Diskursus Formalisasi Syari'at Islam

DISKURSUS FORMALISASI SYARIAT ISLAM
Pengalaman Umat Islam Indonesia
A.     Pendahuluan
Semangat untuk menegakkan  syariat Islam di Indonesia tampaknya tidak pernah padam. Hal ini tampak dari sejarah pergulatan politik nasional. Memang syariat Islam telah menjadi sejarah bangsa Indonesia. Semenjak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan  syariat di daerahnya. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan  Islam yang ada masih berusaha menegakkannya, walaupun secara berangsur-angsur  hukum Barat ataupun adat diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan penegakan syariat Islam sebagai cita-cita.
Setelah Indonesia merdeka, usaha pemberlakuan  syariat Islam tidak juga berhenti. Ada yang dengan berangsur-angsur  menegakkannya  dalam kehidupan politik, seperti misalnya perjuangan diberlakukannya Piagam Jakarta di dalam Majelis Konstituante.  Dan, terus-menerus  diperjuangkan umat Islam secara politik dan kultural meski belum berhasil memberlakukan syariat Islam secara  totalKendati  demikian,  di pertengahan  terakhir masa Orde Baru berkuasa, beberapa ketentuan syariat Islam sudah bisa diakomodir oleh negara.
Wacana tentang formalisasi syariat Islam dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan  topik kontekstual bagi dunia politik Indonesia. Setidaknya ada tiga kondisi  yang membuat  wacana  seputar  formalisasi  syariah  kini menjadi sangat kontekstual. Pertama, adanya upaya sebagian partai politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2002 untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945 dengan memasukkan “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan  syariat  Islabagi pemeluk-pemeluknya) dalam  Piagam Jakarta agar formalisasi syariah mempunyai landasan konstitusional  yang jelas di Indonesia. Kedua, adanya  formalisasi  beberapa  elemen  syraiah Islam oleh birokrat  pada sebagian  daerah  di Indonesia,  sepertpropinsi Nanggroe  Aceh  Darus  Salam  (NAD),  jugdi Kabupaten  Cianjur  dan Tasikmalaya di Jawa Barat. Patut dicatat pula adanya upaya-upaya untuk memformalisasikan syariah Islam di tempat lain seperti di Sulawesi Selatan. Ketiga, adanya seruan dan kampanye untuk mengajak masyarakat  untuk memformalisasikan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan,  seperti yang dilakukan  beberapa  kelompok  dan gerakan  Islam, misalnya  Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia.
Tetapi perlu diingat bahwa perdebatan seputar penegakkan syariat Islam ini akan terus memperpanjang konflik antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam, kalau seandainya bisa memasukkan syariat sebagai hukum publik di Indonesia, banyak masalah besar yang akan menghadang. Nah, di sinilah tampaknya kita perlu mengedepankan maslahah. Ada kaidah ushul fiqh yang patut untuk kita kedepankan; menarik kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan (jalb al masalih muqoddamun ‘ala daf’ al mafasid) dan kaedah ke dua, apabila ada dua pilihan yang tidak menguntungkan, ambillah mana yang paling sedikit madharatnya, (akhafu al darurain).


B.     Dinamika Formalisasi Syariat Islam
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa formalisasi syariat islam telah terjadi sebelum indonesia merdeka, bahkan Semenjak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan  syariat di daerahnya. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan  Islam yang ada masih berusaha menegakkannya, walaupun secara berangsur-angsur  hukum Barat ataupun adat diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan penegakan syariat Islam sebagai cita-cita.Setelah Indonesia merdeka, usaha pemberlakuan  syariat Islam tidak juga berhenti sampai sekarang ini.
Dalam konteks Indonesia, formalisasi syariat Islam yang cukup gencar tersebut telah   menimbulkan pro dan kontra. Salah  satu pandangan  berusaha mementahkan ajakan formalisasi syariat Islam. Penolakan formalisasi syariah ini diungkapkan dengan berbagai argumentasi dan dalil. Misalnya, ada yang mengatakan  bahwa Indonesia  adalah masyarakat  plural, tidak hanya muslim, maka formalisasi syariat Islam yang berlaku umum tidak dapat diterima. Ada pula yang menyatakan  bahwa formalisasi  syariat Islam berarti intervensi negara terhadap kehidupan beragama yang seharusnya bersifat privat dan individual. Ada pula yang menolak formalisasi syariat Islam karena syariat Islam tidak sesuai dengan modernitas dan kehidupan publik, misalnya Hukum Internasional, Hak-Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan sebagainya.
