Makalah SPHI
DISKURSUS FORMALISASI
SYARI’AT ISLAM
( Pengalaman Umat Islam
Indonesia )
MAKALAH
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“
SEJARAH PEMIKIRAN HUKUM ISLAM “
Dosen
Pengampu :
QOMARUL
HUDA, M.Ag.
Kelompok
VII :
Abdulah Yusro
( 2822123001 )
M.Zunaidi Abas Bahria (
2822123019 )
Maslakah Kholilulloh
( 2822123021 )
M.Yusuf Zakariya
( 2822123024 )
M.Naimul Mizan
( 2822123025 )
JURUSAN SYARI’AH PRODI
AS SEMESTER II
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
Tahun
Akademik 2012/2013
DISKURSUS FORMALISASI SYARIAT ISLAM
Pengalaman
Umat Islam Indonesia
A.
Pendahuluan
Semangat untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia tampaknya
tidak pernah padam. Hal ini tampak dari sejarah pergulatan politik nasional. Memang syariat Islam telah menjadi sejarah bangsa Indonesia.
Semenjak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan
syariat di daerahnya. Setelah penjajahan Belanda
berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang ada masih berusaha
menegakkannya, walaupun secara
berangsur-angsur hukum Barat ataupun adat diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan penegakan
syariat Islam sebagai
cita-cita.
Setelah Indonesia merdeka, usaha pemberlakuan syariat Islam tidak juga berhenti.
Ada yang dengan berangsur-angsur
menegakkannya dalam kehidupan
politik, seperti misalnya perjuangan
diberlakukannya Piagam Jakarta di dalam Majelis Konstituante. Dan, terus-menerus
diperjuangkan umat Islam secara politik dan
kultural meski belum berhasil memberlakukan
syariat Islam secara
total.
Kendati demikian, di pertengahan
terakhir masa Orde Baru
berkuasa, beberapa ketentuan
syariat Islam sudah bisa diakomodir oleh negara.
Wacana tentang formalisasi syariat Islam
dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan
topik kontekstual bagi dunia politik Indonesia. Setidaknya ada tiga kondisi
yang membuat wacana
seputar
formalisasi
syariah
kini menjadi sangat kontekstual. Pertama, adanya upaya sebagian partai
politik, khususnya Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan
Partai Bulan Bintang (PBB) dalam Sidang Tahunan
MPR Agustus 2002 untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945 dengan memasukkan “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dalam
Piagam Jakarta agar formalisasi syariah
mempunyai landasan konstitusional yang jelas di Indonesia. Kedua, adanya formalisasi
beberapa elemen
syraiah Islam oleh birokrat pada sebagian
daerah di Indonesia, seperti propinsi Nanggroe Aceh
Darus Salam
(NAD), juga di Kabupaten
Cianjur dan Tasikmalaya
di Jawa Barat. Patut dicatat
pula adanya upaya-upaya untuk memformalisasikan syariah Islam di tempat lain
seperti di Sulawesi Selatan. Ketiga, adanya seruan dan kampanye untuk mengajak masyarakat untuk
memformalisasikan syariat Islam dalam segala
aspek kehidupan, seperti yang dilakukan beberapa kelompok
dan gerakan
Islam, misalnya Hizbut Tahrir, Front Pembela
Islam, dan Majelis
Mujahidin Indonesia.
Tetapi perlu diingat
bahwa perdebatan seputar penegakkan syariat Islam ini akan terus memperpanjang
konflik antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam, kalau seandainya bisa
memasukkan syariat sebagai hukum publik di Indonesia, banyak masalah besar yang
akan menghadang. Nah, di sinilah tampaknya kita perlu mengedepankan maslahah.
Ada kaidah ushul fiqh yang patut untuk kita kedepankan; menarik kemaslahatan
dan menghilangkan kerusakan (jalb al masalih muqoddamun ‘ala daf’ al mafasid)
dan kaedah ke dua, apabila ada dua pilihan yang tidak menguntungkan, ambillah
mana yang paling sedikit madharatnya, (akhafu al darurain).
B. Dinamika
Formalisasi Syariat Islam
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa formalisasi syariat islam telah
terjadi sebelum indonesia merdeka, bahkan Semenjak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan
syariat di daerahnya. Setelah penjajahan Belanda
berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang ada masih berusaha
menegakkannya, walaupun secara
berangsur-angsur hukum Barat ataupun adat diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan penegakan
syariat Islam sebagai
cita-cita.Setelah Indonesia merdeka, usaha pemberlakuan syariat Islam tidak juga berhenti sampai sekarang ini.
