Fiqh tentang Pernikahan (Pengertian dan hukum Perkawinan versi 4 Madzhab)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nikah
adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan yang amat
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat
dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan
kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan
antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya
pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan keturunannya, melainkan
antara dua keluraga. Dari baiknya pergaulan antara suami dengan isterinya,
kasih-mengasihi, akan berpindah kebaikan itu kepada semua keluarga dari ke dua
belah pihak tersebut, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan
bertolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala
kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
PERKAWINAN SECARA BAHASA
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata
“kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis;
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga
“pernikahan”, berasal dari kata nikah (نكاح) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,
saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi)[1]. Sedangkan nikah diartikan dengan
perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri (dengan resmi),
perkawinan. Pernikahan adalah hal (perbuatan), upacara nikah.[2]
Pernikahan secara bahasa juga dapat di artikan
berkumpul, bersetubuh, dan aqad[3].
Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN Pasal 2 menerangan
bahwa Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakan-Nya
merupakan ibadah.[4]
B. PEKAWINAN
MENURUT ISTILAH SYARA’
Menurut istilah hukum islam terdapat beberapa
definisi perkawinan/pernikahan, diantaranya:
الزَّوَاجُ
شَرْعًا هُوَ عَقْدٌ وَضَعَهُ الشَّارِعُ لِيُفِيْدُ مِلْكَ اسْتِمْتَاعِ الرَّجُلِ
بِالمَرْأَةِ وَحِلَّ اسْتِمْتَاعِ المَرْأَةِ بِالرَّجُلِ .
“Perkawinan
menurut istilah syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan
bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.
Abu Yahya Zakariya Al Anshari mendefinisikan:
اَلنِّكَاحُ
شَرْعًا هُوَ عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْئٍ بِلَفْظِ اِنْكَاحٍ أوْنَحوِهِ
“Nikah
menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan seksual dengan lafazd nikah atau dengan kata-kata yang semakna
dengannya.”
Definisi
yang dikutip Zakiyah Daradjat :
عقدٌ يتضمَّنُ إباحةَ
وطْئٍ بلفظِ النَّكَاحِ أوالتّزْويْجِ أو مَعْنَا هُمَا
“Akad
yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau tazwij atau semakna
dengannya “.
Dalam
kaitan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas yang juga
dikutip oleh Zakiah Dradjat :
عَقْدٌ
يُفِيْدُ حَلً اْلعُشْرَةِ بَيْنَ الرَّجُلِ والْمَرأَةِ وَتَعَاوُنُهُمَا وَيُحَدُّ
مَا لِكَيْهِمَا مِنْ حُقُوْقٍ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ وَاجِبَا تٍ
“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga ( suami isteri ) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong
dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi
masing-masing”.
“Pernikahan
ialah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta
tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan
mahram”[5].
Perkawinan
juga diartikan sebagai pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama[6].
Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari:
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang
berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan
hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif
dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti
makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara
anarkhi tanpa aturan.
Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan
manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan
antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa
saling meridhai, dengan ucapan ijab qobul sebagai lambang adanya rasa
ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan
laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk perkawinan ini telah
memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik,
dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh
binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami isteri menurut ajaran islam
diletakkan dibawah naluri keibuan dan kebapaan sebagaimana ladang yang baik
yang nantinya menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah
yang baik pula.
C. HUKUM
PERKAWINAN
Pada dasarnya hukum menikah adalah mubah (boleh)[7].
Akan tetapi, hukum mubah ini bisa berubah menjadi salah satu dari empat hukum
lain, yaitu : wajib, haram, sunnah, dan makruh, sesuai dengan situasi dan
kondisi seseorang yang akan melaksanakannya. Ketentuan ini berdasarkan dalil
berikut :
1.
Firman Allah
dalam Q.S.An-Nur ayat 32:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3
Artinya
: “ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-rang yang layak
(untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan
kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS.An-Nur:32)
2. Firman
Allah dalam Q.S. An-Nisa’ : 3
قَالَ
اللهُ تَعَالَى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ.
