Ahlul Hal Wa Al-'aqdi (Pengertian, syarat, wewenang dan fungsinya) dalam siyasah syariah

 AHLUL HAL WA AL-'AQDI
PENDAHULUAN

Masalah pergantian kepemimpinan dalam islam sepeninggal Rasulullah diserhkan kepada kaum muslim untuk dimusyawarahkan siapa yang layak atau patut menduduki posisi pimpinan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Prinsip musyawarah ini pada hakikatnya diterapkan pada setiap kali terjadi pergantian pimpinan dalam masa al-Khulafa ‘al Rasyidun, meski dengan versi beragam. Adapun yang dimaksud dengan musyawarah dalam politik islam adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Akan tetapi musyawarah tidak mungkin dilaksanakan oleh seluruh rakyat, maka musyawarah dilakasanakan antar kelompok yang benar-benar mewakili rakyat yang dapat dipercaya dan merasa tenang dari keputusan mereka. Mereka itu tidak lain adalah ahl al-hall wa al ‘aqd (DPR). Metode sekarang ini dinamakan “Politik Kekuasaan Rakyat.”

 AHLUL HAL WA AL-'AQDI
A.      PENGERTIAN
Secara bahasa ahl al-hall wa al-‘aqd  memiliki pengertian orang-orang yang melepas dan megikat atau orang yang dapat memutuskan dan mengikat.

Sedangkan menurut para Ahli fiqih siyasah, Ahl al-hall wa al-’Aqd adalah orang-orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Keanggotaan dari lembaga ini merupakan representasi dari rakyat yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat karena pemilihannya melalui proses yang demokratis dan berlangsung secara langsung sehingga rakyat memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya.[1]

Dengan kata lain adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota Ahl al-hall wa al-‘aqd   terdiri dari orang-orang yang terdiri dari berbagai kalangan dan profesi. Merekalah antara yang antara lain bertugas menetapkan dan mengangkat kepala negara sebagai pemimpin Pemerintahan. Semua mengacu pada pengertian “sekelompok anggota masyarakat yang mewakili umat (rakyat) dalam menentukan arah dan kebijaksanaan pemerintah demi tercapainya kemaslahatan hidup mereka.”

B.       PANDANGAN ULAMA SIYASAH
Dari beberapa praktik yang dilakukan al-Khulafa’ al-Rasyidun inilah para ulama siyasah merumuskan pandangannya tentang Ahl al-hall wa al-‘aqd .  Menurut mereka, para khalifah tersebut dengan empat cara pemilihan yang berneda-beda dipilih oleh pemuka umat islam untuk menjadi kepala negara. Selanjutnya pemilihan ini diikuti dengan sumpah setia (bay’ah) umat islam secara umum terhadap khalifah terpilih.
1.        Al-mawardi
menguraikan perbedaan pendapat tentang berapa jumlah Ahl al-hall wa al-‘aqd  yang dapat dikatakan sebagai representsi pilihan rakyat untuk mengangkat kepala negara. Menurutnya sebagai ulama memandang pemilihan kepala negara baru sah apabila dilakukan oleh jumhur Ahl al-hall wa al-‘aqd.  Ini sesuai dengan pemilihan Abu Bakar yang di bay’ah secara aklamasi oleh umat islam yang hadir di Saqifah Bani Sa’idah. Dalam kasus pemilihan Abu Bakar, sebelum di bay’ah

Al-Mawardi menetukan bahwa syarat yang mutlak dipenuhi oleh anggota Ahl al-hall wa al-‘aqd   adalah adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara yang akn dipilih dan mempunyai kebijakan serta wawasan yang luas sehingga tidak salah dalam memilih kepala negara.

Al-Mawwardi menjelskan proses pemilihan kepala negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kandidat yang dianggap paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi kepala negara diminta kesediaannya tanpa terpaksa. Bila ia  bersedia  menjadi keepa negara, maka dimulaiah kontrak sosial antara kepala negara dan rakyat yang diwakili oleh Ahl al-hall wa al-‘aqd . Selanjutnya  barulah rakyat secara umum menyatakan kesetiaan mereka kepada kepala negara.

2.        Menurut Rashid Ridla
bahwa ulil amri adalah Ahl Al- Hal Wa Al ‘Aqd atau Dewan Perwakilan rakyat yang terdiri dari para ulama dan para pemimpin atau tokoh masyarakat yang dipercaya rakyat dalam segala keputusan yang mereka buat dan tetapkan lewat musyawarah dari peraturan – peraturan sipil, peradilan dan politik.