Dalam
konteks Indonesia, formalisasi syariat Islam yang cukup gencar tersebut telah menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pandangan berusaha mementahkan ajakan formalisasi
syariat Islam. Penolakan formalisasi syariah ini diungkapkan dengan berbagai
argumentasi dan dalil. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah masyarakat plural, tidak hanya muslim, maka formalisasi
syariat Islam yang berlaku umum tidak dapat diterima. Ada pula yang
menyatakan bahwa formalisasi syariat Islam berarti intervensi negara
terhadap kehidupan beragama yang seharusnya bersifat privat dan individual. Ada
pula yang menolak formalisasi syariat Islam karena syariat Islam tidak sesuai
dengan modernitas dan kehidupan publik, misalnya Hukum Internasional, Hak-Hak
Asasi Manusia, Demokrasi, dan sebagainya.
Perdebatan
soal formalisasi syariat Islam di Indonesia semakin marak setelah dua partai
Islam, PPP dan PBB sebagaimana telah diungkapkan di atas, mengusulkan
dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam amandemen UUD 1945. Lebih dari itu,
sejumlah Ormas Islam minus Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyuarakan aksi
tuntutan kembalinya Piagam Jakarta, yang berarti pula formalisasi syariat Islam
di tanah air. Tampak sekali tuntutan ini membawa pengaruh di sejumlah daerah.
Dimulai dari Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) yang pertama kali secara khusus
memberlakukan syariat Islam secara
formal, kini daerah lain sudah
ancang-ancang mengambil
keputusan serupa, seperti
di Cianjur, Tasikmalaya, Sulawesi
Selatan, Sumatera Barat, dan Pamekasan. Semua ini menunjukkan betapa
seriusnya sosialisasi formalisasi syariat Islam yang dilakukan oleh sejumlah
kelompok Islam.
Sementara
di sisi lain, ada kelompok Islam yang menolak formalisasi syariat Islam.
Biasanya mereka ini adalah kelompok yang selama ini menggagas pluralisme,
inklusivisme, toleransi, dan kulturalisasi Islam. Tak berlebihan jika kelompok Islam ini
secara tegas justru menginginkan
deformalisasi syariat Islam. Syariat Islam secara formal tidaklah perlu. Karena
yang menjadi poin mendasar keber-islaman di Indonesia adalah komitmen kepada
agama secara substansialistik, bukan legalistik-formalistik, termasuk di
dalamnya acuan syariat agamanya.
Pemikiran
deformalisasi di atas didasarkan pada kenyataan riil, syariat sudah
terakomodasi secara formal, seperti
Undang-undang Perkawinan, Undang-undang
Zakat, Undang-undang Haji, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan sejumlah produk
perundang-undangan lainnya.
Syariat Islam pun sudah
dipraktekkan umat Islam, seperti salat, zakat, dan haji, tanpa perlu
diperintah oleh negara. Indonesia ini bukanlah negara agama atau tegasnya bukan
negara Islam, sehingga tidak layak memberlakukan syariat Islam secara formal
dan total. Indonesia adalah negara plural yang menampung banyak agama, tidak
hanya Islam. Sehingga produk perundang-undangannya tidak boleh
eksklusif secara keseluruhan, tetapi menampung aspirasi
agama-agama lain. Belum lagi
problem mendasar dalam memahami syariat Islam. Perbedaan mazhab fiqh akan
banyak menimbulkan perbedaan hukum. Inilah yang menyebabkan gagasan formalisasi
syariat Islam tidak tepat dan a-historis di bumi nusantara ini.
Sedikitnya, ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi formalisasi syariat
Islam. Pertama, arus formalisasi syariat. Kelompok ini menghendaki agar syariat Islam dijadikan landasan riil
berbangsa dan bernegara. Pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945
menjadi salah satu target utamanya. Kedua, arus deformalisasi syariat.13 Kelompok ini memilih pemaknaan syariat
secara substantif. Pemaknaan syariat tidak serta-merta dihegemoni
negara, karena wataknya
yang represif. Syariat secara
individu sudah diterapkan, sehingga
formalisasi dalam UUD 1954 tidak
mempunyai alasan kuat dalam ranah politik. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil
jalan tengah: menolak sekularisasi dan islamisasi, karena budaya
masyarakat muslim Indonesia mempunyai
kekhasan tersendiri. Sekularisasi
dan Islamisasi merupakan
barang impor yang tidak cocok dengan identitas masyarakat, sehingga
keduanya berpotensi untuk melakukan indoktrinsasi dan ideologisasi.