Perdebatan soal formalisasi syariat Islam di Indonesia semakin marak setelah dua partai Islam, PPP dan PBB sebagaimana telah diungkapkan di atas, mengusulkan dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam amandemen UUD 1945. Lebih dari itu, sejumlah Ormas Islam minus Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyuarakan aksi tuntutan kembalinya Piagam Jakarta, yang berarti pula formalisasi syariat Islam di tanah air. Tampak sekali tuntutan ini membawa pengaruh di sejumlah daerah. Dimulai dari Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) yang pertama kali secara khusus memberlakukan syariat Islam secara  formal,  kini daerah  lain sudah  ancang-ancang  mengambil keputusan  serupa,  seperti  di Cianjur,  Tasikmalaya,  Sulawesi  Selatan, Sumatera Barat, dan Pamekasan. Semua ini menunjukkan betapa seriusnya sosialisasi formalisasi syariat Islam yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam.
Sementara di sisi lain, ada kelompok Islam yang menolak formalisasi syariat Islam. Biasanya mereka ini adalah kelompok yang selama ini menggagas  pluralisme,  inklusivisme,  toleransi,  dan kulturalisasi  Islam. Tak berlebihan jika kelompok Islam ini secara tegas justru  menginginkan deformalisasi syariat Islam. Syariat Islam secara formal tidaklah perlu. Karena yang menjadi poin mendasar keber-islaman di Indonesia adalah komitmen kepada agama secara substansialistik, bukan legalistik-formalistik, termasuk di dalamnya acuan syariat agamanya.
Pemikiran deformalisasi di atas didasarkan pada kenyataan riil, syariat sudah terakomodasi  secara formal, seperti Undang-undang  Perkawinan, Undang-undang Zakat, Undang-undang Haji, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan sejumlah  produk  perundang-undangan lainnya.  Syariat  Islam pun sudah dipraktekkan  umat Islam, seperti   salat, zakat, dan haji, tanpa perlu diperintah oleh negara. Indonesia ini bukanlah negara agama atau tegasnya bukan negara Islam, sehingga tidak layak memberlakukan syariat Islam secara formal dan total. Indonesia adalah negara plural yang menampung banyak agama, tidak hanya Islam. Sehingga  produk  perundang-undangannya tidak boleh eksklusif  secara keseluruhan,  tetapi menampung  aspirasi  agama-agama  lain. Belum lagi problem mendasar dalam memahami syariat Islam. Perbedaan mazhab fiqh akan banyak menimbulkan perbedaan hukum. Inilah yang menyebabkan gagasan formalisasi syariat Islam tidak tepat dan a-historis di bumi nusantara ini.
Sedikitnya,  ada tiga arus besar yang mengemuka  dalam menyikapi formalisasi  syariat  Islam.  Pertama,  arus formalisasi  syariat. Kelompok ini menghendaki  agar syariat Islam dijadikan landasan riil berbangsa dan bernegara. Pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945 menjadi salah satu target utamanya. Kedua, arus deformalisasi syariat.13   Kelompok ini memilih pemaknaan syariat secara substantif. Pemaknaan syariat tidak serta-merta  dihegemoni  negara,  karena  wataknya  yang represif.  Syariat secara individu sudah diterapkan,  sehingga formalisasi  dalam UUD 1954 tidak mempunyai alasan kuat dalam ranah politik. Ketiga, arus moderat. Kelompok  ini dikesankan  mengambil  jalan tengah:  menolak  sekularisasi dan islamisasi, karena budaya masyarakat  muslim Indonesia mempunyai kekhasan  tersendiri.  Sekularisasi  dan  Islamisasi  merupakan  barang impor yang tidak cocok dengan identitas masyarakat, sehingga keduanya berpotensi untuk melakukan indoktrinsasi dan ideologisasi.
Akan tetapi terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasan formalisasi syariat Islam di atas, yang jelas kesulitan dalam merealisasikan formalisasi syariat tersebut di atas hingga kini, belum ada satu negara pun di dunia yang dapat dipakai sebagai acuan dalam pelaksanaan  syariat Islam. Di samping  itu, persoalan  mendasar  yang  perlu  dipertanyakan  berkaitan dengan formalisasi syariat ini adalah menyangkut level atau ruang lingkup kehidupan, apakah formalisasi syariat Islam diberlakukan  untuk mengatur kehidupan individu, masyarakat dalam arti komunitas (kelompok ) tertentu atau warga  negara  Indonesia  secara  keseluruhan?  Tiga persoalan  ini penting dipertanyakan karena perdebatan seputar formalisasi syariat Islam yang muncul  selama  ini di Indonesia  kurang  menyentuh  tiga persoalan tersebut.
