Kriteria Kepemimpinan dalam Islam (Siyasah Syariah)
Kriteria
Pemimpin
Kepemimpinan
dapat terjadi dengan melalui salah satu dari dua cara, pertama dengan
pemilihan ahl al-hall wa al-aqdi dan kedua dengan janji (penyerahan
kekuasaan) imam atau pemimpin yang sebelumnya.1
Cara
yang kedua itulah yang dimaksud dengan waliyul ahdi. Cara ini
diperkenankan atas dasar:
1. Abu
Bakar ra. Menunjuk Umar ra. Yang kemudian kaum muslimin menetapkan kepemimpinan
Umar dengan penunjukan Abu Bakar tadi.
2. Umar
ra. Menunjuk menyerahkan pengangkatan khalifah kepada Ahlu Syura’ yang
kemudian di kasus ini disetujui oleh sahabat lain. Jadi dalam kasus ini bukan
menunjuk seseorang tetapi menyerahkan pengangkatan khalifah kepada sekelompok
orang (ahlu Syara’ yang berwenang).
Qadli
Abu Ya’la menjelaskan bahwa wilayah al-ahd itu dapat pula dilaksanakan kepada
orang yang memiliki hubungan nasab, baik garis lurus ke atas maupun garis lurus
ke bawah dengan syarat:
Orang
yang ditunjuk itu memenuhi persyaratan imam, karena imamah tidak semata-mata
terjadi karena penunjukan, tetapi imimah itu terjadi karena persetujuan kaum
muslimin.2
Dari
keterangan di atas jelas sekali bahwa seorang anak khalifah dapat menjadi
khalifah, asalkan seorsng anak tersebut memenuhi syarat sebagai seorang
khalifah serta pengangkatannya disetujui oleh setidak-tidaknya mayoritas ahlul
halli wal aqdi.begitu pula sebaliknya seseorang yang tidak memiliki
hubungan dengan khalifah, dapat menjadi khalifah apabila dianggap peling
memenuhi persyaratan serta disetujui oleh ahlul halli wal aqdi.
- Syarat-syarat
Menjadi Imam Menurut Pendangan Ulama
Adapun
mengenai syarat-syarat atau kriteria imam, ternyata ada sebagian ulama yang
memberikan persyaratan ketat dan ada pula yang memberikan persyaratan yang
longgar. Al-Mawardi misalnya memberikan tujuh persyaratan sebagai berikut:
1.
Adil dengan
segala persyaratannya.
2.
Memiliki ilmu
untuk berijtihad di dalam hokum dan kasus-kasus hokum yang harus dipecahkan.
3.
Sehat panca
indra, baik pendengaran, penglihatan, lisannya agar dapat digunakan sebagaimana
mestinya.
4.
Sehat anggota
badannya dari kekurangan kekurangan yang dapat mengganggu geraknya.
5.
Kecerdasan dan
kemampuan di dalam mengatur rakyat dan kemaslahatan.
6.
Kebenaran dan
mempunyai tanggung jawab serta ketabahan dalam mempertahankan Negara dan
memerangi musuh.
7.
Nasab imam
tersebut harus keturunan Quraisy atas dasar Nash dan ijma.3
Abu
Ja’la al-Hanbali menyebut empat syarat yaitu:
1.
Haruslah orang
quraisy (keturunan nadlar bin kinanah bin huzaimah bin Mudzrikah bin Ilyas bin
Mudlar bin Nasar bin Zaad bin Adnan).
2.
Memiliki
syarat-syarat seorang hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal, berilmu dan, adil.
3.
Mampu memegang
kendali didalam masalah-masalah peperangan, siyasah dan pelaksanaan hokum.
4.
Orang yang
paling baik/utama didalam ilmu dan agama.4
Ibnu
Taimiyah tidak megharuskan seorang penguasa harus memiliki kualitas yang lebih
banyak dari seorang saksi yang dipercayai. Walau demikian Ibnu Taimiyah
memberikan syarat tambahan yaitu amanah dan memiliki kekuatan.
Bukan
saja di kalangan para ulama terdahulu terdapat perbedaan pendapat tentang
persyaratan imam, akan tetapi juga terdapat perbedaan pendapat tersebut
dikalangan ulama-ulama sekarang. Al-Ustadz Abdul Wahab Khalaf misalnya, dapat
menerima enam syarat dari al-Mawardi, akan tetapi syarat yang ketujuh (imam itu
harus orang Quraisy) teryata diperdebatkan oleh para ulama, dari sisi
kualitasnya dan dari sisi ta’arudl-nya dengan nash-nash lain baik
Al-Qur’an maupun Hadits. Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf mensitir pendapat Ibnu
Khaldun yang mengatakan “persyaratan harus orang Quraisy yang jadi imam adalah untuk
menghndari pertentangan karena rasa ashabiyah.5 jadi hadits tersebut
bersifat siyasah yang memang maslahat pada masa itu untuk mengangkat imam dari
suku quraisy.
