Mu'amalah Jual-Beli, Macam-macam Jual Beli (salam,istisna')
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah disamping
sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial artinya manusia tidak
dapat hidup tanpa orang lain. Supaya kepentingan manusia yang begitu banyak itu
saling terpenuhi maka dibutuhkan norma dan aturan-aturan. Sehingga dengan norma
ataupun aturan-aturan tersebut kehidupan masyarakat akan berjalan teratur an
terhindar dari sikap mendzolimi orang lain dan menempuh jalan batil dalam usaha
mencari rizki.
Agama islam mengajarkan kepada pemeluknya
agar berusaha dan mencari rizki yang halal. Salah satunya dengan jalan
melakukan jual beli. Jual beli menurut islam aalah tukar menukar dan transaksi
barang dengan cara memberi manfaat bagi kedua belah pihak dengan jalan yang
halal. Karena dalam hal muamalah, islam tidak membiarkan manusia menuruti
kehendak hawa nafsunya yang cenderung berlebihan terhadap dunia dan idak pernah
puas dengan apa yang dimilikinya.
Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga
ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor
syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia,
hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan
komprehensif. Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa
pernik tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya
bergelut dengan transaksi jual beli, bahkan jika ditilik secara seksama, setiap
orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan
tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.
Dalam makalah kami
ini, akan dibahas mengenai hal-hal berikut :
- Pengertian Jual-Beli
- Dasar Hukum Jual-Beli
- Syarat yang harus dipenuhi dalam Rukun Jual-Beli
- Jual-Beli Murabahah
- Jual-Beli Salam
- Jual-Beli Istishna’
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jual-Beli
Jual – Beli ( اَلْبَيْعُ ) artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan
yang lain). Kata اَلْبَيْعُ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawannya, yaitu kata : اَلشِّرَاءُ (beli). Dengan demikian kata berarti kata “jual” dan sekaligus juga
berarti kata “beli”.[1]
Secara terminologi, terdapat
beberapa definisi, diantaranya adalah :
Ulama’ Hanafiyah
mendefinisikan Jual-Beli sebagai :
مُباَ
دَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
“ Saling menukar
harta dengan harta melalui cara tertentu “ , atau :
مُباَ
دَلَةُ شَيْئٍ مَرْغُوْبٍ فِيْهِ عَلَى وَجْهٍ مُفِيْدٍ مَخْصُوْصٍ
“Tukar menukar sesuatu yang
diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.
Unsur-unsur definisi
yang dikemukakan ulama’ Hanafiyah tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan
cara yang khusus adalah ijab dan qabul, atau juga bisa melalui
saling memberikan barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli.
Selain itu harta yang diperjual-belikan itu harus bermanfaat bagi manusia.
Sayid Sabiq mendefinisikan jual-beli sebagai :
مُباَ
دَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عَلَى سَبِيْلِ التَّرَاضِى
“ Saling menukar harta
dengan harta atas dasar suka sama suka “.
Oleh Imam An-Nawawi didefinisikan
:
مُقاَ
بَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ تَمْلِيْكاً
“ Saling menukar
harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik ”.
Oleh Abu Qudamah didefinisikan :
مُباَ
دَلَةُ الْمَالِ بِالْمَالِ تَمْلِيْكًا وَ تَمَلُّكًا
“ Saling menukar
harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan”.
Dalam definisi diatas,
ditekankan kepada “ hak milik dan pemilikan “, sebab ada
tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa-menyewa.
B.
Dasar Hukum Jual – Beli
Jual – Beli sebagai
sarana tolong-menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang kuat dalam
Islam.[2]
Firman Allah Dalam
al-Qur’an :
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا. ( البقرة : ٢٧٥)
”Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba.“ (Al-Baqarah ;275)
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْغَوُا
فَضْلاً مِّنْ رَبِّكُمْ ( البقرة : ١٩٨ )
“Tidak ada dosa bagimu
untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Al-Baqarah : 198)
إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ (
النساء : ٢٩ )
“kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (An Nisa’ : 29)
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ( البقرة : ٢٨٢ )
“Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli.” (Al-Baqarah : 282)
Dalam sabda Rasulullah
disebutkan :
سُئِلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ عَمَلُ الرَّجُلِ
بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ (رواه البزار والحا كم)
“ Nabi Muhammad SAW
pernah ditanya : Apakah profesi yang paling baik ? Rasulullah menjawab : Usaha
tangan manusia sendiri dan setiap jual-beli yang diberkati ”.(HR.Al-Barzaar dan Al-Hakim)
Sabda Rasulullah :
إِنَّمَاالْبَيْعُ عَنْ
تَرَاضٍ (رواه البيهقى)
“Jual-Beli itu
atas dasar suka sama suka “.