Persoalan mendasar lainnya yang dihadapi para pendukung formalisasi syariat Islam di Indonesia adalah masalah pengertian atau definisi syariat Islam itu sendiri, karena tanpa proses pendefinisian  yang jelas, dapat dan dalam kebanyakan kasus akan bertabrakan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Tiga aspek hak asasi manusia  yang paling banyak  berkaitan dengan  penerapan  dan formalisasi  syariat  Islam  adalah  pembatasan terhadap kebebasan beragama, diskriminasi terhadap perempuan,  dan diskriminasi terhadap Non-Muslim.
Terdapat beberapa masalah yang berhubungan dengan formalisasi syariat islam, yaitu :
1.      Formalisasi  Syariat  dan  Masalah  Kebebasan Beragama
Masalah pembatasan terhadap kebebasan beragama dapat timbul dari hukum riddah atau murtad, yakni keluar dari agama Islam. Seperti tampak, hukum murtad ada dalam hukum kriminal  yang diundangkan di sejumlah negeri Muslim, misalnya di Kelantan dan Terengganu. Riddah atau murtad dalam hal ini mengacu  kepada   ketentuan  hukum hudud ( hukum-hukum  yang teks dan ketentuan hukumnya jelas dan tegas tertulis dalam al-Qur’an dan Hadis).
Di dalam fiqh, semua mazhab besar memang menetapkan hukuman mati bagi yang murtad, walaupun  mereka  berbeda  pendapat  mengenai bentuk hukuman matinya- dirajam, dibakar, disalib, disembelih, diusir/ ekskomunikasi, atau disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh. Namun, ada perbedaan pendapat tentang apakah murtad termasuk ke dalam kategori hadd atau tidak. Sebagai contoh, Imam Syafi’i tidak memasukkannya ke dalam kategori hudud, sementara sebagian ulama klasik memasukkannya.
2.      Formalisasi Syariat dan Kedudukan Non-Muslim
Salah satu persoalan yang juga tidak kalah penting dan erat hubungannya dengan formalisasi syariat adalah persoalan bagaimana kedudukan  Non-Muslim  dalam negara  yang menerapkan  syariat  secara formal.  Formalisasi  syariat  Islam juga menimbulkan  masalah  tersendiri bagi non- Muslim. Dalam hal ini, mereka mendapatkan status zimmi yang dalam praktek penerapan syariat Islam serupa dengan status warga negara kelas dua. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip kewarganegaraan yang menjadi norma masyarakat  internasional  dewasa ini. Di dalam fiqh klasik, pengertian zimmi sebenarnya bervariasi dan membuka peluang bagi berkembangnya  konsep kewarganegaraan  modern di dunia Muslim. Akan tetapi, bentuk tafsiran yang dipilih dalam berbagai penerapan syariat Islam justru membatasi dan mempersempit pengertiannya.
3.      Formalisasi Syariat dan Kedudukan Perempuan
Formalisasi syariat juga berimplikasi terhadap posisi kaum perempuan. Bagi masyarakat Muslim sendiri, bahaya diskriminasi terhadap perempuan yang timbul karena formalisasi  syariat Islam adalah masalah yang paling pelik. Sebab, di satu sisi syariat Islam memberi perempuan status yang setara dengan laki-laki. Banyak ulama, yang umumnya laki-laki, juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang memuliakan  perempuan. Akan tetapi, di sisi lain, perempuan sering kali menjadi korban pertama formalisasi syariat Islam.
4.      Formalisasi Syariat dan Konflik antar Komunitas Keagamaan
Persoalan krusial lainnya yang juga terkait dengan formalisasi syariat adalah  konflik  antar komunitas  keagamaan.  Penerapan  syariat  Islam di beberapa negeri Muslim  juga memicu konflik antar komunitas keagamaan.
5.      Formalisasi Syariat dan Krisis  Konstitusi
Formalisasi  syariat juga tidak dapat dipisahkan  dari persoalan krisis konstitusi di berbagai negara yang menerapkan syariat Islam. Selain itu, juga di Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada NAD untuk memberlakukan syariat Islam secara formal. Karena itu, hal ini perlu mendapat  perhatian semua pihak sehubungan dengan penerapan syariat di NAD.
