Fiqh Ibadah : Perbedaan tata cara dalam ibadah
SHALAT
: RAGAM PERBEDAAN DALAM PRAKTEK
Islam merupakan agama yang memiliki aturan-aturan dan ajaran-ajaran yang
lengkap dan sempurna. Kelengkapan dan kesempurnaan ajaran-ajarannya dapat
dilihat dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya aspek kehidupan yang
berhubungan langsung dengan Allah SWT sebagai Dzat Pencipta dan satu-satunya
dzat yang wajib disembah (habl min Allah), hubungan antar sesama manusia
(habl min al-nas), dan hubungan dengan makhluk lainnya, seperti
tumbuh-tumbuhan dan hewan (habl min al-‘alam).
Dalam hubungan secara langsung dengan Allah, islam telah memberikan tata
cara khusus yang harus dilakukan umat islam, yaitu dengan shalat. Sebagai
ibadah mahdhah, shalat merupakan satu-satunya ibadah langsung yang dapat
menjembatani hubungan batin antara manusia dengan Allah, hubungan makhluk
dengan penciptanya. Bahkan dalam menerima titah shalat, Rasulullah secara
langsung bertemu dengan Allah, beliau diperintah oleh Allah untuk melaksanakan
ibadah shalat, peristiwa tersebut dikenal dengan peristiwa Isra’ Mi’raj.
Dalam melaksanakan semua bentuk ibadah pada kenyataannya didahui dengan
berbagai macam praktek penyucian diri
secara fisik, termasuk ibadah shalat. Praktek penyucian diri ini dilakukan
dengan beberapa cara, salah satunya yaitu dengan berwudhu. Setiap orang yang akan melaksanakan
shalat harus berwudhu, karena dengan berwudhu seseorang telah menghilangkan dan
suci dari hadats kecil. Berbeda
dengan mereka yang berhadats besar, maka baginya berlaku aturan tersendiri
yaitu dengan cara mandi jinabat.
Setelah seseorang berwudhu (suci dari hadats kecil) dan mandi jinabat
(suci dari hadats besar), barulah dia boleh melaksanakan ibadah shalat atau
ibadah-ibadah lain yang dituntut harus dalam keadaan suci. Dalam prakteknya,
shalat dapat dilakukan secara individu maupun secara berjama’ah. Dan ibadah
shalat ini harus dilaksanakan dalam kondisi
apapun, tidak boleh ditinggalkan, karena ada cara-cara khusus melakukan shalat
bagi seseorang yang dalam kondisi tertentu (rukhshah). Misalnya,
seseorang yang sakit parah, selama ia masih berakal ia tetap berkewajiban
shalat, tetapi dengan cara khusus, tidak sama dengan cara shalat orang yang
sehat.
Kita tahu bahwa shalat adalah ibadah mahdhah yang dalam prakteknya diawali
takbiratul ihram dan diakhiri salam dengan melakukan rukun dan syarat-syarat
serta bacaan tertentu. Tetapi dalam praktek pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan dalam
tata cara shalat
tersebut. Dalam
melaksanakan takbiratul ihram, semua ulama’ sepakat bahwa kedua tangan harus
(wajib) diangkat, akan tetapi para ulama’ berbeda pendapat tentang posisi
tangan saat diangkat ketika takbiratul ihram. Apakah kedua tangan diangkat tinggi-tinggi membentuk sudut 900
(menyamping) dengan kedua telapak tangan dihadapkan kedepan; atau kedua
tangan diangkat sedang-sedang membentuk sudut 450 (agak kedepan) dengan posisi kedua
telapak tangan saling berhadapan dan berdekatan dengan kedua telinga; atau
posisi kedua tangan hampir sama dengan posisi yang terakhir ini, tetapi agak
sedikit kebawah dagu atau didepan dada; dan seterusnya. Hal ini sering kita jumpai pada diri
seseorang yang sedang melaksanakan shalat. Tetapi yang harus kita pahami adalah
mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram merupakan isyarat atau simbolnya.
