Imamah dalam Siyasah Syari'ah (Fiqh Siyasah)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam pembahasan fiqih siyasah terdapat istilah imamah
(pemimpin), ada ulama’ yang mengemukakan
pendapat bahwa imamah lebih diidentikkan dengan kata khalifah. Dalam pandangan
Thabathaba'i, imam atau pemimpin adalah gelar yang diberikan seseorang yang
memegang kepemimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu
ideologi politik atau pula suatu aliran pemikiran, keilmuan, juga keagamaan.
Istilah imamah adalah istilah bagi para pemimpin yang mempunyai tanggung jawab
besar atas kepemimpinannya sebagai kepala yang bertanggung jawab pada agama dan
Negara, tugas yang diemban juga berat, menyeimbangkan antara agama dan politik
agama, tidaklah boleh mendeskriminasikan antara urusan keduanya. Maka oleh dari
itu, mencari seorang pemimpin haruslah benar disepakati semua pihak,
Karenanya menjadi pengganti tugas Rasul, sangatlah
berat, karena didalamnya terdapat tanggung jawab besar menyeimbangkan urusan
akhirat dan duniawi, dan tidaklah ada yang
timbang diantara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Imamah
Dalam pandangan
Thabathaba'i, imam atau pemimpin adalah gelar yang diberikan seseorang yang
memegang kepemimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu
ideologi politik atau pula suatu aliran pemikiran, keilmuan, juga keagamaan.
Otoritas imamah juga memiliki dua sisi yang menyatu: pertama bersifat syar'i
dan kedua bersifat siyasi.4
Kata "Imamah" merupakan turunan dari kata amama-amm.
Menurut Louis Ma'luf, kata "amama" bermakna di
depan, yang senantiasa diteladani. Orangnya disebut Imam^ sedangkan
imamahnya menurutnya bermakna kepemimpinan umat. Pengertian ini sejalan dengan
pengertian khilafah. Lebih jelas tentang definisi imamah yang
hampir sulit dibedakan dengan khalifah, sebagaimana dikutip Suyuti
Pulungan (1994:45), bahwa, kebanyakan imamah didefinisikan sebagai
"kepemimpinan menyeluruh yang meliputi urusan keagamaan dan keduniaan,
sebagai pengganti fungsi Rasul SAW. Begitu pun At-Taftzani seperti yang
dikemukakan Rasyid Ridha, imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan
dunia, yakni suatu khilafah yang diwarisi dari Nabi SAW. Senada pula dengan
ini, pendapat Al-Mawardi yang menyatakan bahwa, "Imamah dibentuk untuk
mengganti fungsi ke-Nabian memelihara agama dan mengatur dunia. (Munawir
SadzaH, 1991:63).
Deretan definisi imamah sebagaimana disebut di atas, sulit untuk
membedakannya dengan kata "khilafah". Hal ini diakui oleh
Qamaruddin Khan, bahwasanya penggunaan terma imamah dan khilf"yang
senantiasa dicampuradukkan sehingga membuat kebingungan tersendiri. la sendiri
mengusulkan agar hanya diartikan sebagai negara atau pemerintahan, lain tidak.
Adapun dari kalangan tokoh Syi'i yang banyak menggunakan terma imam
ketimbang terma lainnya, antara lain Ali Syariati, menyatakan, "Imamah
merupakan doktrin keagamaan yang mesti diterima dan diimani oleh seluruh umat.
Imamah bukan saja pengelola dan pemelihara masyarakat dalam bentuk
yang mandeg, tanggung jawab imamah yang paling utama dalam arti politik (siyasah)".
Kata-kata imam di dalam Al-Qur’an, baik
dalam bentuk mufrad/tunggal maupun dalam bentuk jama’ atau yang diidhofahkan
tidak kurang dari 12 kali disebutkan. Pada umumnya, kata-kata imam menunjukkan
kepada bimbingan kepada kebaikan, meskipun kadang-kadang dipakai untuk
seseorang pemimpin suatu kaum dalam arti yang tidak baik. SEPERTI:
QS.
Al-Taubah:12
فقا تلوا أ ئمة الكفر ( التو بة)
QS.