(HR. Baihaqi)
التَّا جِرُ الصَّدُوْقُ اْلأَمِيْنَ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ
وَالشُّهّدّاءِ (رواه الترمذى)
“ Pedagang jujur dan terpercaya sejajar
(tempatnya disurga) dengan para Nabi, Shiddiqin, dan Syuhada’ “.(HR.Tirmidzi)
Dari kandungan
ayat-ayat dan hadits-hadits yang dikemukankan diatas sebagai dasar jual-beli,
para ulama’ fiqih mengambil suatu kesimpulan, bahwa jual-beli itu hukumnya
mubah (boleh).
C.
Rukun dan Syarat Jual – Beli
Jual – Beli adalah
merupakan suatu akad, dan dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat
jual – beli. Mengenai rukun dan syarat jual – beli, para ulama berbeda
pendapat.
Menurut madzhab Hanafi
rukun jual-beli hanya ijab dan qabul saja. Menurut mereka yang
menjadi rukun jual-beli hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk
berjual-beli. Karena unsur kerelaan berhubungan dengan hati, maka diperlukan
indikator (qarinah), dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan qabul)
atau dalam bentuk perbuatan, yaitu saling memberi (penyerahan barang dan
penerimaan uang). Dalam fiqh terkenal dengan istilah : بَيْعُ
الْمُعَا طَةِ
1.
Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2.
Sighat (lafal ijab dan qabul)
3.
Ada barang yang dibeli
4.
Ada nilai tukar pengganti barang
Menurut Madzhab Hanafi
orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang (1,3,4) diatas
termasuk syarat jual-beli, bukan rukun.
Menurut Jumhur
Ulama’, syarat jual-beli sesuai dengan rukun jual-beli yang disebutkan di atas
adalah sebagai berikut :
1.
Syarat Orang yang berakad (penjual dan pembeli)[4]
Ulama’ fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad
jual-beli harus memenuhi syarat :
a.
Berakal,
b.
Dengan kehendak sendiri (bukan paksaan).
c.
Baligh. Anak kecil tidak sah jual belinya. Anak-anak yang
sudah mengerti tetapi belum sampai umur
dewasa, menurut pendapat sebagian ulama’ diperbolehkan jual-beli barang yang
kecil-kecil.
2.
Syarat yang terkait dengan ijab-qabul
Ulama’ Fiqh menyatakan bahwa syarat ijab-qabul yaitu :
a.
Orang yang mengucapkan ijab-qabul telah akil baligh dan
berakal (Jumhur Ulama) atau telah berakal (Ulama’ Madzhab Hanafi).
b.
Qabul sesuai dengan ijab
c.
Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis
3.
Syarat yang diperjual-belikan[5]
a.
Suci. Barang najis tidak sah dijual dan
tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai
yang belum disamak.
b.
Barang itu ada, atau barang itu tidak ada di tempat, tetapi
pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang tersebut.
c.
Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
d.
Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki
seseorang tidak boleh diperjual-belikan.
e.
Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu
yang telah disepakati bersama ketika akad berlangsung.
4.
Syarat niali tukar ( harga barang )
a.
Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas
jumlahnya.
b.
Dapat diserahkan pada saat akad (transaksi), sekalipun secara
hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang itu
dibayar kemudian (berhutang), maka waktu pembayarannya harus jelas.
c. Apabila jual-beli
dilakukan secara barter, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang
yang diharamkan syara’.
Disamping syarat yang berkaitan dengan rukun jual-beli
diatas, ulama’ fiqh juga mengemukakan beberapa syarat lain :
a.