Perbedaan selanjutnya yaitu perbedaan letak posisi tangan setelah takbiratul ihram, apakah posisi kedua
tangan diletakkan didepan dada agak tinggi sedikit; atau diletakkan dibawah
dada diatas pusar; atau diletakkan tepat didepan pusar; atau diletakkan segaris
dengan pusar tapi agak kekiri (dalam pemahaman masyarakat untuk menutupi hati);
atau kedua tangan diletakkan dibawah pusar dengan posisi sedikit agak nyantai.
Dan perbedaan itu juga terjadi pada gerakan tangan setelah takbiratul ihram dan
sebelum diletakkan sebagaimana perbedaan posisi diatas (misaknya diletakkan
didepan dada, dan seterusnya). Gerakan tangan setelah takbiratul ihram yang
dimaksud adalah ada yang langsung diletakkan dibawah dada atau ada yang
diputar-putar terlebih dahulu. Artinya kedua tangan diputar didepan dada
terlebih dahulu kemudian diletakkan di bawah dada atau pada posisi lainnya.
Terlepas dari perbedaan mengangkat kedua tangan pada saat
takbiratul ihram dan posisi setelahnya, yang terpenting dan yang tidak boleh
kita tinggalkan adalah niat, niat shalat pada saat takbiratul ihram. Karena niat menempati posisi yang cukup penting dalam
setiap amal perbuatan manusia, termasuk shalat. Seseorang melakukan shalat apa
saja, berapapun jumlah reka’atnya, prakteknya adalah sama, yang membedakan
hanyalah niatnya saja. Apakah niat untuk shalat sunnah atau wajib; niat shalat
dzhuhur atau ashar dan seterusnya. Jika seseorang melakukan ibadah shalat
tetapi ia belum niat shalat, maka shalatnya tidak sah dan dia dinyatakan belum melaksanakan shalat dan harus mengulang shalatnya lagi.
Dan yang lebih penting lagi yang harus di pahami dan dilakukan
orang yang melaksanakan shalat bahwa niat itu dilaksanakan pada saat takbiratul
ihram, bukan sebelum atau sesudahnya; dan niat itu didalam hati, bukan
diucapkan dengan lisan, bunyi lafal niat memang bisa kita ucapkan, misalnya أصلى فرض الظهر (saya niat shalat fardhu dhuhur), tetapi itu hanya bunyinya,
bukan niat karena niat didalam hati. Yang perlu kita pahami lagi, paling
sedikitnya niat yaitu qhosdun (menyengaja), ta’yiin ( menentukan sholat yang
akan dilakukan), dan fardhiyyah ( sholat itu sholat fardhu atau sunnah atau
lainnya). Artinya ketika seseorang akan mengerjakan shalat, paling sedikitnya
dia harus berniat menyengaja mengerjakan sholat, sholat apa yang ia kerjakan,
dan shalat itu fardhu atau sunnah atau bahkan yang lainnya, misal أصلى فرض الظهر (saya niat shalat fardhu dhuhur),
niat seperti itu sudah cukup, jika salah satu dari tiga elemen niat itu tidak
dilaksanakan, maka orang tersebut di anggap belum niat dan jika shalatnya
dilanjutkan, maka shalatnya tidak sah. Sekali lagi, niat ini tidak boleh
ditinggalkan dan harus di ingat bahwa niat itu letaknya didalam hati (dalam
bahasa jawa disebut krenthek).
Tahap selanjutnya, orang yang shalat harus melaksanakan
rukun-rukun dalam shalat. Setelah niat, berdiri bagi yang kuasa, takbiratul
ihram, sebagaimana dijelaskan di atas, rukun selanjutnya yaitu adalah
membaca surat al-fatihah, ruku’ serta
tuma’ninah (diam/berhenti sebentar), i’tidal serta tuma’ninah, sujud dua kali
serta tuma’ninah, duduk diantara dua sujud serta tuma’ninah, duduk akhir,
membaca tasyahud akhir, membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW, memberi salam
yang pertama, dan menertibkan rukun.
Dalam melaksanakan rukun-rukun shalat tersebut, sering
kali kita jumpai orang yang melakukan shalat tidak atau kurang begitu memperhatikan
tuma’ninah, yaitu suatu keadaan dimana seseorang berhenti atau diam sebentar
sebelum melakukan rukun berikutnya. Tidak jarang kita melakukan shalat atau menemukan seseorang yang shalat dengan gerakan yang cukup cepat, antara rukun
yang satu dengan rukun lainnya, seolah-olah tidak ada jedanya, sehingga dalam
tempo waktu yang singkat shalatnya sudah selesai. Sehingga seseorang yang
melakukan shalat tanpa tuma’ninah dalam setiap rukun shalat, dianggap belum
sempurna dalam melaksanakan ibadah shalat, karena tuma’ninah termasuk dari
rukun shalat.