Al-Qashas: 41
.وجعلنا هم أئمة يدعو ن إلى النّا ر ويومالقيا مةلاينصرون ( القصص)
Ayat yang menunjukkkan imam sebagai ikutan
yang baik disebut di dalam: QS. Yasin:12 أحصيناه في إما م
مبين (يس) , QS. Al-Baqrah: 124 إنّي جا علك للنّاسإ ما
ما ( البقرة) , QS. Al-Hijr, QS. Al-Ahqaf: 12, Qs. Al-Ahzab:
12, Qs. Al-Furqan: 74, QS, Al-Anbiya: 73, QS. Al-Qashash: 5, QS.QS. Al- Iisra’:
71, QS. Al-Sajdah: 24. Di dalam hadist pun imam ada yang baik dan ada yang
buruk, dan imam yang baik adalah imam yang mencintai dan mendoakan rakyatnya
serta di cintai dan di doakan oleh rakyatnya, sedangkan imam yang buruk adalah
imam yang membenci rakyatnya dan dibenci serta dilaknat oleh rakyatnya. Oleh
karena itu, imam itu sesuatu atau orang yang diikuti oleh sesuatu kaum. Kata imam lebih
banyak digunakan untuk orang yang membawa kepada kebaikan. Di samping itu,
kata-kata sering dikaitkan dengan shalat, oleh karena itu didalam keputakaan
islam sering dibedakan antara imam yang berkedudukan sebagai kepala negara atau
yang memimpin umat islam dan imam dalam arti yang mengimami shalat. Untuk yang
pertama sering digunakan istilah al-imamah al-udhun atau al-imamah al-kubro
sedang untuk وجعلنا menyebut
seseorang yang memimpin di dalam bidang agama.
v
Adapun
kata-kata imamah dita’rifkan oleh al-mawardi dengan:
الامامة مو ضوعة لخلا فة النبوةفى حراسةالد ين
وسيا الدنيا.
“
Imamah adalah suatu kedudukan/jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas
kenabian di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia”.
v
Yusuf
Musa mensitir pendapat Ibnu khaldun tentang definisi khilafah yang disamakan
dengan imamah yaitu:
“
Al-Khilafah membawa/memimpin masyarakat sesuai dengan kehendak agama dalam
memenuhi ke-maslahatan akhiratnya dan
dunianya yang kembali kepada keakhiratan itu; karena hal ihwal keduniaan
kembali seluruhnya menurut Allah untuk ke-maslahatan akhirat. Maka kekhilafahan
itu adalah kekhilafahan dari pemilik syara’ di dalam memelihara agama dan
mengendalikan dunia”.
v
Definisi
lain dikemukakan oleh al-Iji sebagai berikut:
‘
Imamah adalah negara besar yang mengatur urusan-urusan agama dan dunia. Tetap,
lebih tepat lagi apabila dikatan bahwa imamah adalah pengganti nabi dalam
menegakkan agama”.
Dari definisi diatas ada beberapa hal
yang menjadi catatan kita: Pertama, para ulama ahlusunnah menyamakan pengertian
imamah dan khilafah. Kedua dfinisi di atas nampak jelas para ulama mendahulukan
masalah-masalah agama dan memelihara agama ketimbang persoalan duniawi. Hal ini
rupanya diperlukan untuk membedakan antara lembaga imamah/khilafah, dengan
lembaga-lembaga lainnya. Yang tidak bersifat islam, seperti muluk thobi’iy dan
muluk siyasi menurut istilah ibnu khaldun, atau khaisariyah dan kisrawiyah yang
terdapat pada masa itu. Di dalam sejarah islam, kita tahu bahwa gelar khalifah
banyak digunakan dari pada imam,
kecuali dikalangan orang-orang syiah. Abu bakar sidiq disebut khalifah, demikian umar ibnu
al-khattab, Ali dan Usman. Bahkan gelar khalifah ini digunakan pula di kalangan
bani ummayah dan abbasiyah.
Umar
ibnu al-khattab yang pertama kali menggunakan gelar amirul mukminin seperti
halnya abu bakar yang pertama kali menggunakan khalifah.
Di kalangan syiah “imam ialah shahibul
hak as-syar’iy, yang di dalam undang-undang modern dikatakan de jure baik yang
langsung memerintah atau tidak. Adapun lafadz khalifah, maka dia mula-mula
menunjukkan kepada yang mempunyai kekuasan dalam kenyataan, walaupun tidak
berhak, yang masa sekarang dinamakan de facto”.
Kata-kata khalifah baik dalam bentuk
mufrod maupun jama’ kita temukan juga dalam al-Qur’an seperti dalam:
1)
QS.al-baqarah:
30
2)
QS.
