Fiqh Munakahat tentang Perkawinan
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nikah
adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan yang amat
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat
dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan
kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan
antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya
pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan keturunannya, melainkan
antara dua keluraga. Dari baiknya pergaulan antara suami dengan isterinya,
kasih-mengasihi, akan berpindah kebaikan itu kepada semua keluarga dari ke dua
belah pihak tersebut, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan
bertolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala
kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Dalam
makalah kami ini, akan membahas tentang pengertian pernikahan/perkawinan :
- Menurut Bahasa
- Menurut Istilah
- Hukum Pernikahan /Perkawinan
BAB II
PERMASALAHAN
- Apa pengertian perkawinan menurut bahasa ?
- Apa pengertian perkawinan menurut istilah ?
- Bagaimana hukum melaksanakan perkawinan ?
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PERKAWINAN SECARA BAHASA
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan
berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan
lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut
juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah (نكاح) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,
saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi)[1]. Sedangkan nikah
diartikan dengan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri
(dengan resmi), perkawinan. Pernikahan adalah hal (perbuatan), upacara nikah.[2]
Pernikahan secara bahasa juga dapat di
artikan berkumpul, bersetubuh, dan aqad[3].
Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN Pasal 2 menerangan
bahwa Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakan-Nya
merupakan ibadah.[4]
B. PEKAWINAN MENURUT ISTILAH SYARA’
Menurut istilah hukum islam terdapat beberapa
definisi perkawinan/pernikahan, diantaranya:
الزَّوَاجُ
شَرْعًا هُوَ عَقْدٌ وَضَعَهُ الشَّارِعُ لِيُفِيْدُ مِلْكَ اسْتِمْتَاعِ الرَّجُلِ
بِالمَرْأَةِ وَحِلَّ اسْتِمْتَاعِ المَرْأَةِ بِالرَّجُلِ .
“Perkawinan
menurut istilah syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan
bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.
Abu Yahya Zakariya Al Anshari
mendefinisikan:
اَلنِّكَاحُ
شَرْعًا هُوَ عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْئٍ بِلَفْظِ اِنْكَاحٍ أوْنَحوِهِ
“Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung
ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafazd nikah atau dengan
kata-kata yang semakna dengannya.”
Definisi
yang dikutip Zakiyah Daradjat :
عقدٌ يتضمَّنُ إباحةَ
وطْئٍ بلفظِ النَّكَاحِ أوالتّزْويْجِ أو مَعْنَا هُمَا
“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan
lafadz nikah atau tazwij atau semakna dengannya “.
Dalam
kaitan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas yang juga
dikutip oleh Zakiah Dradjat :
عَقْدٌ
يُفِيْدُ حَلً اْلعُشْرَةِ بَيْنَ الرَّجُلِ والْمَرأَةِ وَتَعَاوُنُهُمَا وَيُحَدُّ
مَا لِكَيْهِمَا مِنْ حُقُوْقٍ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ وَاجِبَا تٍ
“Akad yang memberikan faedah hukum
kebolehan mengadakan hubungan keluarga ( suami isteri ) antara pria dan wanita
dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta
pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.
“Pernikahan
ialah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta
tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan
mahram”[5].
Perkawinan
juga diartikan sebagai pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama[6].
Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari:
Perkawinan merupakan salah satu
sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan
hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif
dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti
makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara
anarkhi tanpa aturan.
Demi menjaga kehormatan dan martabat
kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga
hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan
rasa saling meridhai, dengan ucapan ijab qobul sebagai lambang adanya rasa
ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan
laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk perkawinan ini telah
memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik,
dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh
binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami isteri menurut ajaran islam
diletakkan dibawah naluri keibuan dan kebapaan sebagaimana ladang yang baik
yang nantinya menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah
yang baik pula.
C. HUKUM PERKAWINAN
Pada dasarnya hukum menikah adalah mubah
(boleh)[7].
Akan tetapi, hukum mubah ini bisa berubah menjadi salah satu dari empat hukum
lain, yaitu : wajib, haram, sunnah, dan makruh, sesuai dengan situasi dan
kondisi seseorang yang akan melaksanakannya. Ketentuan ini berdasarkan dalil
berikut :
1. Firman Allah dalam Q.S.An-Nur ayat 32:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3
Artinya
: “ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-rang yang layak
(untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan
kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS.An-Nur:32)
2. Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa’ : 3
قَالَ
اللهُ تَعَالَى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ.