Syarat sah jual – beli
1)
Jual - Beli terhindar dari cacat seperti barang yang
diperjual-belikan tidak jelas, baik jenis, kualitas maupun kuantitasnya.
2) Apabila barang yang
diperjual-belikan itu benda bergerak, maka barang itu langsung dikuasai pembeli
dan harga dikuasai penjual. Sedangkan barang yang tidak bergerak, dapat
dikuasai pembeli setelah surat-menyuratnya diselesaikan sesuai dengan kebiasaan
( عُرْفٌ
) setempat.
b. Syarat yang berkaitan
dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:
1)
Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha
dan sukarela, tanpa ada paksaan.
2) Kedua belah pihak
berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang
mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang).
c.
Syarat benda (barang) yang menjadi objek akad
1)
Suci, maka tidak sah penjualan benda-benda najis
2)
Memberi manfaat menurut syara’
3)
Jangan dikaitkan atau digantungkan dengan hal-hal lain
4)
Tidak dibatasi waktunya
5) Dapat diserahkan dengan
cepat ataupun lambat
6)
Milik sendiri
7) Diketahui barang yang
diperjual belikan tersebut baik berat, jumlah, takaran dan lain-lainnya.
D.
Jual –Beli Murabahah
1.
Pengertian
Murabahah adalah jual –
beli barang pada harga asal ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati.[6] Ibnu Qudamah
dalam bukunya Mughni 4/280 mendefinisikan murabahah adalah menjual dengan harga
asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati.[7] Dalam bai’ al-murabahah,
penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan tingkat
keuntungan sebagai tambahannya. Misalnya, seorang pedagang eceran membeli
komputer dari grosir dengan harga Rp.10.000.000,- kemudian ia menambahkan
keuntungan sebesar Rp.750.000,- dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga
Rp.10.750.000,-. Pada umumnya, si penjual tidak akan memesan dari grosir
sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang
lama pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta
besarnya angsuran jika memang akan dibayar secara angsuran.
Bai’ al-murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan yang biasa
disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembeli (KPP). Dalam kitab
al-‘Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-aamir
bisy-syra(الآمر
بالشراء).
2.
Landasan Syari’ah
a.
Al-Qur’an
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا. ( البقرة : ٢٧٥)
”Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba.“ (Al-Baqarah ;275)
لاَ تَأْ كُلُوْا أَمْوَلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالبَطِلِ إِلاَّ
أَنْ تَكُوْنَ تِجَرَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ .( النّساء : ٢٩ )
“janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu” (QS.An-Nisa’ : 29)
b.
Al-Hadits
Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiga
hal yang didalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan dijual.”(HR.Ibnu
Majjah)[8]
“Dari Rafaah bin Rafie r.a. bahwa Rasulullah pernah
ditanya pekerjaan apa yang paling mulia, Rasulullah saw menjawab: pekerjaan
seorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.”(HR.Albazzar, dan sahih menurut Imam Hakim)[9]
3.
Rukun dan Syarat
Murabahah
Dari segi hukumnya bertransaksi dengan menggunakan sistem
murabahah adalah suatu hal yang dibenarkan dalam Islam. Keabsahannya juga
bergantung pada syarat-syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Adapun rukun
jual beli murabahah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah:
a.
Penjual (ba’i),
yaitu pihak yang memiliki barang untuk dijual atau pihak yang ingin menjual
barangnya. Dalam transaksi pembiayaan murabahah di perbankan syariah merupakan
pihak penjual.
b.
Pembeli (musytari)
yaitu pihak yang membutuhkan dan ingin membeli barang dari penjual, dalam
pembiayaan murabahah nasabah merupakan pihak pembeli.
c.
Barang/objek
(mabi’) yaitu barang yang diperjual belikan. Barang tersebut harus sudah
dimiliki oleh penjual sebelum dijual kepada pembeli, atau penjual menyanggupi
untuk mengadakan barang yang diinginkan pembeli.
d.
Harga (tsaman).
Harga yang disepakati harus jelas jumlahnya dan jika dibayar secara hutang maka
harus jelas waktu pembayaranya.
e.