Di Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada NAD untuk antara lain memberlakukan syariat Islam secara formal, juga dapat menimbulkan krisis konstitusi, karena berbagai  peraturan perundang-undangan yang diterbitkan di daerah tersebut berseberangan dengan undang-undang lainnya, sekalipun ada mandate yang bersumber dari UU otonomi khusus  NAD. Sementara sejumlah peraturan daerah (Perda) bernuansa syariat yang diundangkan beberapa pemerintah  daerah di Indonesia  juga   dipandang  bertentangan dengan  undang-undang  yang lebih tinggi.  Pemerintah pusat, dalam kasus ini,  telah mengeluarkan perintah agar peraturan daerah- peraturan daerah tersebut dicabut oleh pemerintah  daerah dan dewan legislatif lokal kalau tidak, pemerintah pusat mengancam  akan membatalkannya.
Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa formalisasi syariat di alam demokrasi akan menjadi kendala bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang damai, adil, setara dan berkeadaban. Paling tidak yang menjadi karakter dari formalisasi  syariat.  Pertama,  anti-pluralisme.  Pemaknaan  terhadap agama yang bersifat eksklusif dan menyalahkan  yang lain, akan menjadi tantangan bagi pluralisme. Kelompok pendukung formalisasi syariat masih mengimpikan  adanya pembagian territorial antara wilayah muslim (dar al- Islam) dan wilayah kafir (dar al-harb), selain kecenderungan memaknai Islam secara eksklusif. Mereka menghidupkan kembali identitas muslim dan kafir, yang paling benar hanyalah agama yang dianutnya, sedangkan agama yang lain dianggapnya  kafir, zionis dan lain-lain. Dalam banyak hal, pemihakan ditujukan hanya dalam hal-hal yang menyangkut syariat normatif, sedangkan pada masalah-masalah  kemanusiaan  tidak sekonsern  pada hal-hal yang berkaitan dengan syariat, seperti formalisasi syariat. Karena itu, ditengarai kelompok  formalisasi  syariat menjadi hambatan  bagi dialog antaragama, disebabkan kecenderungan   pada perang dan jihad.
Kedua, anti HAM. Hal ini berkaitan dengan hukum-hukum pidana Islam yang berseberangan  dengan HAM, seperti potong tangan, rajam, hukum gantung  dan lain-lain.  Kelompok  formalisasi  syariat menganggap  bahwa hukum pidana Islam (al-hudud) merupakan hukum Tuhan. Karenanya, dalam hukum pidana Islam tidak ada tawar-menawar  untuk menafsirkan  syariat yang emansipatoris.
Ketiga, anti-kesetaraan jender. Kalangan formalisasi syariat akan mempedomani doktrin-doktrin keagamaan yang mengindikasikan keterbatasan  ruang lingkup  perempuan.  Atas dasar syariat  dan kodrat, perempuan hanya hidup dalam tembok yang terbatas. Kasus Taliban, Arab Saudi dan beberapa negara Teluk menjustifikasi adanya peminggiriran peran perempuan dalam ruang publik. Realitasnya, syariat dijadikan landasan untuk menindas perempuan, baik secara struktural maupun kultural. Pemahaman literal terhadap  teks-teks  keagamaan  melegitimasi  kekerasan  domestik, sebagaimana  terjadi  pada  masyarakat  tradisional.  Dalam  masyarakat moderen pun, teks-teks menjadi alat untuk melegetimasi  penindasan  dan eksploitasi perempuan dalam proyek kapitalisasi. Penindasan terhadap kaum buruh, otomatis di dalamnya terdapat kaum perempuan sebagai kalangan mayoritas. Teks-teks keagamaan yang tidak sensitif gender akan menjadi hambatan serius bagi terwujudnya kesetaraan gender.

C.     Perspektif Kritis
Berikut  perspektif  beberapa gerakan/organisasi mengenai formalisasi syariat islam di Indonesia :
  1. Hizbut Tahrir Indonesia dan Khilafah Islamiyah
Wacana gerakan formalisasi syariat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI merupakan bagian dari jaringan Hizbut Tahrir (HT), sebuah partai politik sekaligus gerakan Islam yang bergerak secara internasional di lebih dari 40 negara. HTI selama ini terlihat paling gencar dalam mengkampanyekan penegakan syariat Islam. Di Indonesia, hanya HTI yang selama ini berani mengusung tuntutan  perjuangan “Pembentukan Khilafah Islamiyah” yang ingin menyatukan seluruh dunia Islam berada dalam satu  bingkai  negara Khilafah.