Akan tetapi
terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasan formalisasi syariat Islam di
atas, yang jelas kesulitan dalam merealisasikan formalisasi syariat tersebut di
atas hingga kini, belum ada satu negara pun di dunia yang dapat dipakai sebagai
acuan dalam pelaksanaan syariat Islam. Di
samping itu, persoalan mendasar
yang perlu dipertanyakan
berkaitan dengan formalisasi syariat ini adalah menyangkut level atau
ruang lingkup kehidupan, apakah formalisasi syariat Islam diberlakukan untuk mengatur kehidupan individu, masyarakat
dalam arti komunitas (kelompok ) tertentu atau warga negara
Indonesia secara keseluruhan?
Tiga persoalan ini penting
dipertanyakan karena perdebatan seputar formalisasi syariat Islam yang muncul selama
ini di Indonesia kurang menyentuh
tiga persoalan tersebut.
Persoalan
mendasar lainnya yang dihadapi para pendukung formalisasi syariat Islam di
Indonesia adalah masalah pengertian atau definisi syariat Islam itu sendiri,
karena tanpa proses pendefinisian yang
jelas, dapat dan dalam kebanyakan kasus akan bertabrakan dengan prinsip-prinsip
hak asasi manusia. Tiga aspek hak asasi manusia
yang paling banyak berkaitan
dengan penerapan dan formalisasi syariat
Islam adalah pembatasan terhadap kebebasan beragama, diskriminasi
terhadap perempuan, dan diskriminasi
terhadap Non-Muslim.
Terdapat
beberapa masalah yang berhubungan dengan formalisasi syariat islam, yaitu :
1.
Formalisasi
Syariat dan Masalah
Kebebasan Beragama
Masalah
pembatasan terhadap kebebasan beragama dapat timbul dari hukum riddah atau
murtad, yakni keluar dari agama Islam. Seperti tampak, hukum murtad ada dalam
hukum kriminal yang diundangkan di
sejumlah negeri Muslim, misalnya di Kelantan dan Terengganu. Riddah atau murtad
dalam hal ini mengacu kepada ketentuan
hukum hudud ( hukum-hukum yang
teks dan ketentuan hukumnya jelas dan tegas tertulis dalam al-Qur’an dan
Hadis).
Di dalam
fiqh, semua mazhab besar memang menetapkan hukuman mati bagi yang murtad, walaupun mereka
berbeda pendapat mengenai bentuk hukuman matinya- dirajam,
dibakar, disalib, disembelih, diusir/ ekskomunikasi, atau disiksa terlebih
dahulu sebelum dibunuh. Namun, ada perbedaan pendapat tentang apakah murtad
termasuk ke dalam kategori hadd atau tidak. Sebagai contoh, Imam Syafi’i tidak
memasukkannya ke dalam kategori hudud, sementara sebagian ulama klasik
memasukkannya.
2.
Formalisasi Syariat dan Kedudukan Non-Muslim
Salah satu
persoalan yang juga tidak kalah penting dan erat hubungannya dengan formalisasi
syariat adalah persoalan bagaimana kedudukan
Non-Muslim dalam negara yang menerapkan syariat
secara formal. Formalisasi syariat
Islam juga menimbulkan masalah tersendiri bagi non- Muslim. Dalam hal ini,
mereka mendapatkan status zimmi yang dalam praktek penerapan syariat Islam
serupa dengan status warga negara kelas dua. Hal ini tentu saja bertentangan
dengan prinsip kewarganegaraan yang menjadi norma masyarakat internasional
dewasa ini. Di dalam fiqh klasik, pengertian zimmi sebenarnya bervariasi
dan membuka peluang bagi berkembangnya
konsep kewarganegaraan modern di
dunia Muslim. Akan tetapi, bentuk tafsiran yang dipilih dalam berbagai
penerapan syariat Islam justru membatasi dan mempersempit pengertiannya.
3.
Formalisasi Syariat dan Kedudukan Perempuan
Formalisasi
syariat juga berimplikasi terhadap posisi kaum perempuan. Bagi masyarakat
Muslim sendiri, bahaya diskriminasi terhadap perempuan yang timbul karena
formalisasi syariat Islam adalah masalah
yang paling pelik. Sebab, di satu sisi syariat Islam memberi perempuan status
yang setara dengan laki-laki. Banyak ulama, yang umumnya laki-laki, juga
menegaskan bahwa Islam adalah agama yang memuliakan perempuan. Akan tetapi, di sisi lain,
perempuan sering kali menjadi korban pertama formalisasi syariat Islam.
4.
Formalisasi Syariat dan Konflik antar Komunitas
Keagamaan
Persoalan
krusial lainnya yang juga terkait dengan formalisasi syariat adalah konflik
antar komunitas keagamaan. Penerapan
syariat Islam di beberapa negeri
Muslim juga memicu konflik antar
komunitas keagamaan.
5.