Yusuf
Musa berpendapat bahwa syarat imam itu adalah: Islam, Laki-laki, Mukallaf,
Berilmu, adil, mampu, selamat panca indra dan anggota badannya. Demikian juga
Abdul Qodir Al-audah mensyaratkan ketujuh syarat tersebut diatas. Sedangkan
Ibnu Khaldun hanya memberikan 4 syarat tersebut diatas. Sedangkan Ibnu Khaldun
hanya memberikan 4 syarat yaitu:
1.
Memiliki ilmu
pengetahuan
2.
Adil
3.
Mampu
melaksanakan tugas termasuk kearifan
4.
Sehat jasmani
dalam arti panca indra dan anggota badan lainnya.
Abul
A’la al-Maudubi nanya mensyaratkan 4 syarat yaitu:
1.
Muslim
(Al-Qur’an surat IV ayat 59)
2.
Laki-laki (Surat
IV ayat 34)
3.
Berakal dan
dewasa (Surat IV ayat 5)
4.
Warga Negeri
Islam (Surat IV ayat 72)6
Memilih
pemimpin yang terbaik diantara yang baik bukanlah suatu perkara yang terlalu
sulit, namun yang tersulit adalah memilih pemimpin yang terbaik diantara yang
tidak baik. Sebab bagaimanapun juga pemimpin harus ada diantara kelompok
manusia. Bahkan dalam hadits dinyatakan:
“apabila
tiga orang berpergian, maka salah seorang daripadanya hendaklah menjadi
pemimpinnya” (HR. Abu Dawud)
Oleh
karena itu dari penjabaran criteria pemimpin menurut para ulama di atas, dapat
ditentukan bagaimanakah sosok seorang pemimpin yang ideal. Apabila yang ideal
tidak ada maka dipilih kepada yang mendekati pada ideal. Apabila itupun tidak
ada maka dipilih yang paling maslahat diantara yang ada. Jadi, wilayah
al-ahd dapat terjadi dan sah asal diakui oleh ahl-hall wa al aqdi dan
memenuhi persyaratan sebagai al-imam al-adham (kepala negara).7
- Pengangkatan
Kepemimpinan Pada Masa Klufa Al-Rasyidi
Apabila kita
berkaca pada masa lalu khususnya dalam hal memilih pemimpin pada masa
Khulafaurrasyidin, maka akan ditemukan perbedaan-perbedaan dalam memilih
Pemimpin ataupun Khalifah ataupun Amirul Mukminin. Perbedaan ini terjadi
sebagai salah satu akibat langsung dari tidak adanya aturan yang jelas dalam
memilih dan mengangkat pimpinan baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis
Rasulullah SAW. Pada masa Rasulullah SAW,
karena yang menjadi pemimpin itu adalah beliau sendiri dengan
pengangkatan sebagai Rasul dari Allah SWT, maka tidak
ada yang protes di antara kaum muslimin. Akan tetapi karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menentukan siapa penggantinya sebagai
pimpinan ummat islam dan bagaimana tata cara pemilihannya. maka terjadilah
perbedaan di kalangan ummat islam.
Apabila kita
berkaca pada masa Khulafaurrasyidin sebagai sebuah masa yang paling ideal pasca
wafatnya Nabi Muhammad SAW dan figur-figurnya adalah
figur ideal karena mereka adalah merupakan sahabat Nabi yang paling setia,
paling banyak berkorban dan berbakti bagi kepentingan ummat, dan individunya
adalah orang-orang yang dijamin oleh Nabi masuk syurga, selama masa
khulafaurrasyidin ini terdapat bermacam-macam bentuk pemilihan yang dilakukan,
artinya pemilihan satu khulafaurrasyidin dengan khulafaurrasyidin yang lainnya
adalah berbeda-beda sebagai berikut :
1. Pengangkatan Abu Bakar Shiddiq
sebagai Khalifah I adalah melalui pemilihan secara musyawarah yang dilakukan
oleh ummat Islam di Tsaqifah Bani Saidah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pemilihan secara musyawarah ini dilakukan dengan sangat
alot dan melalui perdebatan yang sengit antara golongan Anshor dengan golongan
Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab. Golongan
Muhajirin hanya diwakili oleh kedua tokoh tersebut sebab yang melakukan
prakarsa untuk memilih pemimpin pengganti Rasulullah SAW adalah
kaum Anshor, sedangkan kaum Muhajirin termasuk di dalamnya Ali Bin Abi Thalib
(dari barisan keluarga Nabi) sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi. Akibatnya
golongan Muhajirin hanya diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab.