Ijab qabul (sighat)
sebagai indikator saling ridha antara kedua pihak (penjual dan pembeli) untuk
melakukan transaksi.
Dalam penentuan rukun jual beli, terdapat perbedaan pendapat
ulama Hanafiah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah
hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari penjual) dan Kabul (ungkapan
menjual dari penjual). Menurut mereka yang mejadi rukun jual beli hanyalah
kerelaan kedua belah pihak melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena
unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera sehingga tidak
kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak
yang melakukan transaksi jual beli, menurut mereka boleh tergambar dalam dan
Kabul atau melalui cara saling memberikan barang dengan barang. Menurut ulama
Hanafiyah, orang yang berakad barang yang dibeli dan nilai tukar barang,
termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Sedangkan syarat untuk jual beli bai’ al- murabahah menurut
Syafi’I Antonio adalah sebagai berikut :
a.
Penjual memberi
tahu biaya modal kepada nasabah
b.
Kontrak pertama
harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.
Kontrak harus bebas
dari riba
d.
Penjual harus
menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e.
Penjual harus
menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembeli, misalnya jika pembelian
dilakukan secara utang.
Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d), atau (e) tidak
terpenuhi, pembeli memiliki pilihan :
a.
Melanjutkan
pembelian seperti apa adanya.
b.
Kembali kepada
penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
c.
Membatalkan
kontrak.
E.
Jual – Beli Salam
1.
Pengertian
Diantara bukti
kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu
akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan
pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Bai’ salam adalah akad jual beli
dimana barang yang diperjual-belikan masih
belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan
secara tunai di muka[10]. Namun
spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati di awal akad.
Akad salam
menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, dan sangat jauh dari
praktek riba. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
a.
Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia
butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
b.
Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang
lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada
barang tersebut.
Sedangkan penjual juga
mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
a.
Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan
cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya
tanpa harus membayar
bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang
pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
b.
Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan
pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang
pesanan berjarak cukup lama.
2.
Landasan Syari’ah
Akad bai’ salam
diperbolehkan dalam akad jual beli. Berikut dalil-dalil (landasan syari’ah) yang
terdapat dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.[11]
a.
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 282
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى
اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ. ( البقرة : ٢٨٢ )
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.” (QS.Al-Baqarah:282)[12]
b.
Hadits
مَنْ أَسْلَفَلا فِىْ شَئْ فَفِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوووَزْنٍ
مَعْلُوْمٍ اِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
“ Barang siapa melakukan salam, hendaklah
ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka
waktu yang diketahui” .[13]
Hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil
yang secara sharih menjelaskan tentang keabsahan jual beli salam.
Berdasarkan atas
ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual beli salam harus ditentukan
spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun
waktu penyerahannya, sehingga tidak terjadi perselisihan.
c.
Kesepakatan ulama (ijma) akan diperbolehkannya jual beli
salam dikutip dari pernyataan Ibnu Munzir yang mengatakan bahwa, semua ahli
ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan. (Zuhaili, 1989, hal.
568).
3.
Rukun dan Syarat jual beli Salam
Dalam jual beli salam,
terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun yang harus dipenuhi dalam
jual – beli salam, yaitu[14] :
a.
Pembeli (muslam)
b.
Penjual (muslam ilaih)
c.
Modal / uang (ra’sul maal)
Syarat Modal, yaitu :
Ø
Jelas spesifikasinya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya.
Ø
Harus diserahkan saat terjadinya akad.
d.
Barang (muslam fiih)
Barang yang menjadi
obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui
sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang
harus dipenuhi sebagai berikut:
a.
Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b.
Dilakukan pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas
c.
Penyebutan kriteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan
d.
Penentuan tempo penyerahan barang pesanan
e.
Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f.
Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dijamin
pengusaha
F.
Jual – Beli Istishna’
1.