HT didirikan pada tahun 1953 di Al- Quds (Yerussalem) Palestina oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1908-1977). Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani merupakan seorang pemikir sekaligus politikus ulung. Ia juga adalah seorang Qadli pada Mahkamah Isti’naf (Mahkamah Banding) di Al-Quds.
Paradigma keagamaan HT dalam memandang relasi antara agama dan negara dapat digolongkan ke dalam paradigma formalistik (integralistik). Bagi HT, syariat Islam telah mengatur segala urusan tanpa terkecuali, baik mengenai hubungan manusia dengan penciptanya, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, kemudian hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, seperti dalam urusan pa-kaian, makanan, akhlak, dan sebagainya, juga hubungan manusia dengan sesama-nya, seperti dalam  urusan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri dan lain-lain. Hizbut Tahrir memandang bahwa syariat Islam sesungguhnya meliputi keyakinan spiritual (aqidah ruhiyyah) dan ideologi  politik (aqidah  siyasiyyah). Oleh karena itu Hizbut Tahrir memiliki cita-cita  untuk membentuk  sebuah masyarakat dan negara yang Islami, dalam arti bahwa semua kegiatan kehidupan dalam negara itu diatur dengan hukum-hukum syariat di bawah naungan negara khilafah.
Kampanye untuk membentuk khilafah Islamiyah (imperium Islam transnasional) terus - menerus disuarakan oleh HTI di Indonesia dengan melalui berbagai aksi demonstrasi yang damai,  spanduk- spanduk, ceramah, diskusi publik, pengajian, internet, penerbitan buku, majalah, buletin, dan sebagainya. HTI  menempatkan sistem  khilafah sebagai alternatif kegagalan sistem politik (demokrasi) dan ekonomi (kapitalisme) yang  tengah berlangsung.
Mengenai pembentukan khilafah Islamiyah (imperium Islam transnasional) ini Ketua Umum DPP HTI,  Ir. K.H. Muhammad Al-Khaththath mengatakan:
“ Khilafah itu bersifat lintas negara, tapi bisa dimulai dari satu negara dulu, bisa dimulai dari Indonesia atau dari Pakistan atau dari Malaysia, siapa yang lebih siap dulu. Kalau orang Indonesia ternyata lebih siap, ya Indonesia dulu, nggak harus mesti Mekkah. Kita berjuang untuk menggabungkan. Sebenarnya, negara itu kan rangkaian peristiwa politik, sedangkan politik itu seni kemungkinan, sehingga bisa membuat kemungkinan-kemingkinan baru. Syam, itu dulu satu propinsi, sekarang lima negara, ada  palestina,  ada  Israel,  ada Lebanon, ada Jordan, ada Syiria. Dulu satu propinsi itu, sekarang lima negara. Jazirah Arab itu dulu satu negara, sekarang tujuh negara, gitu lho. Lah Indonesia dulu juga banyak negara, sekarang satu negara.”
Hizbut Tahrir memiliki pandangan bahwa berbagai krisis yang terjadi di dunia adalah akibat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan menyimpang (maksiat) manusia. Untuk menghadapi masalah tersebut, HTI mengajukan solusi fundamental  dan integral, yakni dengan penerapan dan penegakan syariat Islam. Solusi ini dijalankan dengan cara mengakhiri sekularisme dan menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan menggunakan  dasar syariat Islam.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa HTI tidak sekedar memperjuangkan penegakan syariat Islam di Indonesia, akan tetapi memiliki tuntutan yang lebih luas, yakni tentang pembentukan Khilafah Islamiyah yang ingin menyatukan seluruh dunia Islam berada dalam satu bingkai negara khilafah. Hal  ini dapat dimengerti karena HTI merupakan bagian dari Hizbut Tahrir dengan jaringannya yang bersifat internasional.
  1. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) lahir berawal dari keprihatinan para tokoh gerakan Islam antara lain: Irfan Suryahardi, Deliar Noer, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi Noor dan lain-lain. Tokoh-tokoh tersebut terdorong untuk   mengadakan forum kecil, berdiskusi yang pada ujungnya  menggagas lahirnya  sebuah lembaga yang  bisa menyatukan visi umat Islam yang hendak memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Bagi MMI, tuntutan formalisasi syari’at Islam di Indonesia adalah final. MMI sejauh ini berusaha mewujudkan cita-citanya  melalui dakwah, baik dakwah secara politik maupun dakwah sosial di tengah-tengah masyarakat.