Shad: 26
3)
QS.
Al-an’am: 165
4)
QS.
Yunus: 14 dan 73
5)
QS.
Faathir: 39
6)
QS.
Al-araf: 69 dan 74
7)
Qs.
Al-naml: 62
Jelas kata-kata khalifah dalam
al-qur’an lebih menunjukan kepada fungsi
manusia secara keseluruhan dari pada kepada seseorang kepala negara. Kata
khalifah sebagai kepala negara adalah kepala negara “pengganti” Nabi di dalam
memelihara agama dan mengatur keduniawian. Dia tidak maksum, tidak mendapat
wahyu, tidak memonopoli hak dalam menafsirkan agama. Dia adalah manusia biasa yang dipercaya oleh
umat karena baik di dalam menjalankan
agamanya, bersifat adil seperti yang tampak dalam pribadi Abu bakar dan khulafa
al-rasyidin. Mereka secara bahasa tidak disebut dengan khalifatullah, tapi
khalifatu rasulillah karena yang diganti itu yang meninggal dunia, padahal
allah tetap hidup. Oleh karena itu pula, ketika abu bakar di panggil dengan
“wahai khalifatullah” beliau menjawab “ saya bukan khalifatullah tetapi
khalifatul rasulillah.
B.
HAK-HAK
IMAM:
Al-Marwadi menyebut dua hak imam, yaitu
hak untuk ditaati dan hak untuk di bantu. Akan tetapi, apabila kita mempelajari
sejarah, ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapat dari harta
baitul Mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut, sesuai dengan
kedudukannya sebagai imam.
Hak yang ke tiga ini pada masa abu bakar,
diceritakan bahwa setelah 6 bulan diangkat jadi khalifah, Abu bakar masih pergi
ke pasar untuk berdagang dan dari hasil dagangannya itulah beliau memberi
nafkah keluarganya. Kemudian para sahabat bermusyawarah, karena tidak mungkin
seorang khalifah dengan tugas yang banyak dan berat masih harus berdagang untuk
memenuhi nafkah keluarganya. Maka akhirnya di beri gaji 6.000 dirham setahun,
dan menurut yang lain di gaji 2.000 sampai 2.500 dirham.
Bagaimanapun perbedaan-perbedaan di dalam
jumlah yang diberikan kepada Abu Bakar satu hal adalah pasti bahwa kaum
muslimin pada waktu itu telah meletakkan satu prinsip penggajian (memberikan
gaji) kepada khalifah.
Hak-hak imam ini erat sekali kaitannya
dengan kewajiban rakyat. Hak untuk di taati dan untuk di bantu misalnya adalah
kewajiban rakyat untuk mentaati dan membantu, seperti tersurat di dalam al-qur’an.
Juga di dalam hadist disebut tentang kata
atau dan memberikan bantuan ini di antaranya: Wajib kepada setiap muslim untuk
mendengar dan taat kepada pemimpinna baik dia senang atau dia tidak senang
selama pemimpin itu tidak menyuruh melakukan maksiat. Apabila ia memerintahkan
untuk melakukan maksiat maka tidak perlu mendengarkan dan mentaatinya.
C.
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN
IMAM :
Islam sebagai
agama amal adalah sangat wajar apabila meletakkan focus of interestnya pada
kewajiban. Hak itu sendiri datang apabila kewajiban telah dilaksanakan secara
baik. Bahwa kebahagiaan hidup di akhirat akan diperoleh apabila
kewajiban-kewajiban sebagai manifestasi dari ketaqwaan telah dilaksanakan
dengan baik waktu hidup di dunia.
Demikian pula halnya dengan
kewajiban-kewajiban imam. Ternyata tidak ada kesepakatan di antara para ulama
terutama dalam perinciannya sebagai contoh akan dikemukakan, kewajiban imam
menurut al-Mawardi antara lain::
1)
Memelihara
agama, dasar-dasarnya yang telah ditetapkan dan apa-apa yang telah disepakati
oleh umat salaf.
2)
Mentafidzkan
hukum-hukum diantara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan
perselisihan sehingga keadilan terlaksana secara umum.
3)
Memelihara
dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tentram dan tenang berusaha
mencari kehidupan, serta dapat bepergian dengan aman, tanpa ada gangguan
terhadap jiwanya atau hartanya.