Pengertian
Lafal istishna’
berasala dari akar kata shana’a ( صنع) diatambah alif,
sin, dan ta’ menjadi istisna’ ( استصنع) yang sinonimnya , طلب أن يصنعه له artinya : “meminta untuk dibuatkan sesuatu”
Pengertian istishna’ menurut
istilah tidak jauh berbeda dengan menurut bahasa. Wahbah zuhaili mengemukakan
pengertian menurut istilah ini sebagai berikut :
تعريف الإستصناع هوعقد
مع صا نع علي عمل شيء معين في الذمة, أي العقد على شراء ما سيصنعه الصا نع و تكون
العين ولعمل من الصنع.
“ defenisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang
produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian ; yakni
akad untuk membeli sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta
pekerjaan dari pihak produsen tersebut.”
Ali Fikri memberikan
defenisi istishna’ sebagai berikut :
الإ
ستصنا ع هو طلب عمل شيء خاص على وجه مخصوص ما دته من طرف الصنع.
” istishna’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan
sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya ( bahannya ) dari
pihak penbuat ( tukang ).”
Dari defenisi-defenisi
yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa akad istishna’ adalah
akad antara dua pihak dimana pihak pertama ( orang yang memesan/ konsumen )
meminta kepada pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ) untuk dibuatkan
suatu barang, seperti sepatu, yang bahannya dari pihak kedua ( orang yang
membuat/ produsen ). Pihak pertama disebut mustashni’ , sedangkan
pihak kedua, yaitu penjual disebut shani’ , dan sesuatu yang menjadi
objek akad disebut mushnu’ atau barang yang dipesan ( dibuat ).
Apabila bahan yang dibuat berasal dari mustashni’ bukan
dari shani’ maka akadnya
bukan istishna’ melainkan ijarah. Namun demikian
sebagian fuqaha mengatakan bahwa objek akad ishtisna’ itu
hanyalah pekerjaan semata, karena pengertian istishna’ itu adalah
permintaan untuk membuatkan sesuatu, dan itu adalah pekerjaan.
Istishna’ adalah akad
yang menyerupai akad salam , karena bentuknya menjual barang yang belum ada
(ma’dum) dan sesuatau yang akan dibuat itu pada akad ditetapkan dalam
tanggungan pembuat sebagai penjual. Hanya saja ada beberapa perbedaan dengan
salam karena :
a.
Dalam ishtisna’ harga atau alat pembayarana tidak harus
dibayar dimuka seperti pada akad salam.
b.
Tidak ada ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat
penyerahan.
c.
Barang yang dibuat tidak harus ada dipasar.
Dari sisi lain
ishtisna’ ini hampir sama dengan ijarah ( sewa –menyewa ), namun
berbeda dengan ijarah , karena dalam istisna’ si pembuat atau
produsen menggunakan barang atau bahan yang dibuat dari hartanya
sendiri bukan dari harta mustasyi’ atau pemesan.
2.
Dasar Hukum Istishna’
Landasan hukun
untuk istishna’ secara tekstual memenag tidak ada. Bahkan menurut
logika, istishna’ ini tidak diperbolehkan, karena objek akadnya tidak
ada. Namun , menurut Hanafiah, akad ini diperbolehkan
berdasarkan istihsan, karena sudah sejak lama istishna’ ini
dilakukan oleh masyarakat tanpa ada yang mengingkarinya, sehingga dengan
demikian hukum kebolehannya itu digolongkan
kepada ijma’. Mengenai ijma’ ini Anas bin Malik
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda :
اًن
أمتي لا تجتمع على ضلا ل فأ فعليكم بسّواد الآ عظم
“sesungguhnya ummatku tidak akan bersepakat unutk kesesatan,
apabila kamu melihat ada perselisihan, maka ikutilah kelmpak yang banyak. ( HR. Ibnu Majah )
Mazhab Hanafi
Menyetujui Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.
- Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
- Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama
- keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
- Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha
kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan
aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu
mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya
kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di
minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan
material pembuatan barang tersebut.
Menurut Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah, akad istishna’ dibolehkan atas dasar
akad salam, dan kebiasaan manusia. Syarat-syarat yang berlaku
unutk salam juga berlaku untuk akad istishna’. Diatara syarat
tersebut adalah penyerahan seluruh harga ( alat pembayaran ) didalam majelis
akad. Seperti halnya akad salam, menurut
Syafi’iyah, istishna’ itu hukumnya sah, baik masa penyeangan barang yang
dibuat ( dipesan ) ditentukan atau tidak, termasuk diserahkan secara tunai.