Biasanya hal ini terjadi pada saat i’tidal (bangun dari
ruku’), kedua tangan atau salah satunya melakukan gerakan secara terus menerus,
maka orang yang melakukan hal itu juga bisa dikatakan kurang sempurna, atau pada
saat melakukan rukun-rukun yang lain terdapat gerakan-gerakan (dalam pemahaman
orang awam) lebih dari 3 kali, maka gerakan-gerakan seperti itu menjadikan
shalat tersebut kurang sempurna atau bahkan dapat membatalkan shalat itu
sendiri. Oleh karena itu, tuma’ninah yang menjadi salah satu rukun dalam shalat
harus benar-benar dilaksanakan.
Perbedaan selanjutnya yaitu bagaimana posisi kedua tangan
setelah i’tidal ( bangun dari ruku’), apakah posisi kedua tangan kembali
sebagaimana sebelum ruku’ (menempel pada dada); atau kedua tangan dalam posisi sebelum takbiratul ihram.
Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan pemahaman posisi kedua tangan
setelah ruku’ yaitu kembali pada posisi sebagaimana semula. Tetapi yang jelas
dan harus dilakukan oleh orang yang shalat adalah harus tuma’ninah.
Kita juga dapat memukan perbedaan pada saat sujud,
tepatnya pada posisi kedua tangan dan kedua kaki, walaupun secara umum sama
yaitu sama-sama melakukan sujud. Pada saat sujud posisi kedua tangan ada yang
meyakini harus dibuka 450 atau 150, atau yang lainnya.
Demikian juga dengan posisi kaki, ada yang jari-jari kedua kakinya dipancatkan
(menekan kelantai), ada yang sekedar menempel dilantai ( tempat shalat), atau
posisi lainnya. Seperti itulah pemahaman yang terjadi pada orang-orang awam,
dan mungkin kita termasuk didalamnya. Tetapi hal yang terpenting dalam melakukan rukun ini adalah bagaimana
posisi dahi, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki
menempel pada tempat sujud (shalat), ini yang terpenting.
Selanjutnya terdapat perbedaan pada saat melakukan rukun
duduk diantara dua sujud dan duduk tasyahud awal, yaitu bagaimana posisi kedua
telapak kaki. Apakah posisi kedua telapak kaki sama-sama menjadi tempat (alas)
duduk, atau posisi telapak kaki kanan dipancatkan sedangkan posisi telapak kaki
kiri sebagai tempat ( alas) duduk, atau telapak kaki kanannya hanya menempel,
tidak dipancatkan.
Rukun shalat yang terakhir sebelum salam yaitu duduk tasyahud akhir. Pada posisi duduk
yang dilakukan adalah sama, yaitu posisi duduk dengan kaki kanan dipancatkan dan
kaki kiri dimasukkan dibawah kaki kanan, sedangkan posisi pantat menempel pada
lantai (tempat shalat) secara langsung. Pada posisi ini mungkin tidak ditemukan
perbedaan, kecuali pada orang yang tidak bisa duduk secara sempurna. Akan
tetapi perbedaan pada rukun ini kita jumpai pada posisi tangan kanan dan jari
telunjuk tangan kanan. Posisi tangan kanan ini adakalanya mengepal dan
adakalanya tidak mengepal. Sedangkan posisi jari telunjuk tangan kanan yaitu : pertama,
posisi jari telunjuk sejak awal tahiyat sudah diangkat; kedua, posisi
sama seperti yang pertama tetapi jari telunjuk digerak-gerakkan secara
terus menerus sampai salam; ketiga, posisi jari telunjuk baru diangkat
pada saat melafalkan bacaan asyhadu an la ilaha illa Allah (tepatnya pada lafadz illa).
Demikianlah perbedaan-perbedaan yang kita temukan pada
saat seseorang melaksanakan ibadah shalat, mulai takbiratul ihram sampai salam.