Artinya : “Allah swt
berfirman : “Nikahlah kalian dengan seorang perempuan yang menurut kalian baik
(cantik)”. (Q.S. An-Nisa’ : 3)
3. Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh
imam Bukhori :
عَنْ
عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ,عَنْ عَبْدِاللهِ
قَالَ,قَالَ لَنَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. ( رواه البخاريّ )
Artinya : “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin
Yazid, dari Abdullah, ia berkata : Rasulullah saw bersabda kepada kami : “Wahai
orang-orang muda, siapapun dari kamu semua yang sudah mampu biaya nikah, maka
nikahlah. Sesungguhnya nikah lebih bisa menutup mata (dari melihat hal-hal yang
haram) dan lebih menjaga farji (dari zina). Bagi yang tidak mampu, berpuasalah,
sesungguhnya puasa itu bisa menjaga (dari zina).” (H.R.Bukhori)
4. Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh
imam Abdur Razzaq :
عَنْ سَعِيْدِ بنِ أَبِيْ
هِلاَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَنَا كَحُوْا
تَكْثُرُوْا,فَإِنِّيْ أَبَاهِيْ بِكُمُ اْلاُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .(رواه عبد الرزاق)
Artinya
: dari said bin abi hilal bahwasanya
Nabi saw bersabda : “menikahlah kamu sekalian maka kamu akan menjadi banyak
keturunan karena sesungguhnya aku akan membanggakan diriku dengan adanya kalian
atas umat terdahulu pada hari qiamat”.(HR.Abdur Rozaq)
Tentang melakukan perkawinan Ibnu Rusyd
menjelaskan:
Segolongan fuqoha’ yakni jumhur (mayoritas
ulama’) berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutakhkhirin
berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian
lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka
ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.
Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd
disebabkan adanya penafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan
hadist yang berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnat
ataukah.
Ayat
tersebut adalah:
(#qßsÅ3R$$sù …. $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( …..
….
maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat ...
(QS.AN
NISA’ : 03)
Diantara hadits nabi yang berkenaan
dengan nikah adalah:
تَنَا
كَحُوْافَاَنِّى مُكَا ثِرٌ بِكُمُ اْلأَمَمُ ....
"Kawinlah
kamu, karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba lomba dengan umat-umat yang lain....[8]
Al Jaziri mengatakan bahwa sesuai dengan
keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum
syara’ yang lima, ada kalanya wajib,
haram, makruh, sunnat, dan adakalanya mubah.
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa asal
hukum nikah adalah mubah, disamping ada sunnat, wajib, haram dan makruh.[9]
Di indonesia, umumnya masyarakat
memandang bahwa hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak
dipengaruhi pendapat ulama Syafi’iyah.
Terlepas dari pendapat imam imam
madzhab, berdasarkan nash-nash, baik Al Qur’an maupun As-Sunnah , islam sangat
menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun
demikian, jika dilihat dari segi kondisi
orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanaknnya, maka melakukan perkawinan
itu dapat berlaku wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah.
1. Melakukan perkawinan hukumnya wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan
dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan
zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut
adalah wajib. Apabila tidak segera menikah maka akan mendapat dosa. Hal ini
didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk
tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan
perkawinan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan
itupun wajib sesuai dengan kaidah:
مَالاَ
يَتِمُّ الوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَجِبٌ
“sesuatu yang wajib tidak sempurna
kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga”
Kaidah lain mengatakan:
لِلوَ
سَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدُ
“sarana itu hukumnya sama dengan hukum
yang dituju”
Hukum melakukan perkawinan bagi orang
tersebut merupakan hukum sarana sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari
perbuatan maksiat.
2.
Melakukan
pernikahan hukumnya sunnah
Orang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetaapi kalau tidak kawin tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang
tersebut adalah sunnat. Jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan
tidak berdosa. Alasan menetapkan hukum sunnat itu ialah dari anjuran Al Qur’an seperti tersebut dalam surat An Nur ayat 32 dan hadist
Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud yang
dikemukakan dalam menerankan sikap agama Islam terhadap perkawinan. Baik ayat
Al Qur’an maupun As-Sunnah tersebut berbentuk perintah Nabi tidak memfaedahkan
hukum wajib, tetapi hukum sunnat saja.
3.
Melakukan
perkawinan yang hukumnya haram
Bagi orang yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
perkawinan akan terlantarlah dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan
pekawinan bagi orang tersebut adalah haram. Jika pernikahan tersebut
dilaksanakan maka akan berdosa. Al
Qur’an Surah Al Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan
mendatangkan kerusakan:
wur..... (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ .....
......dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan...
Termasuk juga hukumnya haram perkawinan
bila seseorang kawin dengan maksud menelantarkan orang lain, masalah wanita
yang dikawini ini tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat kawin dengan
orang lain.