3.
Rukun dan Syarat Istishna’
Rukun istishna’ menurut
Hanafiyah adalah ijab dan qabul. Akan tetapi menurut jumhur ulama,
rukunistishna’ ada tiga yaitu sebagai berikut :
a.
‘Aqid yaitu shani’ ( orang yang membuat/
produsen ) atau penjual dan mustashni’ ( orang yang memesan/ konsumen
), atau pembeli.
b.
ma’qud ‘alaih , yaitu ‘amal ( pekerjaan ),
barang yang dipesan, dan harga atau alat pembayaran
c.
shighat atau ijab dan qabul.
Adapun syarat-
syarat istishna’ adalah sebagai berikut :
a.
Menjelaskan tentang jenis barang yang dibuat, macam, kadar,
dan sifatnya karena barang tersebut adalah barang yang dijual ( objek akad ).
b.
Barang tersebut harus berupa barang yang
berlaku muamalat diantara manusia, seperti bejana, sepatu, dan
lain-lain.
c.
Tidak ada ketentuan mengenai tempo penyerahan barang yang
dipesan. Apabila waktunya ditentukan, menurut Imam Abu Hanifah, akan berubah
menjadi salam dan berlakulah syarat-syarat salam, seperti
penyerahan alat pembayaran ( harga ) dimajelis akad. Sedangkan menurut Imam Abu
Yusuf dan Muhammad, syarat ini tidak diperlakukan. Dengan demikian menurut
mereka, istishna’ itu hukumnya sah, baik waktunya ditentukan atau
tidak, karena menurut adat kebiasaan, penentuan waktu ini bisa digunakan dalam akad istishna’.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa jual-beli merupakan salah satu cara yang di
perbolehkan dalam agama islam untuk mencari rizki yang halal. Jual beli adalah
tukar menukar harta secara suka sama suka.
Kemudian yang perlu di perhatikan kaitannya dengan jual beli
adalah rukun dan syarat jual beli penjual pembeli, uang dan benda yng di beli,
ijab dan qabul, dan di antara syarat-syaratnya yaitu berakal, suka sama suka,
baliq, suci, ada manfaatnya, jelas dan halal.
Jual beli di anggap sah jika telah terpenuhi rukun-rukunnya
serta syarat-syaratnya dan di antara jual beli yang dilarang yaitu khamar,
bangkai, berhala, anjing, sperma, jual beli dengan mukhadharah.
Dengan adanya jual beli maka akan menumbuhkan ketentraman
jiwa dan kebahagiaan, tanggung jawab, mencegah kemungkaran, sarana ibadah dengan
memperoleh keuntungan maka seseorang muslim di anjurkan untuk berinfak.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan,Ali.2003.Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah).Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Rasjid,Sulaiman.2010.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru
Algensindo.
Muhammad.2008.Sistem & Prosedur Operasional Bank
Syariah.Yogyakarta:UII Press.
Suhendi,Hendi.2010.Fiqh Muamalah.Jakarta:PT.Raja
Grafindo Persada.
Syafi’i Antonio,Muhammad.2001.Bank Syariah Dari Teori ke
Praktek.Jakarta:Gema Insani Press.
Huda,Qomarul.2011.Fiqh Muamalah.Yogyakarta:Teras.
Ibrahim,Yahya.2011.Ekonomi Islam (Jual Beli Salam dan
Istishna’). http://yahya-ibrahim.blogspot.com/search/label/Ekonomi%20Islam.akses
: 14 April 2013.
Efendi,Taswin.2012.Jual – Beli. http://muhammad-taswin.blogspot.com/2012/04/makalah-jual-beli.html.Akses
: 12 April 2013.
[1] Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah),(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2008), hal.113.
[2] Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh
Muamalah),hal.115-116.
[3] Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah),hal.118.
[6] Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syari’ah:Dari Teori ke Praktek,(Jakarta:Gema
Insani Press,2001),hal.101.
Komentar
Posting Komentar