Selanjutnya Rashid Ridla juga berkaitan dengan perwakilan ini telah berkata, “Demikianlah, dikalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan kecerdasan didalam mengatur kemaslahatan kemasyarakatan, serta mampu menyelesaikan masalah – masalah pertahanan dan ketahanan, serta masalah – masalah kemasyarakatan dan politik. Itulah yang disebut dengan Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd didalam Islam. Pengangkatan kholifah tidaklah dibenarkan, kecuali apabila mereka inilah yang memilihnya serta membai’atnya dengan kerelaannya. Mereka itulah yang disebut dengan wakil masyarakat pada bangsa-bangsa yang lainnya”.[2]

3.        Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah berkata “Ulil Amri adalah orang – orang yang memegang perkara dan pemimpin. Mereka adalah orang yang memerintah manusia, termasuk didalamnya orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan, juga orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teologi. Oleh sebab itu ulil amri ada dua macam yaitu ulama dan umara. Apabila mereka bagus, pasti manusia akan bagus. Namun jika mereka rusak, pasti manusia kan rusak pula”.[3]

Ia menolak pengangkatan kepala negara oleh Ahl al-hall wa al-‘aqd. Ia bahkan menolak keberadaan Ahl al-hall wa al-‘aqd ini. Menurutnya dalam praktiknya pada pasca al-Khulafa’al-Rasyidun, Ahl al-hall wa al-‘aqd hanyalah menjadi semacam lembaga legitimasi bagi kekuasaan Khalifah Bani Ummayyah dan juga Bani Abbassiyah. Kedudukan mereka tidak lagi independen, karena mereka diangkat oleh Khalifah. Akibatnya Ahl al-hall wa al-‘aqd tidak lagi berfungsi sebagai lembaga kontrol terhadap kekuasaan kepala negara. Ahl al-hall wa al-‘aqd tidak pernah mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Bagaimana mungkin ia menjadi wakil rakyat kalau yang menentukan keberadaannya adalah kepala negara. Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip Qomaruddin Khan, istilah Ahl al-hall wa al-‘aqd tidak dikenal pada awal sejarah islam, dan menjadi populer hanya setelah Bani Abbas berkuasa. Ibnu Taimiyah bahkan meragukan bahwa konsep Ahl al-hall wa al-‘aqd akan mengarah kepada terbentuknya lembaga kependetaan dalam agama islam dan melahirkan doktrin kemaksuman imam, seperti dalam pandangan Syi’ah. Konsekuensinya lebih jauh, doktrin ini akan menghilangkan hak rakyat untuk memilih.

Ibn Taimiyah mencontohkan pada pemilihan Khalifah Abu Bakr dan ‘Umar. Menurutnya memegang tampuk pemerintahan bukan karena bay’ah Umar, dan Umar menjadi Khalifah bukan karena Wasiat Abu Bakr. Mereka naik memegang puncak pemerintahan umat Islam karena sumpah setia orang-orang yang memiliki kekuatan (ahl al-syawkah) dan kemudian diikuti oleh umat islam. Seandainya umat islam tidak menyetujui Abu Bakr dan ‘Umar, maka mereka berdus tidak mungkin tidak dapat menjadi kepala negara.[4]

Ahl al-hall wa al-‘aqd pada masa Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyya tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan. Karenanya Ibnu Taimiyah menginginkan peranan Ahl al-hall wa al-‘aqd yang lebih luas dan mencerminkan representasi kehendak rakyat. Dalam hal ini, rakyat merupakan pihak yang paling berhak menentukan kepala negara dan menyalurkan aspirasinya kepada Ahl al-hall wa al-‘aqd, yang dalam teori Ibnu Taimiyah disebut ahl-syawkah.

Dalam sejarah Islam, pembentukan lembaga Ahl al-hall wa al-‘aqd pertama kali dilakukan oleh pemerintah Bani Umayyah di Spanyol. Khalifah al-Hakam II (961-976 M) membentuk majlis asy-syura yang beranggotakan pembesar-pembesar negara dan sebagian lagi pemuka masyarakat.  Kedudukan majlis syura ini setingkat dengan pemerintah. Khalifah sendiri bertindak langsung menjadi ketua lembaga tersebut. Majelis inilah yang melakukan musyawarah dalam masalah-masalah hukum dan membantu khalifah melaksanakan pemerintahan negara. Jadi daulat Umayyah II di Sanyol menghidupkan lembaga  legislatif yang telah hilang dalam sejarah politik Islam sejak zaman Mu’awiyah yang berkuasa di Damaskus.