MMI  memiliki pandangan bahwa dalam  Islam  terdapat  ajaran yang  menyeluruh (total), mulai dari penyucian  diri (individu) sampai pada mengatur masyarakat dan negara (politik). Totalitas ajaran inilah yang diyakini oleh Ketua MMI, Irfan S. Awwas. Ia berpendapat bahwa Islam mengatur seluruh kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi, dan  politik. Inilah yang kemudian menjadi sumber konsepsi tentang bersatunya agama dan negara.
  1. Front Pembela Islam (FPI)
Front Pembela Islam (FPI) sebagai sebuah organisasi, dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1998, bertempat di halaman  Pondok  Pesantren Al Um, Kampung Utan, Cempaka Putih, Ciputat, Jakarta Selatan, oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim. Ketua Umum Majelis Tanfidzi  Dewan Pimpinan Pusat FPI periode 2003-2008 adalah Habib Mohammad Rizieq bin Husein Syihab.
Sebagai organisasi pejuang penegakan syariat Islam, FPI memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai Laskar Pembela Islam  (LPI),  sebuah kelompok  semacam satgas yang  dilatih dengan  pendidikan semimiliter dan terdiri dari orang-orang yang militan. Selama ini tindakan FPI sering dikritik oleh berbagai pihak karena tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh para aktivis FPI yang ber- ujung  pada  perusakan  hak  milik pihak lain. FPI pertama kali dikenal publik ketika terlibat dalam “PAM swakarsa” yang bersenjatakan golok dan pedang, dan melakukan  penyerangan terhadap para mahasiswa yang berdemonstrasi menentang pencalonan kembali B.J. Habibie sebagai Presiden RI dalam Sidang Istimewa MPR RI pada November  1998. Kemudian,  pada bulan yang sama, aktivis FPI melakukan aksi penyerangan terhadap satpam-satpam Kristen asal Ambon  di sebuah kompleks perjudian di Ketapang, Jakarta. Di samping itu, tercatat bahwa selama tahun  2000, aktivis FPI secara reguler melakukan tindakan penyerangan terhadap  sejumlah bar, diskotik, kafe, tempat bilyar, dan tempat-tempat hiburan malam di Jakarta, Ja-wa Barat, dan Lampung.
FPI dalam menjalankan aksinya terutama dalam hal penyampaikan aspirasi, biasanya menggelar aksi demonstrasi yang ditujukan kepada parlemen  (legislatif) dan pemerintah (eksekutif). Secara lebih nyata, mereka biasanya mendukung partai-partai Islam yang memperjuangkan aspirasi umat  Islam, seperti tuntutan  pemberlakuan Piagam Jakarta dalam konstitusi. Oleh   karena   itulah, maka gerakan FPI sering dianggap bernuansa politis.
  1. Forum  Komunikasi Ahlussunnah  Wal  Jamaah (FKAWJ) dan Laskar Jihad
Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) dibentuk  pada tanggal 14 Februari 1998 di  Solo  dan  dipimpin  oleh  Ja’far Umar  Thalib.  FKAWJ memiliki karakter sebagai forum bagi orang-orang salaf, yang menganjurkan pembacaan literal terhadap al-Quran dan Hadis, dan menolak seluruh penafsiran independen maupun praktek-praktek  tradisional. Misi utama FKAWJ adalah untuk memurnikan dan menyebarkan ajaran Islam menurut generasi pertama pengikut Nabi Muhammad.  FKAWJ sebagai sebuah organisasi telah memiliki sejumlah cabang di berbagai daerah di Indonesia.
FKAWJ memiliki organisasi sayap paramiliter yang dikenal Laskar Jihad, yang dibentuk pada  tanggal  30 Januari  2000 sebagai respon atas konflik antara kaum Muslim dan Nasrani di Maluku. Laskar Jihad, sebagaimana FKAWJ, dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib. Laskar Jihad  memiliki   pandangan bahwa politik merupakan bagian integral dari agama. Menurut Laskar Jihad, kitab suci al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw harus menjadi dasar yang di- gunakan untuk menghukumi umat Islam. Sehingga, al-Quran dan Sunnah menjadi hakim dalam berbagai kemaslahatan hukum.
Secara umum,  perjuangan yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam seperti Hizbut Tahrir indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),  Front  Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) dan Laskar Jihad adalah berkisar pada beberapa agenda utama. Agenda tersebut antara lain: tuntutan pemberlakuan Piagam Jakarta dalam konstitusi, penerapan syariat Islam dalam  semua sendi kehidupan masyarakat, pemberantasan tempat-tempat maksiat dan yang bertentangan dengan Islam, dan solidaritas dunia Islam.

