat bahwa syarat imam itu adalah: Islam, Laki-laki, Mukallaf, berilmu,
adil, mampu, selamat panca indera dan anggota badanya. Demikian juga Abdul
Qadir Al-audah mensyaratkan ketujuh syarat tersebut diatas. Sedangkan Ibnu
Khaldun hanya memberikan 4 syarat yaitu, yaitu:
- Memiliki
Ilmu Pengetahuan
- Adil
- Mampu
melaksanakan tugas, termasuk kearifan
- Sehat
jasmani dalam arti panca indra dan anggota badan lainya.
Abul A’la al-Maududi
hanya mensyaratkan 4 syarat yaitu:
- Muslim
(Al-Qur’an surat IV ayat 59)
- Laki-laki
( Surat IV ayat 34)
- Berakal
dan dewasa (Surat IV ayat 5)
- Warga
Negeri Islam (Surat IV ayat 72)[6]
Memilih
pemimpin yang terbaik diantara yang baik bukanlah suatu perkara yang terlalu
sulit, namun yang sulit adalah memilih pemimpin yang terbaik diantara yang
tidak baik. Sebab bagaimanapun juga pemimpin harus ada diantara kelompok
manusia. Bahkan dalam hadits dinyatakan:
“
Apabila tiga orang berpergian, maka salah seorang daripadanya hendaklah menjadi
pemimpinya “ (HR. Abu Dawud)
Oleh
karena itu dari penjabaran kriteria pemimpin menurut para ulama diatas, dapat
ditentukan bagaimanakah sosok seorang pemimpin yang ideal, apabila yang ideal
tidak ada maka dipilih kepada yang mendekati pada ideal. Apabila itupun tidak
ada maka dipilih yang paling maslahat diantara yang ada. Jadi, wilayah al-ahd dapat terjadi dan sah asal diakui oleh ahl-hall wa al aqdi dan
memenuhi persyaratan sebagai al-imam al-adham (kepala Negara).[7]
C.
Pengangkatan Kepemimpinan
Pada Masa Klufa Al-Rasyidin.
- Pengangkatan
Abu Bakar (11-13 H)
Pengangkatan Abu Bakar
menjadi Khalifah merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khilafah dalam
sejarah islam dan disebut sebagai lembaga pengganti kenabian dalam memelihara
urusan agama serta mengatur urusan dunia untuk meneruskan pemerintahan negara
Madinah yang terbentuk di masa nabi. Belum juga Rasululullah dikebumikan
sebagian dari kaum Muslimin sudah sibuk menentuka siapa yang akan dijadikan
pemimpin setelah Rasulullah. Dalam hal ini ada dua pendapat:
- Menentukan pangkat khalifah harus dari keluarga
Rasulullah yang terdekat. Pendapat pertama ini juga dibagi lagi menjadi
dua:
a. Khalifah harus dari persukuan
Rasulullah
b. Ditentukan dari keluarga Rasulullah yang
sekarib-karibnya.
Ketika
berita wafat Rasulullah tersiar, berkumpulah kaum Anshar di rumah Bani Sa’adah
di Madinah. Mereka bermaksud hendak membaiat seseorang dari kaum Anshar, yakni
Sa’ad bin Ubadah seorang pemimpin kaum Khazraj, untuk menjadi Khalifah. Kemdian
sekelompok kaum Muajirin mendatangi mereka. Dalam pertemuan ini hampir saja
terjadi pertumpahan darah antara kaum Muajirin dan kaum Anshar. Kalau saja Umar
tidak melerai dan berpidato mungkin pertumpahan darah itu sudah terjadi.
Dengan bijaksana Umar berkata, “sesungguhnya perjuangan kaum
Anshar dalam perjuangan Islam tidak ada bandingnya, tapi sungguhpun demikian
seluruh Bangsa Arabi mengetahui bahwa tidak ada penguasa Arab yang disegani
melainkan dri kaum Qurasy”. Lalu orang-orang Anshor segera mengusulkan kalau
begitu pilihlah seorang pemimpin untuk golongan kamu, dan kami akan menetapkan
pemimpin untuk kamu sendiri. Menanggapi usulan tersebut maka Umar berkata
dengan tegas ingatlah kalin bahwa dua orang pemimpin tidak dapat berkuasa
bersama. Setelah Umar selesai berbicara, Abu Bakar menyusul untuk berbicara hendaklah
kalian memilih diantara Umar dan Abu Ubaydah sebagai Khalifah. Namun kedua
tokoh tersebut menolak seraya berkata tidak, kami tidak memiliki kelebihan dari
kamu sekalian dalam urusan ini. dalam situasi yang keritis Umar mengangkat
tangan Abu Bakar seraya menyampaikan sumpah setia kepadanya seraya membaiatnya
sebagai Khalifah. Sikap Umar tersebut diikuti oleh Abu Ubaydah dan tokoh-tokoh
Anshar yang hadir pada saat itu.