4)
Menegakkan
hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara
hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
5)
Menjaga
tapal batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani menerang dan
menumpahkan darah muslim atau non muslim yang mengadakan perjanjian damai dengan
muslim.
6)
Memerangi
orang yang menentang islam setelah dilakukan dakwah dengan baik-baik tetapi
mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula jadi kafir dzimi.
7)
Memungut
upah dan shadaqah sesuai dengan ketentuan syara’ atas dasar nash
atau ijtihad tanpa ragu-ragu.
8)
Menetapkan
kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari
baitul mal dengan wajar serta membayarkannya pada waktunya.
9)
Menggunakan
orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas
serta menyerahkan pengurusan kekayan negara kepada mereka. Akan pekerjaan dapat
dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta negara di urus oleh orang
yang jujur.
10) Melaksanakan sendiri tugas-tugasnya yang
langsung di dalam membina umat dan menjaga agama.
Yusuf Musa menambahkan kewajiban lain,
yaitu: Menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan, karena kemajuan umat sangat
tergantung pada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu keduniawian.
Yang penting ulil amri harus menjaga dan
melindungi hak-hak rakyat dan mewujudkan hak asasi manusia, seperti hak milik, hak hidup,
hak mengemukakan pendapat dengan baik dan benar, hak mendapatkan penghasilan
yang layak hak beragama dan lain-lain.
Di dunia islam sekarang ini, kriteria
kepala negara {presiden} juga sangat beragam. Di pakistan, misalnya, seseorang
dapat di pilih menjadi presiden dengan syarat: Muslim dengan sekurang-kurangnya
45 tahun { pasal 41 ayat 2 konstitusi pakistan}. Di Mauritina presiden
pun harus seorang muslim {pasal 23 konstitusi Republik meurintina 1991}.
Saudi arabia, pakistan brunei darussalam, libya, irak {konstitusi
1990} maurintinia dan malaysia menyebut islam sebagai agama resmi negara,
sedangkan indonesia mengatakan dalam pasal 29 uud 1945 {yang tidak
diamandemen}. Pada ayat 1, pasal tersebut, negara berdasar ketuhanan Yang Maha Esa, dan pada pasal 2,
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamnya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agaman dan kepercayaannya itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Khilafah dan
imamah mempunyai sejarah yang panjang dan penting didunia islam. Imamah atau
kepemimpinan ataupun pemerintahan, adalah sebuah tanggung jawab umum yang
dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat bagi umat yang merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat menjadi
tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada
syariat. Hakikatnya, sebagai fungsi pengganti rasul dalam memelihara agama dan
mengatur politik keduniaan. Pendefinisian imamah tersebut memperlihatkan adanya
hubungan timbale antara agama dan Negara, yakni saling memerlukan dalam
perkembangan masing-masing. Ia juga member pandangan, walaupun antara
memelihara agama, dan mengatur dunia, merupakan dua bidang aktivitas berbeda,
namun Negara atau politik tidak dapat diposahkan. Tetapi ditekankan pula,
aktivitas urusan agama dan urusan dunia harus dibuat seimbang, tidak boleh
timpang, keduanya saling terkait. Imamah mempunyai kewajiban-kewajiban yang
harus menjadi tanggung jawab penuh untuk dijalankan demi kemaslahatan umatnya.
B.
Saran
Tidak ada satupun
manusia yang tidak luput dari kesalahan, begitu juga pada makalah yang kami
susun ini, hanya dengan pengetahuan yang minim dan dari pengetahuan buku-buku
yang kami baca menjadi modal untuk kami menyelesaikan makalah ini, mungkin
masih banyak yang harus kami bahas didalam makalah ini, dan masih banyak
kekurangan-kekurangan dalam makalah ini, dari kami meminta saran yang dapat
membangun dan membenahio makalah yang kami susun ini, sehingga kami mengetahui
dimana saja kesalahan yang dapat kami revisi dan tidak terjadi kesalahan dalam
makalah setelahnya.
Daftar Pustaka
Al-Mawardi, Imam, al-Ahkam
as-Sulthiniyah, Jakarta: Darur Falah, 2002
Widodo, Amin, Fiqih Siyasah, Jogjakarta:
PT. Tiara Wacana Jogja, 1994
A.Djazuli, Fiqih Siyasah, Bandung: Kencana,
2003
Pulungan, J. suyuthi, Fiqih Siyasah Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
http://www.maracutes.blogspot.com/harahap/2013/09/al-imamah
Komentar
Posting Komentar