D.     Metode Implementasi
Syariat Islam. Dua kata yang selalu mengundang kontroversi kebangsaan. Kontroversi yang tak kunjung usai. Di tahun 1945, syariat Islam gugur satu hari setelah proklamasi kemerdekaan. Di kurun 1956-1959, Konstituante berdebat superhangat --nyaris deadlock-- berkait dengan eksistensi syariat Islam dalam konstitusi. Dalam reformasi konstitusi 1999-2002, MPR baru mampu bersepakat untuk tidak memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta di detik-detik akhir proses perubahan UUD 1945.
Dari tiga momen pembuatan hukum dasar bernegara tersebut, tertoreh terang benderang bahwa syariat Islam tidak diformalkan menjadi aturan konstitusi. Periode 1999-2002 bahkan mencatat, dukungan sosio-politik masuknya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi jauh menurun dibandingkan dengan tahun 1945 dan 1956-1959. Namun itu bukan berarti syariat Islam tidak menjadi bagian hukum nasional. Tengoklah Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang tidak sedikit mengadopsi nilai-nilai hukum Islam. "Undang-undangisasi" syariat Islam semakin marak di akhir 1980-an dan era 1990-an.
Di antara undang-undang yang bernuansa syariat Islam adalah UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Haji, dan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat. Di samping itu, ada pula UU tentang sistem perbankan yang membuka pintu bagi lahirnya bank syariah. Di kurun terakhir, meski tidak berkait langsung dengan syariat Islam, polemik muncul dalam pengesahan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional serta RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi.
Sebagai pamungkas dari "undang-undangisasi" syariat Islam adalah UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Inilah aturan hukum sekaligus pintu pembuka utama bagi diberlakukannya syariat Islam di salah satu provinsi di Bumi Pertiwi: Serambi Mekkah Aceh.
Tidak diterima di tingkat konstitusi, formalisasi syariat Islam merambah ke level undang-undang. Era mutakhir, berpindah pula ke tingkat peraturan daerah. Perdaisasi syariat Islam menemukan stimulan dalam atmosfer desentralisasi serta lahirnya penerapan syariat Islam di Aceh.
Dari sisi ketatanegaraan, perda bernuansa syariat amatlah problematik. Perda adalah produk hukum yang berada jauh di bawah konstitusi. Padahal, semangat konstitusi nyata-tegas menolak masuknya formalisasi syariat Islam. Artinya, perdaisasi syariat Islam melanggar prinsip hukum dasar: aturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferiori).
Tidak hanya bertentangan dengan gentlemen agreement di konstitusi, perdaisasi syariat Islam juga melanggar UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa masalah agama adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan otoritas pemerintahan daerah. Maknanya, agama bukanlah "materi muatan" perda, melainkan lebih tepat menjadi materi muatan UUD atau minimal materi muatan UU.
Dalih bahwa perda bernuansa syariat dikeluarkan melalui proses legislasi yang demokratis tidaklah bijak. Begitu pula argumen bahwa itu sejalan dengan upaya "menampung kondisi khusus daerah" (Pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2004) tidaklah tepat. Bagaimanapun, legislasi di daerah tidak boleh bertabrakan dengan semangat dasar konstitusi, yang tidak memberi ruang bagi formalisasi syariat Islam. Apalagi, proses legislasi di daerah sebagaimana pula di tingkat pusat, tidak jarang sarat dengan politisasi dan manipulasi. Di beberapa daerah, perdaisasi adalah topeng jualan politik menjelang pemilihan kepala daerah atau hanya hasil copy-paste dari perda di daerah lain.
Menyikapi problematika formalisasi syariat Islam, ada tiga solusi yang dapat dipertimbangkan: politis, yuridis, dan sosiologis. Langkah politik-hukum dilakukan melalui pendisiplinan kebijakan partai. Suara partai di tingkat nasional maupun lokal seharusnya seragam dalam bersikap. Menjadi aneh kalau di tingkat nasional formalisasi tertolak, tapi di tingkat lokal, partai yang sama justru menerima.
Selanjutnya, langkah yuridis terbagi dua: pertama, UU Nomor 32 Tahun 2004 membuka peluang executive review: penertiban perda oleh pemerintah melalui pembatalan dengan peraturan presiden. Kedua, Mahkamah Agung berwenang melakukan penilaian (judicial review) atas perda berhadapan dengan UU.