Pemilihan Abu Bakar tersebut tidak didasarkan pada system
keturunan, atau karena keseniorannya, dan atau karena pengaruhnya. Tapi karena
mereka memiliki kapasitas pemahaman agama yang tinggi, berakhlak mulia,
dermawan dan paling dahulu masuk Islam serta sangat dipercaya oleh Nabi.
Seandainya pemilihan didasarkan pada keturunana, kesenioran dan pengaruh,
tentulah mereka akan memilih Saad bin
Ubadah, pemimpin golongan khazraj, atau Abu Sufyan, pemimpin bani Umayyah, atau
al-Abbas, pemuka golongan Hasyimi. Mereka inilah yang lebih senior dan
berpengaruh disbanding Abu Bakar.
Setelah diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah. Abu Bakar
memproklamirkan pidatonya yang sangat singkat namun padat yang disampaikan di
mesjid Nabawi sesudah masyarakat luas mebaiatnya pada hari setelah Baiat As
Saqifah. Teks pidato tersebut, adalah:
Wahai manusia! Sekarang aku adalah pemimpin kalian sekalipun
aku bukan yang terbaik diantara kalian. Maka jika tindakan diriku baik,
dukunglah aku oleh kalian. Dan bila tindakan diriku buruk, luruskanlah diriku
oleh kalian. Kejujuran itu adalah amanat dan kebohongan adalah khianat. Orang
lemah dalam pandangan kalian adalah orang kuat daam pandangan diriku sehingga
aku mampu mengambil hak darinya dengan izin Allah. Orang kuat dalam pandangan
alian adalah orang lemah menurut pandangan diriku, sehingga aku mampu mengambil
hak atas seizin Allah pula. Tidaklah suatu kaum meninggalkan zihad fisabilillah
melainkan Allah akan menimpakan kehinaan pada mereka. Taatlah kalian pada
diriku selama aku taat pada Allah dan Rasulullah. Bilamana aku berbuat durhaka
pada Allah dan Rasulullah, maka kalian tidak ada keharusan unuk taat kepadaku.
Dirikanlah shalat oleh kalian, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kalian.
Pidato ini menggambarkan garis politik dan kebijaksanaan yang akan
dilaksanakan Abu Bakar dalam pemerintahannya.
- Pengangkatan Umar bin Khatab (13-23 H).
Ketika Abu Bakar jatuh sakit dia berniat untuk menyegerakan
ada khalifah yang menggantikanya. Sehubungan pada masa itu kaum Muslimin sedang
berperang dengan bangsa Romawi dan Persia di satu pihak.
Abu Bakar mengusulkan penggantinya dengan berbagai keriteria, beberapa
kriterianya adalah seorang laku-laki yang tegas tetapi tidak kejam dan lembut
tetapi tidak lemah. Kemudian dia mendapatkan dua orang yang memiliki keriteria
tersebut diantaranya adalah Umar bin Khatab dan Ali bin Abu Thalib. Dalam hal
ini Abu Bakar menjatuhkan pilihanya pada Umar yang dianggapnya tegas dengan
konsep sekali hitam haruslah hitam, seberat apapun resikonya
Ketika pilihan jatuh pada Umar, Abu Bakar mengadakan
musyawarah bersama kaum Muslimin dan setelah bermusyawarah akhirnya mereka
menyetujui Umarlah yang pantas menjadi Pemimpin. Dan pernyataan Abu Bakar
ditulis dalam sebuah pesan sebelum ia meninggal dunia.
Mengenai garis politik dan kebijakan Umar dalam memerintah,
pandanganya tentang seluk beluk Negara, orang yang berhak menjadi pemimpin,
tanggung jawab kepala Negara dan pelayanan kepada rakyat, hakikat tugas para
pejabat Negara dan persamaan didepan hukum, tergambar dalam setiap
ucapan-ucapan dan pidatonya kepada rakyat serta nasehatnya kepada para pejabat.
Dari pandangan-pandangan Umar dalam menjalankan roda pemerintahan dapat
disimpulkan, ia telah menampilkan sosok pemimpin yang sangat menguasai urusan
kenegaraa dan sebagai negarawan yang patut diteladani.[8]
- Pengangkatan Ustman bin Affan (23-35 H).