Formalisasi Syariat dan Krisis Konstitusi
Formalisasi syariat juga tidak dapat dipisahkan dari persoalan krisis konstitusi di berbagai
negara yang menerapkan syariat Islam. Selain itu, juga di Indonesia, pemberian
otonomi khusus kepada NAD untuk memberlakukan syariat Islam secara formal.
Karena itu, hal ini perlu mendapat
perhatian semua pihak sehubungan dengan penerapan syariat di NAD.
Di
Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada NAD untuk antara lain memberlakukan
syariat Islam secara formal, juga dapat menimbulkan krisis konstitusi, karena
berbagai peraturan perundang-undangan
yang diterbitkan di daerah tersebut berseberangan dengan undang-undang lainnya,
sekalipun ada mandate yang bersumber dari UU otonomi khusus NAD. Sementara sejumlah peraturan daerah (Perda)
bernuansa syariat yang diundangkan beberapa pemerintah daerah di Indonesia juga
dipandang bertentangan
dengan undang-undang yang lebih tinggi. Pemerintah pusat, dalam kasus ini, telah mengeluarkan perintah agar peraturan
daerah- peraturan daerah tersebut dicabut oleh pemerintah daerah dan dewan legislatif lokal kalau
tidak, pemerintah pusat mengancam akan
membatalkannya.
Penjelasan-penjelasan
di atas menunjukkan bahwa formalisasi syariat di alam demokrasi akan menjadi
kendala bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang damai, adil, setara dan
berkeadaban. Paling tidak yang menjadi karakter dari formalisasi syariat.
Pertama,
anti-pluralisme. Pemaknaan terhadap agama yang bersifat eksklusif dan
menyalahkan yang lain, akan menjadi
tantangan bagi pluralisme. Kelompok pendukung formalisasi syariat masih
mengimpikan adanya pembagian territorial
antara wilayah muslim (dar al- Islam) dan wilayah kafir (dar al-harb), selain
kecenderungan memaknai Islam secara eksklusif. Mereka menghidupkan kembali
identitas muslim dan kafir, yang paling benar hanyalah agama yang dianutnya,
sedangkan agama yang lain dianggapnya
kafir, zionis dan lain-lain. Dalam banyak hal, pemihakan ditujukan hanya
dalam hal-hal yang menyangkut syariat normatif, sedangkan pada
masalah-masalah kemanusiaan tidak sekonsern pada hal-hal yang berkaitan dengan syariat,
seperti formalisasi syariat. Karena itu, ditengarai kelompok formalisasi
syariat menjadi hambatan bagi
dialog antaragama, disebabkan kecenderungan
pada perang dan jihad.
Kedua, anti HAM. Hal ini berkaitan dengan
hukum-hukum pidana Islam yang berseberangan
dengan HAM, seperti potong tangan, rajam, hukum gantung dan lain-lain. Kelompok
formalisasi syariat
menganggap bahwa hukum pidana Islam
(al-hudud) merupakan hukum Tuhan. Karenanya, dalam hukum pidana Islam tidak ada
tawar-menawar untuk menafsirkan syariat yang emansipatoris.
Ketiga, anti-kesetaraan jender. Kalangan
formalisasi syariat akan mempedomani doktrin-doktrin keagamaan yang mengindikasikan
keterbatasan ruang lingkup perempuan.
Atas dasar syariat dan kodrat,
perempuan hanya hidup dalam tembok yang terbatas. Kasus Taliban, Arab Saudi dan
beberapa negara Teluk menjustifikasi adanya peminggiriran peran perempuan dalam
ruang publik. Realitasnya, syariat dijadikan landasan untuk menindas perempuan,
baik secara struktural maupun kultural. Pemahaman literal terhadap teks-teks
keagamaan melegitimasi kekerasan
domestik, sebagaimana
terjadi pada masyarakat
tradisional. Dalam masyarakat moderen pun, teks-teks menjadi
alat untuk melegetimasi penindasan dan eksploitasi perempuan dalam proyek
kapitalisasi. Penindasan terhadap kaum buruh, otomatis di dalamnya terdapat
kaum perempuan sebagai kalangan mayoritas. Teks-teks keagamaan yang tidak
sensitif gender akan menjadi hambatan serius bagi terwujudnya kesetaraan gender.
C.
Perspektif Kritis
Berikut perspektif beberapa gerakan/organisasi mengenai
formalisasi syariat islam di Indonesia :
- Hizbut Tahrir Indonesia dan Khilafah Islamiyah
Wacana gerakan
formalisasi syariat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). HTI merupakan bagian dari jaringan Hizbut Tahrir (HT), sebuah
partai politik sekaligus gerakan Islam yang bergerak secara internasional di lebih
dari 40 negara. HTI selama ini terlihat paling gencar dalam mengkampanyekan
penegakan syariat Islam. Di Indonesia, hanya HTI yang selama ini berani
mengusung tuntutan perjuangan
“Pembentukan Khilafah Islamiyah” yang ingin menyatukan seluruh dunia Islam
berada dalam satu bingkai negara Khilafah.