Artinya : “Allah swt
berfirman : “Nikahlah kalian dengan seorang perempuan yang menurut kalian baik
(cantik)”. (Q.S. An-Nisa’ : 3)
3. Hadits
Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam Bukhori :
عَنْ
عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ,عَنْ عَبْدِاللهِ
قَالَ,قَالَ لَنَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. ( رواه البخاريّ )
Artinya
: “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah, ia berkata : Rasulullah
saw bersabda kepada kami : “Wahai orang-orang muda, siapapun dari kamu semua
yang sudah mampu biaya nikah, maka nikahlah. Sesungguhnya nikah lebih bisa
menutup mata (dari melihat hal-hal yang haram) dan lebih menjaga farji (dari
zina). Bagi yang tidak mampu, berpuasalah, sesungguhnya puasa itu bisa menjaga
(dari zina).” (H.R.Bukhori)
4. Hadits
Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam Abdur Razzaq :
عَنْ سَعِيْدِ بنِ أَبِيْ
هِلاَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَنَا كَحُوْا
تَكْثُرُوْا,فَإِنِّيْ أَبَاهِيْ بِكُمُ اْلاُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .(رواه عبد الرزاق)
Artinya
: dari said bin abi hilal bahwasanya
Nabi saw bersabda : “menikahlah kamu sekalian maka kamu akan menjadi banyak
keturunan karena sesungguhnya aku akan membanggakan diriku dengan adanya kalian
atas umat terdahulu pada hari qiamat”.(HR.Abdur Rozaq)
Tentang melakukan perkawinan Ibnu Rusyd menjelaskan:
Segolongan fuqoha’ yakni jumhur (mayoritas ulama’)
berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutakhkhirin
berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian
lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka
ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.
Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan
adanya penafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadist yang
berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnat ataukah.
Ayat
tersebut adalah:
(#qßsÅ3R$$sù …. $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( …..
….
maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat ...
(QS.AN
NISA’ : 03)
Diantara hadits nabi yang berkenaan dengan nikah adalah:
تَنَا
كَحُوْافَاَنِّى مُكَا ثِرٌ بِكُمُ اْلأَمَمُ ....
"Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu
kawin, aku akan berlomba lomba dengan
umat-umat yang lain....[8]
Al Jaziri mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan
orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’
yang lima, ada kalanya wajib, haram,
makruh, sunnat, dan adakalanya mubah.
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa asal hukum nikah adalah
mubah, disamping ada sunnat, wajib, haram dan makruh.[9]
Di indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa
hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi
pendapat ulama Syafi’iyah.
Terlepas dari pendapat imam imam madzhab,
berdasarkan nash-nash, baik Al Qur’an maupun As-Sunnah , islam sangat
menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun
demikian, jika dilihat dari segi kondisi
orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanaknnya, maka melakukan perkawinan
itu dapat berlaku wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah.
1. Melakukan
perkawinan hukumnya wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut
adalah wajib. Apabila tidak segera menikah maka akan mendapat dosa. Hal ini
didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk
tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan
perkawinan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan
itupun wajib sesuai dengan kaidah:
مَالاَ
يَتِمُّ الوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَجِبٌ
“sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali
dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga”
Kaidah lain mengatakan:
لِلوَ
سَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدُ
“sarana itu hukumnya sama dengan hukum yang dituju”
Hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut
merupakan hukum sarana sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari
perbuatan maksiat.
2.
Melakukan
pernikahan hukumnya sunnah
Orang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan perkawinan, tetaapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan
berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah
sunnat. Jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Alasan menetapkan hukum sunnat itu ialah dari anjuran Al Qur’an seperti
tersebut dalam surat An Nur ayat 32 dan hadist Nabi yang diriwayatkan Bukhari
dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud yang dikemukakan dalam menerankan sikap
agama Islam terhadap perkawinan. Baik ayat Al Qur’an maupun As-Sunnah tersebut
berbentuk perintah Nabi tidak memfaedahkan hukum wajib, tetapi hukum sunnat
saja.
3.
Melakukan
perkawinan yang hukumnya haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak
mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah
dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan pekawinan bagi orang tersebut
adalah haram. Jika pernikahan tersebut dilaksanakan maka akan berdosa. Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 195 melarang orang
melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan:
wur..... (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ .....
......dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan...
Termasuk juga hukumnya haram perkawinan bila
seseorang kawin dengan maksud menelantarkan orang lain, masalah wanita yang
dikawini ini tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat kawin dengan orang
lain.
4.
Melakukan perkawinan
yang hukumnya makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja
orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban
suami isteri dengan baik. Apabila perkawinan itu ditinggalkan akan mendapat
pahala, dan jika dilakukan tidak berdosa.
5.
Melakukan
perkawinan yang hukumnya mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat
zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan isterinya.
Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan
dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga yang sejahtera. Jika
dilaksanakan tidak ada sanksi apa-apa, yakni tidak mendapat pahala dan tidak
berdosa.