Pembentukan lembaga Ahl al-hall wa al-‘aqd dirasa perlu dalam pemerintahan Islam, mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu menciptakan kemaslahatan umat Islam.[5]

Para ahli fiqh siyasah menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan majelis syura ini, yaitu:
·         pertama, rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai pendapanya tentang masalah kenegaraan dan pembenukan undang-undang. Oleh arena itu harus ada kelompok masyarakat yang bisa diajak musyawarah dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan dan pembentukan perundang-undangan.
·         Kedua, rakyat secara individual tidak mungkin dikumpulkan untuk melakukan musyawarah di suatu tempat, apabila di atara mereka pasti ada yang tidak mempunyai pandangan yang tajam dan tidak mampu berfikir kritis. Mereka tentu tidak mampu berpikir kritis. Mereka tentu tidak mampu mengemukakan pendapat dalam musyawarah, hal demikian dapat mengganggu berbagai aktivitas kehidupan masyarakat.
·         Ketiga, musyawarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas. Kalau seluruh rakyat dikumpulkan di suatu tempat untuk melakukan musyawarah, dipatikan musyawarah tersebut tidak dapat terlaksana.
·         Keempat, kewajiban amar ma’ruf nahy munkar hanya bisa dilakukan apabila ada lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat.
·         Kelima, kewajiban taat kepada ulul al-amr (pemimpin umat) baru mengikat apabila pemimpin itu dipilih oleh lembaga musyawarah.
·         Keenam,  ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya pembentukan lembaga musyawarah. Di samping itu Nabi sendiri menekankan dan melaksanakan musyawarah dengan para sahabat untuk menentukan suatu kebijakasanaan pemerintahan.

Pada masa modern, sejalan dengan masuknya pengaruh pemikiran politik barat terhadap islam, pemikiran tentang Ahl al-hall wa al-‘aqd juga berkembang. Para ulama siyasah mengemukakan pentingnya pembentukan Lembaga Perwakilan Rakyat atau DPR/MPR sebagai representasi dari kehendak rakyat. Mereka mengemukakan gagasan tentang Ahl al-hall wa al-‘aqd ini dengan mengombinasikannya dengan pemikiran-pemikiran politik yang berkembang di barat. Dalam praktiknya mekanisme pemilihan anggota Ahl al-hall wa al-‘aqd atau DPR ini menurut al-Anshari dilakukan melalui beberapa cara:
1.      Pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala. Dalam pemilu ini, anggota masyarakat yang sudah memenuhi persyaratan memilih anggota Ahl al-hall wa al-‘aqd sesuai dengan pilihannya.
2.      Pemilihan anggota Ahl al-hall wa al-‘aqd melalui seleksi dalam masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat akan melihat orang-orang yang terpandang dan mempunyai integritas pribadi serta memiliki perhatian yang besar untuk kepentingan umat. Merekalah yang kemudian dipilih menjadi anggota Ahl al-hall wa al-‘aqd.
3.      Di samping itu, ada juga anggota Ahl al-hall wa al-‘aqd yang diangkat oleh kepala negara.

Istilah yang lebih populer dipakai pada awal pemerintahan Islam tentang hal ini adalah ahl al-syura, dan pada pelaksanaannya dapat dijalankan perannya sebagai wakil rakyat dalam menentukan arah kebijaksanaan negara dan pemeritah.[6]


C.       SYARAT-SYARAT AHL AL-HALL WA AL-AQD
Al-Mawardi menyebut Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd harus memenuhi tiga syarat, antara lain :
1.    Keadilan yang memenuhi segala persyaratannya.
2.    Memiliki pengetahuan tentang orang berhak menjadi imam dan persyaratan – persyaratannya.
3.    Memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan paling mampu serta paling mampu tentang kebijakan – kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.
Ibn Al Farra  berpendapat:  Ahli Ikhtiyar harus memliki tiga syarat berikut :
1.    Adil
2.    Mempunyai ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat mengetahui siapa saja yang berhak memegang tongkat kepemimpinan.
3.    Ahli Ikhtiyar harus terdiri dari para pakar dan alhi manajemen yang dpat memilih siapa yang lebih pantas untuk memegang tongkat kepemimpinan.[7]



D.      WEWENANG DAN FUNGSI AHL AL-HALL WA AL-AQD
1.    Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan membai’at imam serta untuk memecat dan memberhentiakan khalifah.
2.    Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
3.    Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang membuat undang – undang yang mengikat kepada seluruh umat didalam hal – hal yang tidak diatur tegas oleh Al Qur’an dan al Hadits.
4.    Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd tempat konsultasi imam didalam menentukan kebijakannya.
5.    Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd mengawasi jalannya pemerintahan,
Wewenang Wewenang nomor 1 dan 2 mirip dengan wewenang MPR, wewenang nomor 3 dan 5 adalah wewenang DPR, dan wewenang nomor 4 adalah wewenang DPA di Indonesia.[8]

Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd sangat penting dalam kehidupan bernegara. Karena dalam Negara pada hakekatnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan rakyat sendiri tidak memungkinkan untuk berkumpul bersama.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Akhlak Tasawuf (Pengertian tasawuf akhlaki,irfani dan Falsafi)

Beberapa Hadits tentang Ijarah (Upah)