HT didirikan pada tahun
1953 di Al- Quds (Yerussalem) Palestina oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
(1908-1977). Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani merupakan seorang pemikir sekaligus
politikus ulung. Ia juga adalah seorang Qadli pada Mahkamah Isti’naf (Mahkamah
Banding) di Al-Quds.
Paradigma keagamaan HT
dalam memandang relasi antara agama dan negara dapat digolongkan ke dalam
paradigma formalistik (integralistik). Bagi HT, syariat Islam telah mengatur
segala urusan tanpa terkecuali, baik mengenai hubungan manusia dengan
penciptanya, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, kemudian
hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, seperti dalam urusan pa-kaian,
makanan, akhlak, dan sebagainya, juga hubungan manusia dengan sesama-nya,
seperti dalam urusan pemerintahan,
ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri dan lain-lain. Hizbut Tahrir
memandang bahwa syariat Islam sesungguhnya meliputi keyakinan spiritual (aqidah
ruhiyyah) dan ideologi politik
(aqidah siyasiyyah). Oleh karena itu
Hizbut Tahrir memiliki cita-cita untuk
membentuk sebuah masyarakat dan negara
yang Islami, dalam arti bahwa semua kegiatan kehidupan dalam negara itu diatur
dengan hukum-hukum syariat di bawah naungan negara khilafah.
Kampanye untuk membentuk
khilafah Islamiyah (imperium Islam transnasional) terus - menerus disuarakan
oleh HTI di Indonesia dengan melalui berbagai aksi demonstrasi yang damai, spanduk- spanduk, ceramah, diskusi publik,
pengajian, internet, penerbitan buku, majalah, buletin, dan sebagainya.
HTI menempatkan sistem khilafah sebagai alternatif kegagalan sistem
politik (demokrasi) dan ekonomi (kapitalisme) yang tengah berlangsung.
Mengenai pembentukan
khilafah Islamiyah (imperium Islam transnasional) ini Ketua Umum DPP HTI, Ir. K.H. Muhammad Al-Khaththath mengatakan:
“ Khilafah itu bersifat lintas negara, tapi bisa dimulai dari
satu negara dulu, bisa dimulai dari Indonesia atau dari Pakistan atau dari
Malaysia, siapa yang lebih siap dulu. Kalau orang Indonesia ternyata lebih
siap, ya Indonesia dulu, nggak harus mesti Mekkah. Kita berjuang untuk
menggabungkan. Sebenarnya, negara itu kan rangkaian peristiwa politik,
sedangkan politik itu seni kemungkinan, sehingga bisa membuat
kemungkinan-kemingkinan baru. Syam, itu dulu satu propinsi, sekarang lima
negara, ada palestina, ada
Israel, ada Lebanon, ada Jordan,
ada Syiria. Dulu satu propinsi itu, sekarang lima negara. Jazirah Arab itu dulu
satu negara, sekarang tujuh negara, gitu lho. Lah Indonesia dulu juga banyak
negara, sekarang satu negara.”
Hizbut Tahrir memiliki
pandangan bahwa berbagai krisis yang terjadi di dunia adalah akibat dari
kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan menyimpang (maksiat) manusia. Untuk
menghadapi masalah tersebut, HTI mengajukan solusi fundamental dan integral, yakni dengan penerapan dan
penegakan syariat Islam. Solusi ini dijalankan dengan cara mengakhiri
sekularisme dan menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan
menggunakan dasar syariat Islam.
Dengan demikian, dapat
diketahui bahwa HTI tidak sekedar memperjuangkan penegakan syariat Islam di
Indonesia, akan tetapi memiliki tuntutan yang lebih luas, yakni tentang
pembentukan Khilafah Islamiyah yang ingin menyatukan seluruh dunia Islam berada
dalam satu bingkai negara khilafah. Hal
ini dapat dimengerti karena HTI merupakan bagian dari Hizbut Tahrir
dengan jaringannya yang bersifat internasional.
- Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI) lahir berawal dari keprihatinan para tokoh gerakan Islam antara
lain: Irfan Suryahardi, Deliar Noer, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi
Noor dan lain-lain. Tokoh-tokoh tersebut terdorong untuk mengadakan forum kecil, berdiskusi yang pada
ujungnya menggagas lahirnya sebuah lembaga yang bisa menyatukan visi umat Islam yang hendak
memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Bagi MMI, tuntutan formalisasi syari’at
Islam di Indonesia adalah final. MMI sejauh ini berusaha mewujudkan
cita-citanya melalui dakwah, baik dakwah
secara politik maupun dakwah sosial di tengah-tengah masyarakat.