Sesuai dengan pesan Umar, setelah beliau wafat pada tahun 23
H. dan usai pemakamannya, maka mereka ahl-as-Syura segera mengadakan pertemuan
dirumah Al-Miswar bin Makhramah, riwayat lain menyatakan di gedung Baitul Mal,
dan ada pula yang menyatakan di rumah Aisyah atas izin daripadanya[9]
Setelah Umar mendapat tikaman dia dikunjungi oleh sekelompok
sahabat dan menanyakan siapa yang akan menggantikanya sebagai Khalifah, namun
Umar tidak memberikan jawabanya dan akhirnya sahabat tersebutpun pergi. Karena
khawatir Umar tidak memberikan wasiatnya tentang siapa yang akan dijadikan pemimpin,
maka kelompok sahabat itupun kembali lagi dan akhirnya Umar meberikan
wasiatnya. Isi wasiatnya berisi:
a) Jangan
menjadikan keluarga Umar sebagai calon pemimpin karena dia tidak mau
keluarganya mendapat hisab dari Allah atas tanggung jawabnya sebagai pemimpin.
b)
Pilihlah dengan cara bermusyawarah selama 3 hari, dan hari ke-4 harus sudah ada
pemimpin yang terpilih, bilamana hari ke-4 belum ada, maka biarkanlah Abdulah
bin Umar, bila keputusan Abdulah bin Umar tidak disetujui, maka biarkanlah
Abdurahman bin Auf yang menentukan berikutnya.
c) Calon
Khalifah adalah orang-orang yang dijanjikan masuk surga tanpa di hisab, seperti
diantaranya adalah Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Sad bin Abu Waqqash,
Abdurahman bin Auf, Az Zubair bin Al Awwam, Thalhah bin Ubaibillah, Abdullah
bin Umar.
Setelah Umar wafat dikumpulkanlah semua calon yang sudah
diwasiatkan oleh Umar. Dalam permusyawarahan ini tersisa dua calon setelah
calon yang lainya mengundurkan diri atas saran Abdurahman bin auf. Dalam hal
ini terjadi konflik yang sangat dahsyat terutama dari golongan syiah dan
muawiyah. Terlebih ketika Abdurrahman kembali menemui kaum muslimin yang sedang
berkumpul di masjid dan menanyai tokoh-tokoh sahabat tentang siapa yang lebih
pantas menjadi khalifah, ternyata aspirasi masyarakat telah berpolarisasi.
Sebagian ada yang mendukung Ali dan sebagian lagi mendukung Utsman. Melihat
suasana terkondisi sedemikian rupa, Saad bin Abi Waqqas mendesak Abdurrahman
bin Auf agar segera menyelesaikan urusan itu sebelum masyarakat diracuni
fitnah.
Abdurrahman mengiyakan, lalu memanggil Ali seraya berkata:
“Kalau engkau dipilih jadi khalifah mampukah engkau melaksanakan tugas
berdasarkan kitab Alloh dan Sunnah Rasul-Nya serta mengikuti pola hidup dua
khalifah terdahulu?” Ali menjawab:”Saya berharab mampu dan berbuat sejauh pengetahuan dan
kemampuanku”. Kemudian Abdurrahman memanggil Utsman dan mengemukakan pertanyaan
yang sama. Utsman menjawab singkat: “ya”. Berdasarkan jawaban dari dua tokoh tersebut,
Abdurrahman menyatakan bahwa Utsman dipilih menjadi khalifah dan membaiatnaya.
Ali juga ikut membaiatnya, sekalipun ia tidak menyukai cara Abdurrahman yang menurutnya agak memihak kepada Utsman.
Perlu dicatat, bahwa jalanya musyawarah tersebut cukup
Demokratis. Hanya ketika ia mengambil keputusan, tampaknya ia tidak memiliki
alasan kuat untuk menetapkan Utsman sebagai khalifah terpilih jika yang
dijadikan dasar keputusan itu bertolak
dari jawaban Ali dan Utsman. Utsman lebih tegas dalam memberikan
jawaban, sedangkan Ali tidak. Ia menunjukkan sifat tawadluknya, padahal
prinsipnya Ali bersedia memangku jabatan itu.[10]
Dan akhirnya kursi kekhalifahan jatuh ke tangan Utsman bin
Affan yang di baiat oleh Abdurahman bin Auf atas wasiat dari Umar. Dan ketika
itulah berkatalah Ali pada Abdurahman sesungguhnya selama ini aku telah
mencintainya dan ini bukanlah dari pertama engkau secara terang-terangan
menampakan kepemimpinan kalian kepadanya. Maka bersabar adalah jalan terbaik
dan hanya Allah sajalah tempat memohon pertolongan atas apa yang kalian sifati.
Demi Allah aku tidak akan menerima Utsman menjadi pemimpin kecuali keputusan
itu ditarik kembali. Dan Allah setiap hari berbuat sesuatu sesuai dengan
kehendaknya.
- Pengangkatan Ali bin Abi Thalib (35-40 H).