Namun, dalam hal ini, ada perbedaan pandangan
diantara para ulama’ dalam memberikan syarat dan kriteria lima hukum nikah
tersebut[10].
1. Versi
Imam Hanafi
a. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib apabila terpenuhi 4 syarat
:
1) Ada
keyakinan terjadi zina apabila tidak menikah.
2) Tidak
mampu berpuasa, atau mampu akan tetapi puasanya tidak mampu menolak terjadinya
zina.
3) Tidak
mampu memiliki budak perempuan (amat) sebagai ganti dari isteri.
4) Mampu
membayar mahar dan memberi nafkah.
b. Sunnah
Muakkad
Hukum nikah akan menjadi sunnah muakkad apabila
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1)
Ada keinginan
menikah, tetapi kalaupun tidak menikah, tidak ada kekhawatiran atau kepastian
berbuat zina.
2)
Memiliki biaya
untuk mahar dan mampu memberi nafkah.
3)
Mampu untuk
jima’ (mengumpuli isterinya).
Apabila seorang sudah memenuhi syarat sunnah
muakkaddah dan ia tidak menikah, maka ia akan berdosa, namun masih tergolong
dosa kecil (dibawah dosa nikah wajib).
c. Haram
Hukum nikah menjadi haram apabila berkeyakinan kalau
setelah menikah akan memenuhi kebutuhan nafkah dengan jalan yang haram, seperti
dengan berbuat dzalim pada orang lain. Faktor keharaman tersebut karena
tujuan menikah adalah untuk
kemaslahatan, sedangkan mencari nafkah dengan cara tidak halal menurut syara’
dianggap sebagai madhorot (tindakan merugikan).
d. Makruh
Tahrim
Hukum menikah menjadi makruh tahrim apabila setelah
menikah ada kekhawatiran akan mencari
nafkah dengan jalan haram.
e. Mubah
Hukum nikah menjadi mubah apabila tujuan menikah hanya
ingin memenuhi kebutuhan syahwat saja, bukan karena khawatir akan melakukan
zina.
2. Versi
Imam Maliki
a. Wajib
Hukum nikah
menjadi wajib apabila memenuhi 3 syarat :
1) Khawatir
melakukan zina.
2) Tidak
mampu berpuasa atau mampu tapi puasanya tidak bisa mencegah terjadinya zina.
3) Tidak
mampu memiliki budak perempuan (amat) sebagai pengganti isteri dalam istimta’.
b. Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila khawatir zina
dan tidak mampu memberi nafkah dari harta yang halal atau tidak mampu jima’,
sementara isterinya tidak ridho.
c. Sunnah
Hukum menikah menjadi sunnah apabila tidak ingin
menikah dan ada kekhawatiran tidak mampu melaksanakan hal-hal yang wajib
baginya atau ada kekhawatiran tidak bisa melaksanakan hal-hal sunnah, baik ia
mengharapkan keturunan ataupun tidak.
d. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila tidak ingin
menikah dan tidak mengharapkan keturunan, sedangkan ia mampu menikah dan tetap
bisa melaksanakan hal-hal sunnah.
3. Versi
Imam Syafi’i
a. Wajib
Hukum menikah menjadi wajib apabila :
1) Ada
biaya (mahar dan nafkah).
2) Khawatir
berbuat zina bila tidak menikah.
b. Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila memiliki
keyakinan bahwa dirinya tidak bisa untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang
ada didalam pernikahan, seperti tidak mampu mencari nafkah.
c. Sunnah
Hukumnya menikah menjadi sunnah apabila ada
keinginan menikah dan ada biaya (mahar dan nafkah) dan mampu untuk melaksanakan
hal-hal yang ada dalam pernikahan.
d. Makruh
Hukum menikah menjadi makruh apabila tidak ada
keinginan untuk menikah, tidak ada biaya dan ia khawatir tidak bisa
melaksanakan hal-hal yang ada dalam pernikahan.
e. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila ia menikah hanya
semata-mata menuruti keinginan
syahwatnya saja.
4. Versi
Imam Hanbali
a. Wajib
Hukum menikah menjadi wajib apabila ada kekhawatiran
berbuat zina bila tidak menikah, baik
dia mampu menanggung biayanya (mahar dan nafkah) ataupun tidak.
b. Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila menikah ditempat
yang sedang terjadi peperangan.
c. Sunnah
Hukum nikah menjadi sunnah apabila seseorang
berkeinginan menikah, dan juga ia tidak khawatir berzina andaikan tidak
menikah.
d. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila seseorang tidak
berkeinginan menikah, seperti orang tua atau menderita impoten dengan
syarat hal-hal tersebut tidak
menyebabkan madharat pada isteri.