MMI memiliki pandangan bahwa dalam Islam
terdapat ajaran yang menyeluruh (total), mulai dari penyucian diri (individu) sampai pada mengatur masyarakat
dan negara (politik). Totalitas ajaran inilah yang diyakini oleh Ketua MMI, Irfan
S. Awwas. Ia berpendapat bahwa Islam mengatur seluruh kehidupan masyarakat,
baik sosial, ekonomi, dan politik.
Inilah yang kemudian menjadi sumber konsepsi tentang bersatunya agama dan
negara.
- Front Pembela Islam (FPI)
Front Pembela Islam
(FPI) sebagai sebuah organisasi, dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1998,
bertempat di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Cempaka Putih,
Ciputat, Jakarta Selatan, oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis
Muslim. Ketua Umum Majelis Tanfidzi Dewan
Pimpinan Pusat FPI periode 2003-2008 adalah Habib Mohammad Rizieq bin Husein
Syihab.
Sebagai organisasi
pejuang penegakan syariat Islam, FPI memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai
Laskar Pembela Islam (LPI), sebuah kelompok semacam satgas yang dilatih dengan
pendidikan semimiliter dan terdiri dari orang-orang yang militan. Selama
ini tindakan FPI sering dikritik oleh berbagai pihak karena tindakan main hakim
sendiri yang dilakukan oleh para aktivis FPI yang ber- ujung pada
perusakan hak milik pihak lain. FPI pertama kali dikenal
publik ketika terlibat dalam “PAM swakarsa” yang bersenjatakan golok dan
pedang, dan melakukan penyerangan
terhadap para mahasiswa yang berdemonstrasi menentang pencalonan kembali B.J.
Habibie sebagai Presiden RI dalam Sidang Istimewa MPR RI pada November 1998. Kemudian, pada bulan yang sama, aktivis FPI melakukan
aksi penyerangan terhadap satpam-satpam Kristen asal Ambon di sebuah kompleks perjudian di Ketapang,
Jakarta. Di samping itu, tercatat bahwa selama tahun 2000, aktivis FPI secara reguler melakukan
tindakan penyerangan terhadap sejumlah
bar, diskotik, kafe, tempat bilyar, dan tempat-tempat hiburan malam di Jakarta,
Ja-wa Barat, dan Lampung.
FPI dalam menjalankan
aksinya terutama dalam hal penyampaikan aspirasi, biasanya menggelar aksi
demonstrasi yang ditujukan kepada parlemen
(legislatif) dan pemerintah (eksekutif). Secara lebih nyata, mereka
biasanya mendukung partai-partai Islam yang memperjuangkan aspirasi umat Islam, seperti tuntutan pemberlakuan Piagam Jakarta dalam konstitusi.
Oleh karena itulah, maka gerakan FPI sering dianggap
bernuansa politis.
- Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) dan Laskar Jihad
Forum Komunikasi
Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) dibentuk
pada tanggal 14 Februari 1998 di
Solo dan dipimpin
oleh Ja’far Umar Thalib.
FKAWJ memiliki karakter sebagai forum bagi orang-orang salaf, yang
menganjurkan pembacaan literal terhadap al-Quran dan Hadis, dan menolak seluruh
penafsiran independen maupun praktek-praktek
tradisional. Misi utama FKAWJ adalah untuk memurnikan dan menyebarkan
ajaran Islam menurut generasi pertama pengikut Nabi Muhammad. FKAWJ sebagai sebuah organisasi telah
memiliki sejumlah cabang di berbagai daerah di Indonesia.
FKAWJ memiliki
organisasi sayap paramiliter yang dikenal Laskar Jihad, yang dibentuk pada tanggal
30 Januari 2000 sebagai respon
atas konflik antara kaum Muslim dan Nasrani di Maluku. Laskar Jihad,
sebagaimana FKAWJ, dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib. Laskar Jihad memiliki
pandangan bahwa politik merupakan bagian integral dari agama. Menurut
Laskar Jihad, kitab suci al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw harus menjadi
dasar yang di- gunakan untuk menghukumi umat Islam. Sehingga, al-Quran dan
Sunnah menjadi hakim dalam berbagai kemaslahatan hukum.
Secara umum, perjuangan yang dilakukan oleh ormas-ormas
Islam seperti Hizbut Tahrir indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi
Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) dan Laskar Jihad adalah berkisar pada beberapa
agenda utama. Agenda tersebut antara lain: tuntutan pemberlakuan Piagam Jakarta
dalam konstitusi, penerapan syariat Islam dalam
semua sendi kehidupan masyarakat, pemberantasan tempat-tempat maksiat
dan yang bertentangan dengan Islam, dan solidaritas dunia Islam.