Perbedaan-perbedaan yang sengaja ditunjukkan dan diuraikan dalam tulisan ini
bukan dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ini praktek yang benar dan ini
praktek yang salah; akan tetapi perbedaan-perbedaan yang terjadi ini,
dimaksudkan untuk diketahui dan dipahami oleh semua umat islam indonesia
umumnya dan orang awam khususnya, bahwa praktek shalat yang kita kerjakan
terdapat sekian banyak perbedaan. Tujuan dari hal ini semua adalah agar
bagaimana masyarakat sekitar (masyarakat awam khususnya) lebih siap dalam
memahami dan menghadapi perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga hal-hal yang
negatif seperti konflik atau permusuhan dan lain sebagainya bisa dihindari.
Sekaligus menjadikan masyarakat awam lebih dewasa dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan yang ada. Karena terlepas dari beberapa perbedaan tersebut
diatas, ketika seseorang melaksanakan ibadah shalat dan sudah memenuhi
syarat-rukunnya, maka shalat mereka sudah sah.
Shalat Berjamaah
Hal yang sangat berkaitan erat dengan pembahasan shalat adalah shalat berjamaah. Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat
berjamaah itu lebih baik dan lebih banyak derajat pahalanya dibanding dengan
shalat secara individu. Shalat berjamaah dapat dilaksanakan dimana saja,
dirumah, dimasjid, musholla, maupun tempat-tempat lainnya. Selain itu banyak
kandungan nilai-nilai sosial yang perlu dipahami dan di aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari, akan tetapi banyak sekali nilai-nilai sosial yang
terkandung didalam sholat tersebut belum bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari.
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat kita adalah shalat
secara individu, walaupun saat itu ada orang / sekelompok orang sedang
melaksanakan shalat berjamaah. Misalnya ketika shalat berjamaah sedang
berlangsung,kemudian datang seseorang, tetapi dia malah shalat sendiri tidak
ikut shalat jamaah yang sedang berlangsung itu. Kemudian datang seorang yang
lain, dia juga shalat sendiri, begitu seterusnya. Fenomena ini mungkin terjadi
karena beberapa faktor, mungkin orang itu tidak paham, sengaja atau tidak
sengaja, tidak mau tahu atau mungkin juga karena tergesa-gesa. Hal yang
demikian ini janganlah diperdebatkan, akan tetapi kondisi ini perlu dicermati
dan hal tersebut menunjukkan seberapa dalam tingkat pemahaman keagamaan
seseorang.
Hal tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi, karena shalat
berjamaah itu mudah sekali untuk dilaksanakan. Baik sekumpulan orang berniat
shalat berjamaah, atau ada orang shalat kemudian orang lain yang datang
berikutnya langsung menyusul dibelakangnya untuk langsung berniat menjadi
makmum shalat tersebut. Kondisi pertama, yaitu ketika ada sekelompok orang
shalat berjamaah, maka orang yang datang belakangan dapat langsung mengambil
posisi dalam barisan shalat jamaah tersebut ( disebut makmum masbuk).
Sedangkan pada kondisi kedua, tidak ada orang yang
berjamaah, tetapi ada seseorang yang sedang shalat, maka orang-orang yang
datang belakangan sebenarnya cukup langsung menjadi makmum dibelakangnya. Dalam
kondisi seperti ini, seseorang yang akan menjadi makmum tidak perlu
memperdulikan shalat imam (orang yang sedang shalat itu melakukan shalat apa
tidak perlu dipertimbangkan), baik yang kita ikuti (imam) sedang shalat sunnah
maupun shalat wajib, shalat dhuhur atau lainnya, kita cukup langsung niat
makmum kepadanya sesuai shalat yang akan kita kerjakan. Dalam praktek shalat
berjamaah seperti ini, kadangkala makmum yang datang kemudian (masbuq) menepuk
punggung imam, kadangkala tidak. Dalam hal ini orang yang mendapati ada satu
orang sedang shalat dan dia ingin menjadi makmumnya, maka dia cukup berniat
menjadi makmum, menepuk punggung/lengan imam atau tidak itu sama saja, yang
penting dia berniat menjadi makmum.