Akhirnya, secara sosiologi-hukum, pejuang syariat Islam harus lebih menoleransi jiwa kebangsaan. Toh, syariat Islam tidak faktual hilang dari Bumi Pertiwi. Banyaknya substansi UU yang mengadopsi ide dasar hukum Islam menunjukkan, syariat Islam sosial dapat diterima dalam sistem hukum nasional.


KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penegakan syariat islam di Indonesia sudah dimulai sejak islam masuk di Indonesia. Walaupun Indonesia dijajah, tetapi semangat menegakkan syariat islam tidak pernah padam. Hingga saat ini pun banyak gerakan/organisasi islam yang masih membawa misi menegakkan syariat islam di indonesia.
            Indonesia merupakan tempat yang tepat untuk diterapkannya syariat Islam, mengingat Islam adalah sebuah agama mayoritas, bahkan Indonesia diperhitungkan oleh dunia dan digolongkan sebagai negara penganut agama Islam terbesar. Banyak usaha yang dilakukan oleh golongan-golongan yang terus memperjuangkan syariat Islam diterapkan di Indonesia.
             Namun demikian, bukan berarti syariat Islam adalah ideologi ideal bagi setiap negara, dimana terdapat umat muslim mayoritas, khususnya Indonesia. Sekalipun Indonesia tergolong negara mayoritas Islam yang diperhitungkan oleh dunia. Yang terpenting tidak boleh dilupakan, bahwa sejak awal Indonesia adalah negara pluralisme agama, negara yang menerima berbagai macam agama. Selain itu Indonesia bukan negara Islam. Syariat Islam adalah ideologi yang ideal hanya bagi penganutnya, karena di dalamnya terkandung sebuah aturan agama Islam yang sangat kental.
Atau dengan kata lain, jika syariat islam diterapkan sebagai dasar negara indonesia, maka semua aturan harus sesuai dengan syariat Islam, sistem ekonomi, politik, pendidikan, budaya, media, semua akan mengacu pada sistem syariat dan hal ini akan berdampak pada perpecahan suku, agama, dan ras di Indonesia.
Akhirnya, secara sosiologi-hukum, pejuang syariat Islam harus lebih menoleransi jiwa kebangsaan. Meskipun demikian, syariat islam tidak faktual hilang dari negara indonesia, karena banyak UU yang mengadopsi dari ide dasar hukum islam, hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam sosial dapat diterima dalam sistem hukum nasional.



DAFTAR PUSTAKA


Ngainun Naim.2009.Sejarah Pemikiran Hukum Islam.Yoryakarta:Teras.
Mardani.2010.Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Qodir,Zuly.2006.Pembaharuan Pemikiran Islam : Wacana dan Aksi Islam Indonesia.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Setiyo Nugroho,Handy.2006.Hubungan Agama dan Negara dalam Islam (Studi Terhadap Pemikiran M.Din Syamsuddin). http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1-2006-handysetiy-1363-coverdll-3.pdf. Akses : 22 Mei 2013
Setiawan,Zudi.2008.Dinamika Pergulatan Politik Dan Pemikiran Formalisasi Syariah Pada Era Reformasi. http://www.unwahas.ac.id/publikasiilmiah/index.php/SPEKTRUM/article/download/491/613.Akses : 22 Mei 2013
Yusdani.2006.Formalisasi Syari’at Islam dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. http://journal.uii.ac.id/index.php/jhi/article/view/244/239.Akses : 25 Mei 2013
Hartono.2010.Kontestasi Penerapan Syari’at Islam di Indonesia dalam Perspektik HTI dan MMI. http://digilib.uin-suka.ac.id/6995/1/BAB%20I,%20VI,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. Akses : 27 Mei 2013
Ubaidillah.2009.Fundamentalisme Islam Politik Di Indonesia Dalam Perspektif Filsafat Politik.http://digilib.uin-suka.ac.id/3011/1/BAB%20I,%20V.pdf. Akses : 27 Mei 2013
Sitompul,Denny.2012. Peluang dan Tantangan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia. http://dtompulz.blogspot.com/2012/08/peluang-dan-tantangan-formalisasi.html.Akses : 27 Mei 2013
Nyata-nyata Fakta.2010.Implementasi Syariat dalam Undang-Undang di Indonesia. http://www.nyatanyatafakta.info/2010/05/implementasi-syariat-dalam-undang.html.Akses : 27 Mei 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Akhlak Tasawuf (Pengertian tasawuf akhlaki,irfani dan Falsafi)

Beberapa Hadits tentang Ijarah (Upah)