D.
Metode Implementasi
Syariat Islam. Dua kata
yang selalu mengundang kontroversi kebangsaan. Kontroversi yang tak kunjung
usai. Di tahun 1945, syariat Islam gugur satu hari setelah proklamasi
kemerdekaan. Di kurun 1956-1959, Konstituante berdebat superhangat
--nyaris deadlock-- berkait dengan eksistensi syariat Islam dalam
konstitusi. Dalam reformasi konstitusi 1999-2002, MPR baru mampu bersepakat
untuk tidak memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta di detik-detik akhir proses
perubahan UUD 1945.
Dari tiga momen
pembuatan hukum dasar bernegara tersebut, tertoreh terang benderang bahwa
syariat Islam tidak diformalkan menjadi aturan konstitusi. Periode 1999-2002
bahkan mencatat, dukungan sosio-politik masuknya tujuh kata Piagam Jakarta ke
dalam konstitusi jauh menurun dibandingkan dengan tahun 1945 dan 1956-1959.
Namun itu bukan berarti syariat Islam tidak menjadi bagian hukum nasional.
Tengoklah Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang tidak
sedikit mengadopsi nilai-nilai hukum Islam. "Undang-undangisasi"
syariat Islam semakin marak di akhir 1980-an dan era 1990-an.
Di antara undang-undang
yang bernuansa syariat Islam adalah UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Haji, dan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Zakat. Di samping itu, ada pula UU tentang sistem perbankan yang membuka pintu
bagi lahirnya bank syariah. Di kurun terakhir, meski tidak berkait langsung
dengan syariat Islam, polemik muncul dalam pengesahan UU tentang Sistem Pendidikan
Nasional serta RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi.
Sebagai pamungkas dari
"undang-undangisasi" syariat Islam adalah UU Nomor 44 Tahun 1999
tentang Keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Aceh. Inilah aturan hukum sekaligus pintu pembuka utama bagi diberlakukannya
syariat Islam di salah satu provinsi di Bumi Pertiwi: Serambi Mekkah Aceh.
Tidak diterima di
tingkat konstitusi, formalisasi syariat Islam merambah ke level undang-undang.
Era mutakhir, berpindah pula ke tingkat peraturan daerah. Perdaisasi syariat
Islam menemukan stimulan dalam atmosfer desentralisasi serta lahirnya penerapan
syariat Islam di Aceh.
Dari sisi
ketatanegaraan, perda bernuansa syariat amatlah problematik. Perda adalah
produk hukum yang berada jauh di bawah konstitusi. Padahal, semangat konstitusi
nyata-tegas menolak masuknya formalisasi syariat Islam. Artinya, perdaisasi
syariat Islam melanggar prinsip hukum dasar: aturan lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan aturan lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferiori).
Tidak hanya
bertentangan dengan gentlemen agreement di konstitusi, perdaisasi
syariat Islam juga melanggar UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Bahwa masalah agama adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan otoritas
pemerintahan daerah. Maknanya, agama bukanlah "materi muatan" perda,
melainkan lebih tepat menjadi materi muatan UUD atau minimal materi muatan UU.
Dalih bahwa perda
bernuansa syariat dikeluarkan melalui proses legislasi yang demokratis tidaklah
bijak. Begitu pula argumen bahwa itu sejalan dengan upaya "menampung
kondisi khusus daerah" (Pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2004) tidaklah tepat.
Bagaimanapun, legislasi di daerah tidak boleh bertabrakan dengan semangat dasar
konstitusi, yang tidak memberi ruang bagi formalisasi syariat Islam. Apalagi,
proses legislasi di daerah sebagaimana pula di tingkat pusat, tidak jarang
sarat dengan politisasi dan manipulasi. Di beberapa daerah, perdaisasi adalah
topeng jualan politik menjelang pemilihan kepala daerah atau hanya hasil copy-paste dari
perda di daerah lain.
Menyikapi problematika
formalisasi syariat Islam, ada tiga solusi yang dapat dipertimbangkan: politis,
yuridis, dan sosiologis. Langkah politik-hukum dilakukan melalui pendisiplinan
kebijakan partai. Suara partai di tingkat nasional maupun lokal seharusnya
seragam dalam bersikap. Menjadi aneh kalau di tingkat nasional formalisasi
tertolak, tapi di tingkat lokal, partai yang sama justru menerima.
Selanjutnya, langkah
yuridis terbagi dua: pertama, UU Nomor 32 Tahun 2004 membuka peluang executive
review: penertiban perda oleh pemerintah melalui pembatalan dengan peraturan
presiden. Kedua, Mahkamah Agung berwenang melakukan penilaian (judicial review)
atas perda berhadapan dengan UU.