Akhirnya Ali dikukuhkan sebagai khalifah ke-empat
menggantikan Utsman yang wafat terbunuh ditangan kaum pemberontak. Ketika Abu
Bakar menjadi Khalifah, ia selalu mengikutsertakan Ali untuk memusyawarahkan
acara-acara penting, demikian Umar bin Khattab tidak mengambil kebijaksanaan
atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali. Ia dikenal sebagai orang
yang alim, cerdas, dan taat beragama.[11]
Pemilihan Ali sebagai khalifah tidak seperti pemilihan
Khalifah seperti sebelumnya. Ali di baiat oleh para pemberontak Utsman yang
kebanyakan adalah orang-orang biasa, hampir tidak ditemukan pembesar-pembesar
dalam pembaiatan Ali. Mereka berpendapat Ali pantas untuk menjadi Khalifah. Dan
akhirnya setelah lima hari terbunuhnya Umar, Ali diangkat oleh para
pemberontak.
Ada golongan-golongan yang tidak menyukai diangkatnya Ali
sebagai Khalifah. Golongan tersebut menganggap kalau Ali menjadi Khalifah, Ali
akan menjadi Khalifah yang keras seperti Umar, dan golongan itu tidak setuju
apabila ada pemimpin yang teliti terhadap rakyatnya. Mereka takut harta mereka
yang sudah mereka dapatkan sejak Khalifah Utsman yang terbilang lembek akan
habis karena keadilan yang akan diterapkan oleh Ali, golongan ini adalah
golongan Umayah.
Kebanyakan rakyat yang mengangkat Ali adalah rakyat kecil
yang menanti-nanti Ali sebagai Khalifah untuk dijadikan perlindungan dan
melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami. Dengan memperhatikan
pembaiatan Ali, dapat disimpulkan bahwa pembaiatan Ali bukanlah dengan sepenuh
hati kaum Muslimin, terutama bani Umayah, merekalah orang-orang yang
mempelopori untuk tidak menyetujui kekhalifahan Ali.
Penutup
A. Kesimpulan
Dalam
menentukan persyaratan atau criteria pemimpin, para ulama berbeda pendapat, ada
yang memberikan persyaratan yang ketat sebagian menyaratkan dengan syarat yang
lebih longgar. Oleh karena itu dari penjabaran kriteria pemimpin menurut para
ulama diatas, dapat ditentukan bagaimanakah sosok seorang pemimpin yang ideal,
apabila yang ideal tidak ada maka dipilih kepada yang mendekati pada ideal.
Apabila itupun tidak ada maka dipilih yang paling maslahat diantara yang ada.
Jadi, wilayah al-ahd dapat terjadi dan sah asal diakui oleh ahl-hall wa al aqdi dan
memenuhi persyaratan sebagai al-imam al-adham (kepala Negara).
Pengangkatan Abu Bakar menjadi
Khalifah merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khilafah dalam sejarah
islam dan disebut sebagai lembaga pengganti kenabian dalam memelihara urusan
agama serta mengatur urusan dunia untuk meneruskan pemerintahan negara.
Selanjutnya, dalam menentukan siapakah yang akan menjadi pemimpin selalu
diputuskan melalui jalan musyawarah oleh para sahabat.
B. Saran
Dari uraian pembahasan mengenai kriteria pemimpin yang
ada
diatas sudah sangat jelas dibahas
mengenai criteria-kriteria pemimpin, dan
dari situ dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa ada kriteria-kriteria khusus yang harus dipenuhi seorang
pemimpin untuk menjadi sosok pemimpin yang ideal.
Berkaitan
dengan hal tersebut sudah menjadi
tugas dan kewajiban bagi semua pihak dalam berperan mendidik generasi-generasi
penerus estafet kepemimpinan agar kelak terbentuk pribadi-pribadi yang dapat memenui kriteria sosok
pemimpin ideal.
Daftar Pustaka
Djazuli, H.A., Fiqh
Siyasah, Jakarta: Prenada Media, 2003
Al-Hanbali al-Qodli Abu Ja’la, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Mesir: Musthafa
al-Babi al-Halabi, 1938
Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasah Al-Syar’iyah, Kairo: Dar Al-Ansr, 1977
Pulungan,
Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah,
dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
[1] H.A Djazuli, Fiqh Siyasah, Prenada Media, Bogor,
2003, hlm. 105
[2] Al-Hanbali al-Qodli Abu Ja’la, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Musthafa al-Babi
al-Halabi, Mesir, 1938, hlm. 9
[3]H.A Djazuli, Fiqh Siyasah, Prenada Media, Bogor, 2003, hlm. 109
[4]
Al-Hanbali al-Qodli Abu
Ja’la, Al-Ahkam al-Sulthaniyah,
Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1938,
hlm. 4
[5] Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasah Al-Syar’iyah, Dar Al-Ansr,
Kairo, 1977 hlm. 56
[8] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 123
[10] Ibid hlm. 140
Komentar
Posting Komentar