Musyawarah ini menghasilkan terpilihnya Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah
pertama pengganti Rasulullah SAW. Pemilihan Khalifah
pertama ini dilakukan secara musyawarah melalui sebuah rapat yang alot dan
sengit oleh para tokoh dan masyarakat, sekalipun masih banyak orang lain yang
tidak ikut melakukan pemilihan di dalamnya.
2. Pengangkatan Umar Bin
Khaththab sebagai Khalifah Kedua berbeda dengan pengangkatan Abu Bakar Shiddiq
sebagai Khalifah Pertama. Kalau pengangkatan Abu Bakar Shiddiq melalui musyawarah,
sekalipun tidak diikuti oleh semua ummat islam, maka pengangkatan Umar Bin
Khaththab sebagai Khalifah Kedua adalah melalui penunjukan dari Khalifah
Pertama dalam hal ini penunjukan dari Abu Bakar Shiddiq. Penunjukan dari
Khalifah pertama ini disambut baik oleh semua kaum muslimin, karena memang
Khalifah pertama menunjuk penggantinya bukan hanya sekedar menunjuk atas dasar
like and dislike, tetapi beliau menunjuk orang yang tepat di tempat yang tepat
dan pada masa yang tepat (the right man and the right place). Selain itu
penunjukan ini ditengarai setelah terlebih dahulu melakukan konsultasi dan
diskusi dari para pembesar-pembesar sahabat, sehingga surat penunjukan dari Abu
Bakar Shiddiq itu tidak mendapat protes sedikitpun dari para sahabat dan Umar diterima
menjadi Khalifah kedua menggantikan Abu Bakar Shiddiq. Pengangkatan Khalifah
Kedua ini adalah melalui penunjukan dan surat sakti dari Sang Khalifah
sebelumnya.
3. Pengangkatan Usman Bin Affan sebagai Khalifah
ketiga berbeda dengan dua pendahulunya. Kalau yang pertama dengan pemilihan
secara musyawarah, yang kedua dengan penunjukan dari khalifah sebelumnya, maka
pengangkatan Usman Bin Affan sebagai Khalifah ketiga adalah melalui Satu Tim
yang ditunjuk oleh Umar Bin Khaththab yang beranggotakan enam orang ditambah
satu orang (yang ketujuh) anaknya Abdullah Bin Umar dengan catatan anaknya
tidak berhak untuk dipilih dan kalau terjadi suara berimbang di antara anggota
enam orang itu, maka keputusannya ditanyakan kepada anaknya, tetapi kalau yang
enam orang itu telah bersepakatn untuk menentukan khalifah maka tidak perlu
ditanyakan kepada anaknya. Oleh Tim ini maka dipilihlah Usman Bin Affan sebagai
Khalifah Ketiga. Dengan demikian maka pemilihan Khalifah Ketiga ini melalui
sebuah tim yang dalam istilah sekarang ini dikenal dengan istilah Tim
Formateur.
4. Pemilihan Ali Bin Abi Thalib
sebagai Khulafaurrasyidin yang keempat berbeda pula dengan tiga pendahulunya,
yaitu Ali Bin Abi Thalib dipilih dalam suasana ummat Islam sedang dalam
kekacauan dan penuh fitnah sebagai akibat dari terbunuhnya Khalifah Usman Bin
Affan. Pemilihannya dilakukan oleh ummat Islam Madinah, namun mendapat protes
dari Gubernur Damaskus yaitu Muawiyah Bin Abi Sufyan yang kelak mendirikan
Khalifah Bani umayyah. Protes Muawiyah tersebut bukan karena tidak setuju
dengan diri peribadi Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah, akan tetapi Muawiyah
meminta diusut terlebuh dahulu siapa pembunuh khalifah Usman Bin Affan, barulah
kemudian dipilih dan diangkat khalifah. Hal ini menjadi pemicu konflik berkepanjangan
antara pendukung Ali Bin Abi Thalib dengan pendukung Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Dari keempat
model pemilihan pimpinan atau kepala negara tersebut di atas, tidak ada satupun
di antaranya yang berdasar langsung dari Al-Quran dan Al-Hadis, namun demikian
semuanya telah diakui dan diterima oleh ummat Islam sebagai sebuah fakta dan
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga. Dan satu hal yang
pasti bahwa keempat model pemilihan khalifah tersebut, tidak ada satupun di
antaranya yang bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadis, apalagi hal ini
dilakukan oleh orang-orang yang memang betul-betul dekat dengan Nabi Muhammad SAW dan memahami subsatnsi ajaran-ajaran Islam, sebab mereka
adalah Assabiqunal Awwalun, Ashabi Rasulillah dan murid-murid langsung dari
Rasulullah SAW.
Komentar
Posting Komentar