4.
Melakukan
perkawinan yang hukumnya makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan
untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak
kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat
memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik. Apabila perkawinan itu
ditinggalkan akan mendapat pahala, dan jika dilakukan tidak berdosa.
5.
Melakukan
perkawinan yang hukumnya mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan
untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan isterinya.
Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan
dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga yang sejahtera. Jika
dilaksanakan tidak ada sanksi apa-apa, yakni tidak mendapat pahala dan tidak
berdosa.
Namun, dalam hal ini, ada perbedaan
pandangan diantara para ulama’ dalam memberikan syarat dan kriteria lima hukum
nikah tersebut[10].
1. Versi Imam Hanafi
a. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib apabila
terpenuhi 4 syarat :
1) Ada keyakinan terjadi zina apabila tidak
menikah.
2) Tidak mampu berpuasa, atau mampu akan
tetapi puasanya tidak mampu menolak terjadinya zina.
3) Tidak mampu memiliki budak perempuan
(amat) sebagai ganti dari isteri.
4) Mampu membayar mahar dan memberi nafkah.
b. Sunnah Muakkad
Hukum nikah akan menjadi sunnah muakkad
apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1)
Ada
keinginan menikah, tetapi kalaupun tidak menikah, tidak ada kekhawatiran atau
kepastian berbuat zina.
2)
Memiliki
biaya untuk mahar dan mampu memberi nafkah.
3)
Mampu
untuk jima’ (mengumpuli isterinya).
Apabila seorang sudah memenuhi syarat
sunnah muakkaddah dan ia tidak menikah, maka ia akan berdosa, namun masih
tergolong dosa kecil (dibawah dosa nikah wajib).
c. Haram
Hukum nikah menjadi haram apabila
berkeyakinan kalau setelah menikah akan memenuhi kebutuhan nafkah dengan jalan
yang haram, seperti dengan berbuat dzalim pada orang lain. Faktor keharaman
tersebut karena tujuan menikah adalah
untuk kemaslahatan, sedangkan mencari nafkah dengan cara tidak halal menurut
syara’ dianggap sebagai madhorot (tindakan merugikan).
d. Makruh Tahrim
Hukum menikah menjadi makruh tahrim
apabila setelah menikah ada kekhawatiran akan mencari nafkah dengan jalan haram.
e. Mubah
Hukum nikah menjadi mubah apabila tujuan
menikah hanya ingin memenuhi kebutuhan syahwat saja, bukan karena khawatir akan
melakukan zina.
2. Versi Imam Maliki
a. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib apabila memenuhi 3 syarat :
1) Khawatir melakukan zina.
2) Tidak mampu berpuasa atau mampu tapi
puasanya tidak bisa mencegah terjadinya zina.
3) Tidak mampu memiliki budak perempuan
(amat) sebagai pengganti isteri dalam istimta’.
b. Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila
khawatir zina dan tidak mampu memberi nafkah dari harta yang halal atau tidak
mampu jima’, sementara isterinya tidak ridho.
c. Sunnah
Hukum menikah menjadi sunnah apabila
tidak ingin menikah dan ada kekhawatiran tidak mampu melaksanakan hal-hal yang
wajib baginya atau ada kekhawatiran tidak bisa melaksanakan hal-hal sunnah,
baik ia mengharapkan keturunan ataupun tidak.
d. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila tidak
ingin menikah dan tidak mengharapkan keturunan, sedangkan ia mampu menikah dan
tetap bisa melaksanakan hal-hal sunnah.
3. Versi Imam Syafi’i
a. Wajib
Hukum menikah menjadi wajib apabila :
1) Ada biaya (mahar dan nafkah).
2) Khawatir berbuat zina bila tidak
menikah.
b. Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila
memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak bisa untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban yang ada didalam pernikahan, seperti tidak mampu mencari
nafkah.
c. Sunnah
Hukumnya menikah menjadi sunnah apabila
ada keinginan menikah dan ada biaya (mahar dan nafkah) dan mampu untuk melaksanakan
hal-hal yang ada dalam pernikahan.
d. Makruh
Hukum menikah menjadi makruh apabila
tidak ada keinginan untuk menikah, tidak ada biaya dan ia khawatir tidak bisa
melaksanakan hal-hal yang ada dalam pernikahan.
e. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila ia
menikah hanya semata-mata menuruti
keinginan syahwatnya saja.