Akhirnya, secara
sosiologi-hukum, pejuang syariat Islam harus lebih menoleransi jiwa kebangsaan.
Toh, syariat Islam tidak faktual hilang dari Bumi Pertiwi. Banyaknya substansi
UU yang mengadopsi ide dasar hukum Islam menunjukkan, syariat Islam sosial
dapat diterima dalam sistem hukum nasional.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penegakan syariat islam di
Indonesia sudah dimulai sejak islam masuk di Indonesia. Walaupun Indonesia
dijajah, tetapi semangat menegakkan syariat islam tidak pernah padam. Hingga
saat ini pun banyak gerakan/organisasi islam yang masih membawa misi menegakkan
syariat islam di indonesia.
Indonesia
merupakan tempat yang tepat untuk diterapkannya syariat Islam, mengingat Islam
adalah sebuah agama mayoritas, bahkan Indonesia diperhitungkan oleh dunia dan
digolongkan sebagai negara penganut agama Islam terbesar. Banyak usaha yang
dilakukan oleh golongan-golongan yang terus memperjuangkan syariat Islam
diterapkan di Indonesia.
Namun
demikian, bukan berarti syariat Islam adalah ideologi ideal bagi setiap negara,
dimana terdapat umat muslim mayoritas, khususnya Indonesia. Sekalipun
Indonesia tergolong negara mayoritas Islam yang diperhitungkan oleh dunia. Yang
terpenting tidak boleh dilupakan, bahwa sejak awal Indonesia adalah negara
pluralisme agama,
negara yang menerima berbagai macam agama.
Selain itu Indonesia bukan negara Islam. Syariat Islam
adalah ideologi yang ideal hanya bagi penganutnya, karena di dalamnya
terkandung sebuah aturan agama Islam yang sangat kental.
Atau dengan kata lain, jika syariat islam
diterapkan sebagai dasar negara indonesia, maka semua aturan harus sesuai dengan syariat Islam, sistem
ekonomi, politik, pendidikan, budaya, media, semua akan mengacu pada sistem
syariat dan hal ini akan berdampak pada perpecahan suku, agama, dan ras di
Indonesia.
Akhirnya, secara sosiologi-hukum, pejuang syariat Islam harus lebih
menoleransi jiwa kebangsaan. Meskipun demikian, syariat islam tidak faktual
hilang dari negara indonesia, karena banyak UU yang mengadopsi dari ide dasar
hukum islam, hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam sosial dapat diterima
dalam sistem hukum nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Ngainun Naim.2009.Sejarah
Pemikiran Hukum Islam.Yoryakarta:Teras.
Mardani.2010.Hukum Islam : Pengantar
Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Qodir,Zuly.2006.Pembaharuan
Pemikiran Islam : Wacana dan Aksi Islam Indonesia.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Setiyo Nugroho,Handy.2006.Hubungan
Agama dan Negara dalam Islam (Studi Terhadap Pemikiran M.Din Syamsuddin). http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1-2006-handysetiy-1363-coverdll-3.pdf.
Akses : 22 Mei 2013
Setiawan,Zudi.2008.Dinamika
Pergulatan Politik Dan Pemikiran
Formalisasi Syariah Pada Era
Reformasi. http://www.unwahas.ac.id/publikasiilmiah/index.php/SPEKTRUM/article/download/491/613.Akses
: 22 Mei 2013
Yusdani.2006.Formalisasi
Syari’at Islam dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. http://journal.uii.ac.id/index.php/jhi/article/view/244/239.Akses
: 25 Mei 2013
Hartono.2010.Kontestasi
Penerapan Syari’at Islam di Indonesia dalam Perspektik HTI dan MMI. http://digilib.uin-suka.ac.id/6995/1/BAB%20I,%20VI,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf.
Akses : 27 Mei 2013
Ubaidillah.2009.Fundamentalisme
Islam Politik Di Indonesia Dalam Perspektif Filsafat Politik.http://digilib.uin-suka.ac.id/3011/1/BAB%20I,%20V.pdf.
Akses : 27 Mei 2013
Sitompul,Denny.2012. Peluang dan
Tantangan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia. http://dtompulz.blogspot.com/2012/08/peluang-dan-tantangan-formalisasi.html.Akses
: 27 Mei 2013
Nyata-nyata Fakta.2010.Implementasi
Syariat dalam Undang-Undang di Indonesia. http://www.nyatanyatafakta.info/2010/05/implementasi-syariat-dalam-undang.html.Akses
: 27 Mei 2013

Komentar
Posting Komentar