Shalat berjamaah itu bisa dilaksanakan minimal oleh dua
orang, salah satunya menjadi imam dan yang satunya menjadi makmum. Jika shalat
jamaah dilakukan hanya dengan dua orang, maka posisi shalat imam dan makmum
berada pada satu garis/baris, maksudnya telapak kaki imam menyentuh garis dan
telapak kaki makmum juga menyentuh garis yang sama. Jika posisi imam dan makmum
berjauhan sampai 0,5-1 meter, maka shalat mereka tidak dihitung berjamaah.
Praktek seperti ini yang kurang dipahami masyarakat secara umum, mereka masih
menyamakan antara shalat jamaah 2 orang dengan shalat jamaah 3 orang atau
lebih. Berbeda jika shalat berjamaah dilaksanakan oleh 3 orang atau lebih, maka
satu orang menjadi imam dan berada didepan, dan dua orang atau lebih menjadi
makmum dan berada di belakang imam dengan posisi saling berdekatan.
Apabila shalat jamaah dilakukan oleh lebih dari 3 orang
dan orang yang keempat atau selanjutnya ikut berjamaah tetapi tidak berada pada
garis (shaf) yang sama dengan makmum lainnya, padahal masih ada yang
kosong, maka orang tersebut tidak mendapatkan fadhilah jamaah. Hal penting lain yang
dalam shalat berjamaah adalah makmum tidak boleh mendahului imam, dimanapun dan
kapanpun. Hal ini perlu dimengerti, karena banyak masyarakat kita yang melanggar
aturan ini. Seorang makmum harus mengikuti apa yang dikerjakan imam. Hal
penting lainnya ketika shalat berjamaah adalah bagi makmum wajib niat shalat
dan menjadi makmum, ini yang membedakan antara imam dan makmum; kalau imam
tidak wajib niat menjadi imam, tetapi kalau makmum wajib niat menjadi makmum.
Apabila tidak niat menjadi makmum maka jamaahnya tidak dihitung (shalat secara
munfarid/sendiri).
Selanjutnya shalat jamaah tidak bisa dilaksanakan jika
orang yang menjadi makmum hendak shalat dalam keadaan/kondisi tertentu.
Misalnya orang yang bepergian jauh, dia tidak boleh menjadi makmum kepada orang
yang shalatnya dalam kondisi normal jika shalat yang ia kerjakan jama’
maupun qashar, demikian juga orang yang shalat qadha’ tidak boleh
makmum kepada shalat imam dalam kondisi normal ( ada’). Dengan kata
lain, orang yang berada dalam kondidi tertentu hanya boleh berjamaah dengan
orang yang sama, yaitu sama-sama melakukan shalat jama’ qashar atau
shalat qhada’ maupun shalat lainnya.
Berkaitan dengan pembahasan shalat
bahwa setiap orang yang hidup dan mengaku islam, maka dia wajib melaksanakan
shalat sampai dia meninggal. Baik orang tersebut dalam kondisi normal maupun
dalam kondisi kurang normal fisiknya, sakit, tidak bisa berdiri, bahkan orang
yang sudah tidak biasa apa-apa dan hanya bisa dengan isyarat, mereka semua tetap
berkewajiban melaksanakan shalat, sampai mereka dishalati (meninggal dunia).
Jadi, pada hakekatnya tidak ada satu orangpun yang boleh meninggalkan shalat.
Apapun kondisinya, maka orang tersebut tetap berkewajiban shalat sesuai dengan
kemampua masing-masing, siapapun orangnya, apakah wali, ulama’, kiyai, pejabat,
orang awam maupun gelandangan, jika mereka mengaku islam, maka ia tetap harus
melaksanakan ibadah shalat, sesuai dengan shalat yang diajarkan Rasulullah SAW,
yaitu shalat yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam (
didalamnya melakukan gerakan-gerakan, sesuai dengan syarat dan rukunnya); tidak
ada cara shalat dalam bentuk lain, semuanya sama. Dan tidak ada alasan pun yang
dibenarkan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, walaupun dalam
melaksanakan shalat itu ada rukhshah ( keringanan), tetapi bukan berarti untuk
meninggalkan shalat sebagaimana yang terjadi dan dipahami oleh masyarakat awam.
Komentar
Posting Komentar