4. Versi Imam Hanbali
a. Wajib
Hukum menikah menjadi wajib apabila ada
kekhawatiran berbuat zina bila tidak
menikah, baik dia mampu menanggung biayanya (mahar dan nafkah) ataupun tidak.
b. Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila
menikah ditempat yang sedang terjadi peperangan.
c. Sunnah
Hukum nikah menjadi sunnah apabila seseorang
berkeinginan menikah, dan juga ia tidak khawatir berzina andaikan tidak
menikah.
d. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila
seseorang tidak berkeinginan menikah, seperti orang tua atau menderita impoten
dengan syarat hal-hal tersebut tidak
menyebabkan madharat pada isteri.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian pernikahan/perkawinan menurut
bahasa adalah berkumpul, bersetubuh, aqad, sedangkan menurut istilah syara’
adalah suatu aqad yang memiliki beberapa syarat dan rukun. Hukum asal menikah
adalah mubah, tetapi ditinjau dari segi keadaan orang tersebut, baik segi lahir
maupun segi batin, maka hukum pernikahan bagi setiap orang bisa berbeda-beda :
1. Pernikahan hukumnya wajib apabila
seseorang telah mempunyai kemampuan dan merasa khawatir akan terjerumus ke
lembah maksiat.
2. Pernikahan hukumnya sunnah apabila
seseorang telah mempunyai kemampuan tetapi ia tidak merasa khawatir akan
terjerumus ke dalam perbuatan zina.
3. Pernikahan hukumnya haram apabila dilakukan
oleh seseorang yang tidak mampu dan pernikahan dilaksanakan untuk menganiaya
wanita yang dinikahi.
4. Pernikahan hukumnya makruh apabila pria
yang akan menikah merasa dirinya akan berbuat dzalim terhadap wanita yang akan
dinikahi.
5. Pernikahan hukumnya mubah apabila seseorang tidak merasa khawatir akan
terjerumus ke lembah maksiat dan juga tidak akan berbuat dzalim terhadap
isterinya, sementara keinginannya untuk kawin tidak begitu kuat dan tidak ada
halangan untuk menikah.
DAFTAR PUSAKA
Rasjid, Sulaiman.1994.FIQIH ISLAM
(Hukum Fiqh Islam).Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Ghozali, Abdul Rohman.2008.FIQH
MUNAKAHAT.Jakarta : Kencana.
Syarifudin, Amir.2001.HUKUM
PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA: Antara Fiqh Munakahat dan Undang Undang
Perkawinan.Jakarta: Kencana.
Ma’ruf, Tolhah.Hasan,Fu’ad,dkk.2008.FIQH
IBADAH (Panduan Lengkap Beribadah Versi
Ahlussunnah).Kediri: Lembaga Ta’lif Wannasyr PP.Al Falah Ploso.
Musthofa,Bisri.1976.TERJEMAH BULUGHUL
MARAM,JUZ 3-4.Kudus: Menara Kudus.
Huda,Qomarul & Fadhilah,Nur.2009.KOMPILASI
HUKUM ISLAM.Tulungagung: PLPT STAIN TULUNGAGUNG.
Manan,Abdul.2011.FIQIH LINTAS MADZHAB
JUZ 4.Kediri: Lembaga Ta’lif Wannasyr PP.Al Falah Ploso.
Subekti.2003.POKOK-POKOK HUKUM
PERDATA.Jakarta:PT.Intermasa.
[1] Abdul Rahman Ghozali,Fiqh
Munakahat, (Jakarta:Kencana,2008),cet.ke-3,edisi pertama,hal.7.
[2] Nur Fadhilah dan
Qomarul Huda,Modul Fiqh Munakahat,(PLPT STAIN TULUNGAGUNG,2009),hal.2.
[3] Tolhah
Ma’ruf,Fu’ad Hasan,dkk,Fiqh Ibadah (Panduan Lengkap Beribadah Versi
Ahlussunnah), (Kediri:Lembaga Ta’lif Wannasyr PP.Al Falah Ploso,2008),hal.317.
[4] Pembinaan Badan
Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam
Indonesia.(Jakarta:DEPAG, 1999).hal.14
[5] Sulaiman
Rasjid, FIQIH ISLAM (Hukum Fiqh Islam),(Bandung : Sinar Baru
Algensindo,1994), hal.374.
[7] Tolhah Ma’ruf,Fu’ad Hasan,dkk,Fiqh
Ibadah (Panduan Lengkap Beribadah Versi Ahlussunnah),hal.317.
[8] Abdul Rahman Ghazali,
Fiqih Munakahat, hal 17.
[9] Ibid, hal 18.
[10] Abdul
Mannan,Fiqih Lintas Madzab, (Kediri:Lembaga Ta’lif Wannasyr PP.Al Falah
Ploso,2011),hal.5.
Komentar
Posting Komentar