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian pernikahan/perkawinan menurut bahasa
adalah berkumpul, bersetubuh, aqad, sedangkan menurut istilah syara’ adalah
suatu aqad yang memiliki beberapa syarat dan rukun. Hukum asal menikah adalah
mubah, tetapi ditinjau dari segi keadaan orang tersebut, baik segi lahir maupun
segi batin, maka hukum pernikahan bagi setiap orang bisa berbeda-beda :
1. Pernikahan
hukumnya wajib apabila seseorang telah mempunyai kemampuan dan merasa khawatir
akan terjerumus ke lembah maksiat.
2. Pernikahan
hukumnya sunnah apabila seseorang telah mempunyai kemampuan tetapi ia tidak
merasa khawatir akan terjerumus ke dalam perbuatan zina.
3. Pernikahan
hukumnya haram apabila dilakukan oleh seseorang yang tidak mampu dan pernikahan
dilaksanakan untuk menganiaya wanita yang dinikahi.
4. Pernikahan
hukumnya makruh apabila pria yang akan menikah merasa dirinya akan berbuat
dzalim terhadap wanita yang akan dinikahi.
5. Pernikahan
hukumnya mubah apabila seseorang tidak
merasa khawatir akan terjerumus ke lembah maksiat dan juga tidak akan berbuat
dzalim terhadap isterinya, sementara keinginannya untuk kawin tidak begitu kuat
dan tidak ada halangan untuk menikah.
DAFTAR PUSAKA
Rasjid, Sulaiman.1994.FIQIH ISLAM (Hukum Fiqh
Islam).Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Ghozali, Abdul Rohman.2008.FIQH MUNAKAHAT.Jakarta
: Kencana.
Syarifudin, Amir.2001.HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI
INDONESIA: Antara Fiqh Munakahat dan Undang Undang Perkawinan.Jakarta:
Kencana.
Ma’ruf, Tolhah.Hasan,Fu’ad,dkk.2008.FIQH
IBADAH (Panduan Lengkap Beribadah Versi
Ahlussunnah).Kediri: Lembaga Ta’lif Wannasyr PP.Al Falah Ploso.
Musthofa,Bisri.1976.TERJEMAH BULUGHUL MARAM,JUZ
3-4.Kudus: Menara Kudus.
Huda,Qomarul & Fadhilah,Nur.2009.KOMPILASI
HUKUM ISLAM.Tulungagung: PLPT STAIN TULUNGAGUNG.
Manan,Abdul.2011.FIQIH LINTAS MADZHAB JUZ 4.Kediri:
Lembaga Ta’lif Wannasyr PP.Al Falah Ploso.
Subekti.2003.POKOK-POKOK HUKUM PERDATA.Jakarta:PT.Intermasa.
[1] Abdul Rahman Ghozali,Fiqh
Munakahat, (Jakarta:Kencana,2008),cet.ke-3,edisi pertama,hal.7.
[2] Nur Fadhilah dan Qomarul Huda,Modul
Fiqh Munakahat,(PLPT STAIN TULUNGAGUNG,2009),hal.2.
[3] Tolhah Ma’ruf,Fu’ad Hasan,dkk,Fiqh
Ibadah (Panduan Lengkap Beribadah Versi Ahlussunnah), (Kediri:Lembaga
Ta’lif Wannasyr PP.Al Falah Ploso,2008),hal.317.
[4] Pembinaan Badan Peradilan Agama,
Kompilasi Hukum Islam Indonesia.(Jakarta:DEPAG,
1999).hal.14
[5]
Sulaiman Rasjid, FIQIH
ISLAM (Hukum Fiqh Islam),(Bandung : Sinar Baru Algensindo,1994), hal.374.
[6] Subekti,Pokok-pokok hukum
perdata,(Jakarta:Intermasa,2003),hal.23.
[7] Tolhah Ma’ruf,Fu’ad Hasan,dkk,Fiqh
Ibadah (Panduan Lengkap Beribadah Versi Ahlussunnah),hal.317.
[8] Abdul Rahman Ghazali, Fiqih
Munakahat, hal 17.
[9] Ibid, hal 18.
[10] Abdul Mannan,Fiqih Lintas
Madzab, (Kediri:Lembaga Ta’lif Wannasyr PP.Al Falah Ploso,2011),hal.5.
Komentar
Posting Komentar